nazar puasa

Istri Hendak Puasa Arafah, Apa Harus Izin Suaminya Dulu?

Di antara puasa sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan di bulan Dzulhijjah adalah puasa Arafah. Puasa ini dianjurkan kepada seluruh kaum muslim, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Namun bagaimana jika seorang perempuan yang sudah berstatus sebagai istri hendak melaksanakan puasa Arafah, apakah dia harus minta izin suaminya terlebih dahulu?

Menurut ulama Syafiiyah, ketika seorang istri hendak melakukan puasa Arafah, maka dia boleh melakukannya tanpa harus minta izin suaminya terlebih dahulu. Tidak masalah baginya melakukan puasa Arafah meskipun tanpa minta izin pada suaminya terlebih dahulu, puasanya tetap dinilai sah dan tidak haram.

Hal ini karena puasa Arafah tidak termasuk puasa sunnah yang harus minta izin suami terlebih dulu saat istri hendak melakukannya. Menurut ulama Syafiiyah, puasa Arafah hanya terjadi sekali dalam setahun sehingga jika seorang istri hendak melakukannya, maka dia tidak perlu minta izin pada suaminya.

Ini berbeda jika puasa sunnah tersebut terjadi berulang-ulang dalam setahun, seperti puasa Senin dan Kamis. Dalam puasa sunnah yang terjadi berulang-ulang ini, maka seorang istri harus minta izin suaminya terlebih dahulu ketika hendak melakukannya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiatul Jamal berikut;

أما ما لا يتكرر كعرفة وعاشوراء فلها صومها إلا إن منعها

Adapun puasa sunnah yang tidak terjadi berulang-ulang, seperti puasa Arafah dan Asyura, maka istri boleh mempuasainya kecuali jika suaminya melarangnya.

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah juga disebutkan sebagai berikut;

 ولو صامت المرأة بغير إذن زوجها صح مع الحرمة عند جمهور الفقهاء ، والكراهة التحريمية عند الحنفية ، إلا أن الشافعية خصوا الحرمة بما يتكرر صومه ، أما ما لا يتكرر صومه كعرفة وعاشوراء وستة من شوال فلها صومها بغير إذنه ، إلا إن منعها

Jika seorang istri menjalankan puasa tanpa izin suaminya, maka puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat kebanyakan ulama fiqih. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Hanya saja ulama Syafiiyah mengkhususkan keharaman jika puasa tersebut terjadi berulang kali. Adapun jika puasa tersebut tidak terjadi berulang-ulang, seperti puasa Arafah, puasa Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia boleh melakukannya tanpa izin suaminya, kecuali jika memang suaminya melarangnya.

BINCANG SYARIAH