ISTIGHFAR mengandung banyak keutamaan selain permohonan ampunan kepada Allah. Syekh Abdul Wahhab As-Syarani dalam kitab Al-Minahus Saniyyah mengutip hadis Rasulullah SAW yang menyebutkan kelapangan rezeki sebagai salah satu keutamaan istighfar:
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, Siapa saja mengekalkan bacaan istighfar, niscaya Allah jadikan baginya sebuah jalan keluar di tengah kesempitan dan sebuah kelonggaran di tengah kesumpekan; dan Allah kucurkan rezeki kepadanya dari jalan yang ia tidak perhitungkan.”
Istighfar juga disebutkan di dalam Al-Quran, Surat Al-Anfal ayat 33.
Artinya, “Dan Allah SWT tidak akan mengazab mereka selagi mereka memohon ampunan-Nya.”
Syekh Ibnu Ajibah dalam Iqazhul Himam menyatakan bahwa makna istighfar bagi kalangan sufi tidak jauh berbeda dengan makna istighfar di kalangan awam. Hanya saja nilai dosa menurut mereka berbeda dari sesuatu yang dianggap dosa oleh orang awam.
Artinya, “Menurut saya, turun dengan suul adab adalah turunnya mereka dalam menuntut pahala atau harta, yaitu balasan. Sedangkan kelalaian adalah melihat diri saat beramal. Bagi kalangan sufi, hal ini dianggap sebuah dosa di mana mereka beristighfar. Oleh karenanya, istighfar mereka setelah shalat berasal dari perasaan hadir diri mereka sebagaimana sebuah syair mengatakan, Wujudmu adalah dosa yang tidak terbandingkan oleh dosa lain,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 382).
Syekh Abdul Wahhab As-Syarani juga menjelaskan hal yang sama. Menurutnya, istighfar di akhir ibadah merupakan pengakuan atas kekurangan dalam ibadah tersebut:
Artinya,”Arifun menyepakati anjuran istighfar usai beramal saleh. Dalam riwayat, para sahabat bercerita bahwa Rasulullah SAW beristighfar 3 kali tiap selepas sembahyang wajib. Maksudnya, menetapkan syariat istighfar usai beramal bagi umatnya sekaligus mengingatkan akan ketidaksempurnaan ibadah mereka.” Wallahu alam. [nuol/Alhafiz K]