Meskipun jaraknya jauh, Uzbekistan dan Indonesia sudah memiliki hubungan baik sejak lama. Seperti pribahasa, meskipun jauh di mata tapi dekat di hati.
Hal ini juga pernah diungkapkan Presiden Sukarno saat berkunjung ke Uzbekistan pada 4-6 September 1956, di mana saat itu Uzbekistan masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Sejarawan Islam asal Jember, Rijal Mumaziq, meceritakan di negara tersebut Sukarno mengunjungi Kota Tashkent dan melakukan ziarah ke makam Imam Bukhari di Samarkand, yang merupakan ulama hadis terkenal dalam sejarah peradaban Islam.
Dalam kunjungannya itu, Sukarno meminta kepada Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang merupakan kawan akrabnya untuk memugar kembali makam Imam Bukhari yang baru ditemuka dan tidak terurus.
“Beliau (Sukarno) mengunjungi makam Imam Bukhari dan mendesak kepada presiden Uni Soviet saat itu, untuk membangun kembali,” ujar sejarawan yang akrab disapa Gus Rijal ini dalam seminar bertema “Jejak ulama Uzbekistan di Nusantara” di Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal, TMII, Jakarta Timur, akhir pekan ini.
Saat itu, menurut Gus Rijal, Sukarno juga disambut dengan meriah rakyat Uzbekistan. Bahkan, seseorang yang sangat mengagumi Sukarno memberikan seekor kuda berwarna abu-abu dan Bung Karno menamakan kuda itu sebagai Kilat Uzbek.
“Bung Karno berterimakasih atas hadiah itu. Tapi sangat tidak memungkinkan karena naik pesawat ke Indonesia,” ucapnya.
Karena jasa Bung Karno itu, sampai saat ini umat Islam Indonesia yang melakukan ziarah ke makam Imam Bukhari sangat dihormati.
Dia pun menceritakan tentang salah satu temannya yang menjadi koki di KBRI Uzbekistan, Didik Isnanto.
Saat melakukan ziarah ke makam Imam Bukhari, kata Gus Rijal, temannya itu mengenakan kopyah hitam seperti halnya Sukarno. Ketika mau masuk ke makam itu, tiba-tiba beberapa orang tua yang duduk di sekitar makam tersenyum ramah dan melambaikan tangannya sembari mengucapkan salam.
“Lalu beberapa orang tua tersebut meneriakkan sebuah kosakata yang terdengar aneh di telinga Mas Didik. Apa kosakatanya, ‘Zu Karnu, Zu Karnu, Zu Karnu’,” kata Gus Rijal saat menceritakan kisah temannya.
Kemudian, Didik kaget karena kosakata itu terdengar asing di telinganya. Namun, setelah menyadarinya, Didik langsung menyalami para orang tua tersebut, dan dia pun dtemui oleh juru kunci makam tersebut.
“Kemudian juru kunci yang sudah sepuh itu mengizinkan masuk dan memperlakukan Mas Didik secara istimewa karena merasa berhutang budi kepada Sukarno,” tutupnya.