Kandungan Hadis: Keutamaan Menunjukkan Kebaikan

Kandungan Hadis: Keutamaan Menunjukkan Kebaikan

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه

Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya. (HR. Muslim)

Penjelasan hadis

Hadis ini jika ditinjau dari tiga sisi, maka mengandung pertanyaan: Bagaimana cara menunjukkan kepada kebaikan? Siapa yang ditunjuki kebaikan? Dan apa wujud dari kebaikan yang diajarkan tersebut?

Pertama, bagaimana cara menunjukkan kebaikan?

Menunjukkan kebaikan itu cakupannya luas dan tidak hanya dengan ceramah saja. Ia bisa menunjukkan kebaikan dengan lisan, tulisan, atau perbuatan. Dengan lisan, misalnya ia mengajarkan membaca Al-Qur’an, menghafal surah-surah pendek, atau mengajak kepada kebaikan dan ketaatan, serta mencegah dari kemungkaran.

Umat Islam disebut oleh Allah Ta’ala sebagai umat yang terbaik karena adanya ibadah amar makruf nahi munkar (saling mengajak kepada kebaikan dan melarang dari perbuatan keburukan).

Allah Ta’ala berfirman,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah …” (QS. Ali Imron: 110)

Ketika mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka yang perlu diperhatikan adalah nasihat tersebut disampaikan dengan ilmu, lemah lembut, adil, dan melihat kondisi orang yang akan diberikan nasihat. Kemudian, cara menunjukkan kebaikan dengan tulisan atau perbuatan, misalnya dengan menulis nasihat-nasihat yang kemudian dibagikan ke media sosial, mencetak poster ilmu agama dan ditempel ke masjid atau majalah dinding, senyum, salam, sapa, teladan yang baik, dan akhlak yang santun (jujur, tanggung jawab, adil, dan sebagainya).

Kedua, siapa yang ditunjuki kebaikan?

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadis ini tidak membatasi siapa yang harus ditunjukkan kepada kebaikan. Maka, objek yang akan ditunjuki kebaikan adalah semua orang, sekalipun ia atheis atau manusia yang paling jahat (misal: Fir’aun).

Allah Ta’ala berpesan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam,

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka, berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut. (QS. Thaha: 43-44)

Fir’aun saja yang mengakui diri sebagai Tuhan, Allah perintahkan untuk menasihatinya dengan lemah lembut. Apalagi kepada sesama muslim?

Dari sekian banyak manusia yang hidup di muka bumi ini, maka ada prioritas siapa saja yang didahulukan untuk ditunjuki kepada kebaikan. Yang paling utama didahulukan adalah keluarga. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ ٱلْأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214)

Begitu ayat ini turun, Abu Hurairah berkata bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengumpulkan keluarganya dari satu suku, satu buyut, satu kakek, hingga istri dan anak beliau yang ada di kota Makkah. Lalu, beliau bersabda,

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai orang-orang Quraisy, atau ucapan yang serupa dengannya, belilah diri kalian dari Allah. Saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani Abd Manaf, saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muththalib, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan dari hartaku, tetapi saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah (di hari kiamat kelak jika engkau tidak beriman).” (HR. Bukhari)

Nabi  shallallahu ’alaihi wasallam sangat memprioritaskan dakwah dan mengajak kepada kebaikan dalam keluarga. Oleh karenanya, orang-orang yang pertama masuk Islam kebanyakan dari keluarga beliau. Dan dakwah kepada keluarga hukumnya adalah fardhu ‘ain (wajib).

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6)

Kemudian, setelah keluarga, baru menunjukkan kebaikan tersebut kepada tetangga, teman, lalu orang yang dikenal maupun tidak dikenal.

Ketiga, apa wujud dari kebaikan yang diajarkan?

Kebaikan itu ada yang dalam urusan agama (ilmu syar’i) dan ada yang perihal dunia. Ketika kita menunjukkan suatu ilmu agama kepada orang lain, walaupun kita tidak melakukannya (karena lupa, sakit, atau tidak mampu), maka saat orang lain mengamalkannya, maka kita akan mendapatkan pahalanya. Sehingga, ilmu agama menjadi prioritas utama untuk kita berikan dan tunjukkan kepada orang lain.

Ilmu agama yang diajarkan bisa dari yang paling sederhana seperti adab dan akhlak sehari-hari.

Umar bin Abi Salamah berkata, Rasulullah  shallallahu ’alaihi wasallam bersabda kepadaku,

يا غُلامُ، سمِّ اَلله، وكُلْ بِيَمِينِك، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ فما زَالَتْ تِلك طِعْمَتِي بَعْدُ

“Wahai anak kecil! Ucapkanlah, ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat darimu! Maka, hal ini senantiasa menjadi kebiasaan makanku setelah itu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain itu, juga dapat berupa hal dasar, semisal tata cara beribadah, membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar (tahsin), prinsip-prinsip beragama (akidah), dan cara mengenal dan mengesakan Allah (tauhid).

Kemudian, menunjukkan kebaikan dari sisi duniawi, semisal ilmu kedokteran modern atau tradisional, ilmu-ilmu teknik, resep masakan, dan sebagainya. Ada banyak sekali manfaat yang bisa diberikan kepada orang lain dengan ilmu-ilmu dunia yang kita miliki.

Semoga bermanfaat

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Sumber: https://muslim.or.id/91654-keutamaan-menunjukkan-kebaikan.html
Copyright © 2024 muslim.or.id