Suatu hari di bulan suci Ramadhan, seorang laki-laki asing menyusuri lorong sempit di antara dinding tua kota kuno Fez, Maroko. Dalam keremangan, di berbagai sudut tampak beberapa orang tuna daksa duduk melantunkan ayat suci Alquran dengan penuh kekhusyukan.
Merasakan suasana damai dan menikmati keindahan suara para pelantun ayat-ayat suci (qari) tersebut, laki-laki asing itu tergerak membagi uang kepada mereka di sepanjang lorong itu. Terdengar lantunan merdu dari salah seorang qari. Qari tersebut mendapat uang paling banyak.
Ia lantas memberikan sebagian uangnya kepada teman di sebelahnya. Temannya itu kakinya buntung sebelah. Suara maupun bacaannya kurang bagus sehingga hanya dapat uang sedikit.
Menyaksikan peristiwa tersebut, laki-laki asing tersebut sangat takjub dan heran. Qari yang memberi uang itu bahkan sama sekali tak memiliki kaki! Sebagai seorang bukan Muslim, pria asing itu merasa teramat heran.Ia melihat seseorang yang bernasib lebih malang, tetapi masih beramal dan menolong orang yang kondisinya jauh lebih baik dari dirinya.
Kejadian di lorong Kota Fez di bulan Ramadhan itu membuka mata hati sang lelaki asing. Pria bernama Steven Copperfield itu pun bersyahadat. Ia tidak hanya merasakan keindahan lantunan bacaan Alquran, tetapi juga keindahan implementasinya pada bulan Ramadhan.
Dari kisah itu, kita bisa mendapatkan inspirasi tentang bagaimana mela kukan amalan di bulan puasa.
Puasa sesungguhnya ada tiga jenis, yaitu: puasa fisik, puasa emosi, dan puasa spiritual. Puasa fisik adalah menahan dorongan nafsu dari makan, minum, pakaian, atau kebutuhan biologis. Puasa emosi adalah menahan diri dari amarah, dendam, serakah, dll. Sedangkan, puasa spiritual adalah membersihkan dari hal-hal yang mengotori nilai-nilai spiritualitas.
Becermin pada kisah di atas, kita melihat qari yang cacat secara fisik tersebut telah melakukan ketiga jenis puasa. Ia telah puasa fisik, yaitu menahan dorongan nafsu untuk makan dan minum.
Ia juga sudah melakukan puasa emosi sehingga mampu menahan dorongan nafsu keserakahan dengan justru berempati pada teman di sebelahnya. Terakhir, ia juga sudah puasa secara spiritual karena telah menunjukkan nilai-nilai kasih sayang dengan memberi dan menolong.
Melihat fenomena dewasa ini, sulit dimungkiri bahwa masih banyak di antara kita yang berpuasa baru sebatas fisik, yaitu menahan makan dan minum. Sering kali kita sulit menahan nafsu amarah, bergunjing, berdusta, menghasut, dan nafsu negatif lainnya. Puasa juga sering kali belum mampu membersihkan nilai- nilai spiritualitas sehingga potensi fitrah kebaikan menjadi terpancar.
Puasa akan menjadikan jiwa kita bersih dan fitrah diri kita kembali muncul. Dengan demikian, nilai kebaikan seperti kasih sayang, kepedulian, kejujuran, dan kesung guhan menjadi terpancar dari dalam diri ke sekitar kita yang selama ini tertutupi belenggu nafsu. Oleh karenanya, selagi masih bulan Ramadhan, mari kita hiasi dengan amalan terbaik.Pertanyaannya, apa amalan unggulan kita pada Ramadhan tahun ini?
OLEH ARY GINANJAR AGUSTIAN