DALAM sebuah pengajian yang diselenggarakan pada bulan ramadan, pada momen yang berbeda, penulis pernah ditanya oleh dua orang jemaah pengajian. Menurut penulis, masing-masing pertanyaan yang mereka ajukan mengandung korelasi di satu sisi, namun di sisi lain cenderung kontradiksi.
Pertanyaan pertama diajukan kepada penulis pada hari pertama pengajian. Mengingat pengajian ini merupakan pengajian perdana yang diselenggarakan bada subuh di bulan Ramadan, sekaligus sosok penulis sendiri yang mungkin- dianggap kurang dikenal oleh mayoritas masyarakat, di tambah lagi tema yang digagas penyelenggara cenderung berat dan jarang disampaikan, “Fiqih Puasa Menurut Empat Mazhab”, maka pertanyaan yang diajukan pun bernada ketidaksetujuan atas tema yang diangkat.
Kurang lebih pertanyaannya seperti ini:
“Ustadz, bagi masyarakat kita yang awam, pembicaraan tentang mazhab-mazhab fiqih merupakan pembicaraan yang membingungkan, saya harap selepas pengajian ini jemaah yang hadir tidak akan bingung, apalagi keluar dari kebiasaan yang telah berlaku, yaitu mengikuti mazhab imam Asy Syafii.”
Penulispun menjawab bahwa, “Pada hakikatnya adanya mazhab fiqih dan sedikit banyaknya pengetahuan kita terkait hal tersebut, insyaAllah tidak akan menyebabkan kita kebingungan dalam mengamalkan agama selama kita tahu alasan terjadinya perbedaan mazhab, dan hikmah yang terkandung di dalamnya.”
Sedangkan terkait mazhab imam Asy Syafii, penulis sampai tidak enak hati untuk mengatakan, siapakah di antara jemaah pengajian yang tahu detail pendapat-pendapat imam Asy Syafii, padahal penulis tahu bahwa pengurus masjid tesebut menyelenggarakan salat Tarawih sebanyak 11 rakaat, yang notabene bukanlah mazhab imam Asy Syafii.
Adapun pertanyaan kedua, kurang lebih seperti ini:
“Ustadz, saya pernah mendengar dan membaca sebuah buku, bahwa ada ulama yang mengatakan bahwa qunut subuh itu tidak ada, bahkan perbuatan bidah. Apakah benar demikian?”
Penulispun menjawab bahwa, “Masalah qunut merupakan masalah yang diperselisihkan ulama, di mana kita tidak boleh saling bermusuhan dan terpecah belah atas dasar permasalahan-permasalahan semisal ini, meskipun ulama yang bersangkutan sampai menyatakan bahwa qunut itu hukumnya haram atau bidah.”
Dari dua permasalahan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sering kali masyarakat muslim atau sebagian di antara mereka berlindung di bawah alasan “sebagai orang awam/awwamiyyah” untuk tidak ingin tahu menahu pendapat kelompok/mazhab lain meskipun dalam ranah furuiyyah.
Padahal informasi-informasi tentang adanya perbedaan-perbedaan pendapat dalam banyak hal terkait corak beragama (Islam) di negeri ini merupakan suatu keniscayaan yang pasti terjadi dan lumrah serta mesti disikapi dengan sikap yang bijak, serta didasari ilmu yang benar atau informasi yang valid.
Dan patut diketaui bahwa sikap tidak ingin tahu dengan alasan awwamiyyah tidak seyogyanya menghalangi kita untuk terus belajar tentang perkara-perkara agama sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang dimiliki.
Semakin banyak seseorang mengetahui khilafiyah dalam fiqih maka semakin lapang dadalah ia, jika diniati untuk bertafaqquh/belajar. Dan tentu semakin sering mendatangkan kebaikan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapapun yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, Allah akan menganugrahi atasnya pemahaman dalam agamanya.”
Adapun sikap ketidak mau tahuan bahkan cenderung menganggap pendapat lain tidak mesti diakui eksistensinya merupakan sikap arogansi beragama yang semestinya diminimalisir bahkan dihilangkan dalam tubuh masyarakat muslim.
Wallahualam. [Isnan Ansory, Lc, M.A]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316351/jangan-tidak-ingin-tahu-dengan-dalih-orang-awam#sthash.fDi6bSqL.dpuf