Islam Menghargai Perempuan

Islam tidak Menghargai Perempuan? Ini Buktinya

Tidak sedikit yang beranggapan dengan pengetahuan sempit bahwa Islam memposisikan perempuan sebagaimana manusia kedua setelah laki-laki. Mereka memojokkan Islam sebagai agama yang merendahkan wanita. Biasanya mereka beralasan karena Islam mewajibkan ketaatan seorang istri kepada suami atau karena adanya aturan kebolehan menikahi perempuan lebih dari satu.

Anehnya, ada juga oknum umat Islam yang memanfaatkan ayat dan dalil untuk memperlakukan buruk perempuan. Ada sebagian yang mengatasnamakan mengikuti sunnah Rasulullah untuk menikahi perempuan lebih dari satu. Padahal terkadang mereka berlindung dari dalil atas memuaskan nafsu. Karena mereka tidak melihat semangat Rasulullah dalam melakukan poligami.

Fakta-fakta umat Islam lah sejatinya yang membuat citra buruk terhadap Islam. Namun, sesungguhnya Islam sangat menghargai posisi perempuan. Mari kita lihat.

Memang di dalam Islam, seorang istri diharuskan untuk taat kepada suami semata mereka dianggap sebagai pemimpin. Namun, suami juga iperintaghkan untuk patuh terhadap perempuan yakni kepada ibunya sebanyak tiga kali dibanding ayahnya. Dari sini saja sudah seharusnya kita bisa menilai bagaimana Islam memberikan keistimewaan kepada seorang perempuan.

Perempuan mendapatkan penempatan mulia dalam agama Islam sampai-sampai terdapat surah dalam al-Quran yang menjelaskan kemuliaan seorang wanita. Al-Qurana memberikan nama khusus perempuan (an-nisa’) yang menunjukkan bentuk afirmasi Islam terhadap perempuan di tengah pandangan masyarakat Arab yang peyoratif dan diskriminatif terhadap perempuan. Dalam surah an-Nisa juga tertuliskan hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dari pada dalam surah yang lain.

Tentang suami-suami yang memiliki istri lebih dari satu wanita, Allah telah memperingatkan mereka dalam al-Quran surah an-Nisa ayat 3 yang berbunyi, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Jika sebagai seorang laki-laki muslim kalian takut berbuat zalim terhadap anak-anak yatim karena merupakan dosa besar, maka takutlah juga akan penderitaan yang dialami oleh istri-istri kalian jika kalian tidak berlaku adil. Seorang laki-laki dalam Islam diperbolehkan menikahi lebih dari 1 wanita dan maksimal 4 wanita namun bagi laki-laki diharuskan untuk bersikap adil, jika dirasa tidak mampu adil, sebaiknya seorang wanita saja yang dinikahi. karena perbuatan yang tidak adil kepada istri merupakan tindakan yang zalim dan aniaya.

Sebenarnya prinsip poligami disyariatkan sebelumnya oleh agama-agama samawi, seperti syariat Taurat yang menetapkan seorang laki- laki yang boleh menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya. Taurat merupakan kitab perjanjian lama yang menjadi rujukan orang Nasrani manakala mereka tidak menemukan ketentuan hukum dalam Injil atau risalah-risalah rasul yang bertentangan dengannya. Di abad pertengahan gereja di Eropa membolehkan praktik poligami. Sebagaimana para raja banyak melakukan praktik poligami.

Dalam hal poligami, sebenarnya Islam merupakan agama samawi yang satu-satunya memberikan batasan untuk berpoligami. Sebelum lebih jauh salah memahami tentang poligami dalam Islam, di sini akan saya ungkapkan tentang syarat dalam berpoligami. Pertama, jumlah istri tidak boleh lebih dari empat. Kedua, suami tidak boleh berlaku zalim terhadap salah satu dari mereka, atau suami diwajibkan adil bukan hanya dalam hal materi, tapi juga kasih sayang. Para ulama ahli fikih menetapkan bahwa barang siapa laki-laki yang merasa yakin dirinya tidak akan dapat bersikap adil terhadap wanita yang akan dinikahinya, maka pernikahan itu haram hukumnya.

Sayangnya status keharaman itu hanya terbatas pada etika agama saja, dan tidak masuk dalam larangan peradilan, karena dalam peradilan dibutuhkan bukti, sedangkan dalam hal adil merupakan sikap dan niat saja. Sikap adil terhadap semua istri merupakan persoalan individu yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan. Sedangkan kemampuan memberi nafkah merupakan perkara nisbi (tergantung dari orang yang memandang) yang tidak bisa dibatasi oleh satu ukuran tertentu.

Apabila seorang laki-laki dirasa telah berbuat zalim kepada istri-istrinya dan tidak berlaku adil, maka Islam memberikan hak kepada istri untuk menuntut cerai. Dalam surat an-Nisa ayat 19, Allah juga menyuratkan “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa, seorang laki-laki tidak diperkenankan memperlakukan wanita seperti barang pusaka yang mereka warisi sebagai Istri tanpa mahar, jangan memaksa mereka karena wanita memiliki hak untuk mendapatkan mahar. Dan bagi kalian laki-laki yang telah memberikan mahar tidak diperbolehkan bagi kalian untuk mengambil kembali harta yang sudah diserahkan sebagai mahar, kecuali jika istri jelas-jelas berbuat dosa seperti berselingkuh atau berperilaku buruk, suami diperbolehkan untuk mengambil sebagian apa yang telah diberikan kepada mereka ketika bercerai.

Seorang suami juga bertanggungjawab untuk mempergauli istri dengan ucapan dan tindakan yang baik. Apabila kalian tidak menyukai mereka karena cacat fisik, cacat moral atau lainnya, maka bersabarlah dan jangan tergesa-gesa menceraikan mereka. Sebab, bisa jadi dalam sesuatu yang tidak kalian senangi, Allah memberikan kebaikan yang banyak. Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang tidak manusia ketahui.

Prinsip-prinsip di atas dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme Islam menghargai dan melindungi perempuan. Semangat Al-Quran ini yang terkadang tidak dimaknai secara proporsional sehingga terkesan perempuan manusia nomor dua dalam Islam. Sesungguhnya Islam memiliki perhatian penuh terhadap perempuan, jauh sebelum adanya isi feminisme dan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Islam pada zaman itu sudah mendobrak cara berpikir patriarki yang sangat kental dengan mendudukkan perempuan pada posisinya yang terhormat.

waallahu ‘alam.

ISLAM KAFFAH