Keistimewaan para Rasul

Keistimewaan para Rasul (Bag. 1)

Sesungguhnya para Rasul itu diberikan beberapa keistimewaan dari Allah Ta’ala sehingga membedakannya dari manusia yang lain. Beberapa keistimewaan tersebut antara lain:

Pertama, wahyu.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal yang salih dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Yang dimaksud dengan wahyu secara syar’i adalah informasi atau kabar berkaitan dengan syari’at. (Fathul Baari, 1: 12)

Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat yang mulia ini untuk mengatakan kepada manusia, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia semisal dengan kalian.” Maksudnya, aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku ini malaikat atau bukan jenis manusia. Bahkan, aku ini manusia semisal kalian. Maksudnya, sama-sama berasal dari jenis manusia. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan aku kelebihan dan keistimewaan dengan memberikan wahyu kepadaku berupa tauhid dan syariat.” (Adhwaa’ul Bayaan, 3: 355)

Kedua, al-‘ishmah.

Yang dimaksud dengan al-‘ishmah (ke-ma’shum-an) adalah terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan perkara agama.

Allah Ta’ala berfirman,

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (hai orang-orang mu’min), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 136)

Allah Ta’ala mewajibkan iman kepada ajaran yang dibawa oleh para Rasul. Seandainya mereka tidak ma’shum, niscaya Allah Ta’ala tidak akan mewajibkan hal tersebut. Tidak ada satu pun kaum muslimin yang memperdebatkan tentang kema’shuman para Rasul dalam menyampaikan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Para Nabi -semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada mereka- itu ma’shum dalam perkara yang mereka beritakan dari Allah Ta’ala, juga dalam menyampaikan risalahnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 10: 289)

Ketiga, matanya tertidur, namun hatinya tetap terjaga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya mataku tertidur, namun hatiku tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 1147)

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita tentang perjalanan malam isra’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari masjid Ka’bah (Masjidil Haram). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَهُ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِي مَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ أَوَّلُهُمْ أَيُّهُمْ هُوَ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ هُوَ خَيْرُهُمْ وَقَالَ آخِرُهُمْ خُذُوا خَيْرَهُمْ فَكَانَتْ تِلْكَ فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى جَاءُوا لَيْلَةً أُخْرَى فِيمَا يَرَى قَلْبُهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمَةٌ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلَا تَنَامُ قُلُوبُهُمْ

“Ketika itu, beliau didatangi oleh tiga orang (malaikat) sebelum beliau diberi wahyu, saat sedang tertidur di Masjidil Haram. Malaikat pertama berkata, “Siapa orang ini di antara kaumnya?” Malaikat yang di tengah berkata, “Dia adalah orang yang terbaik di kalangan mereka.” Lalu malaikat yang ketiga berkata, “Ambillah yang terbaik dari mereka.” Dan beliau tidak pernah melihat mereka lagi hingga akhirnya mereka datang di malam yang lain berdasarkan penglihatan hati beliau. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam matanya tertidur, namun hatinya tidaklah tidur. Demikian pula para nabi (yang lain), mata mereka tidur namun hati mereka tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 3570)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,

“Para Nabi ‘alaihis salaam itu mata mereka tidur, namun hati mereka tidaklah tidur. Oleh karena itu, mimpi para Nabi termasuk wahyu.” (Al-Istidzkaar, 1: 75)

Beliau rahimahullah juga berkata,

“Oleh karena itu, wallahu a’lam, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa mimpi para Nabi itu wahyu. Karena para Nabi itu terbedakan dari manusia lain yang hati mereka tidur, dan sama dengan manusia yang lain dalam hal mata yang tertidur. Seandainya tidur itu menguasai hati para Nabi, sebagaimana manusia yang lain, maka mimpi para Nabi akan sama statusnya dengan mimpi manusia yang lain. Allah Ta’ala memberikan kekhususan dengan keutamaan dari-Nya berupa keistimewaan (apa saja) yang Allah Ta’ala kehendaki.” (Al-Istidzkaar, 2: 101)

Keempat, para Nabi itu dimakamkan di tempat mereka meninggal.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ قَالَ مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ ادْفِنُوهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, para sahabat berselisih pendapat di mana akan memakamkan beliau. Abu Bakar berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak aku lupakan, yaitu beliau bersabda, “Allah tidak mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat yang mana dia suka untuk dikubur pada tempat itu. Kuburkanlah beliau di tempat tidurnya.” (HR. Tirmidzi no. 1018, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Ini adalah kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para Nabi yang lain. Oleh karena itu, para shahabat tidaklah memakamkan orang meninggal di antara mereka di rumahnya, akan tetapi mereka makamkan di pemakaman Baqi’. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memakamkan satu orang pun di rumahnya. Hal ini merupakan dalil bahwa memakamkan di rumah itu tidak diperbolehkan.

Kelima, Nabi diberikan pilihan antara dunia dan akhirat ketika sakit.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Tidaklah seorang nabi sakit kecuali akan diberi pilihan antara dunia dan akhirat.” (HR. Bukhari no. 4586)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id