Keistimewaan para Rasul (Bag. 2)

Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan lima poin keistimewaan para Rasul; diantaranya mendapatkan wahyu, Al-‘Ishmah, matanya tertidur namun hatinya tetap terjaga, mereka dimakamkan di tempat mereka meninggal, dan diberikan pilihan antara dunia dan akhirat ketika sakit. Silahkan simak pembahasan tersebut pada artikel Keistimewaan para Rasul (Bag. 1).

Pada penjelasan selanjutnya, akan kami lanjutkan poin keenam sampai kedelapan; diantaranya, jasad para nabi tidak bisa dimakan tanah, setiap nabi memiliki haudh (telaga), dan para nabi tetap hidup di kubur mereka. Silahkan menyimak ketiga ulasan berikut.

Keenam, jasad para nabi tidak bisa dimakan tanah

Dari sahabat Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ

“Sesungguhnya hari Jumat adalah di antara hari-hari kalian yang terbaik. Maka perbanyaklah selawat kepadaku pada hari itu, karena sesungguhnya selawat kalian disampaikan kepadaku.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana selawat kami disampaikan kepadamu, sementara Anda telah meninggal?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan jasad para nabi atas tanah” (HR. Abu Dawud no. 1531 dan An-Nasa’i no. 1374, dinilai shahih oleh Al-Albani).

Ketujuh, setiap nabi memiliki haudh (telaga)

Dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوْضًا وَإِنَّهُمْ يَتَبَاهَوْنَ أَيُّهُمْ أَكْثَرُ وَارِدَةً وَإِنِّي أَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ وَارِدَةً

“Sesungguhnya tiap-tiap nabi itu memiliki telaga, dan sesungguhnya mereka saling membangga-banggakan telaga siapakah di antara mereka yang paling banyak pengunjungnya. Dan sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling banyak pengunjungnya” (HR. Tirmidzi no. 2443).

Hadis ini diperselisihkan status sahihnya. Dan di antara ulama yang menilai hadis ini hasan adalah Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-Albani Rahimahumullah. Sehingga kita katakan bahwa nabi-nabi yang lain juga memiliki telaga. Meskipun demikian, telaga yang paling istimewa adalah telaga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendapatkan suplai air dari surga.

Kedelapan, para nabi itu tetap hidup di kubur mereka

Dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأنبياء أحياء في قبورهم يصلون

“Para Nabi itu tetap hidup di kubur-kubur mereka, mereka shalat di dalamnya” (HR. Abu Ya’ala dalam Musnad no. 3425).

Dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَرَرْتُ عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ

“Aku melewati Musa pada malam aku di isra’-kan, yaitu di samping bukit merah, beliau  sedang salat di dalam kuburnya” (HR. Muslim no. 2375).

Jika telah diketahui bahwa para nabi itu tetap hidup dalam kubur mereka berdasarkan dalil wahyu (dalil naql), hal itu pun bisa dikuatkan dari sisi logika. Hal ini karena para syuhada juga hidup (di dalam kuburnya) berdasarkan dalil dari Al Quran. Sedangkan kedudukan para nabi itu lebih tinggi daripada kedudukan para syuhada (Fathul Baari, 6: 488).

Meskipun demikian, tidak boleh bagi kita untuk meminta sesuatu dari mereka, meskipun mereka tetap hidup di kubur mereka. Karena hal ini tidak pernah dilakukan sama sekali oleh para salaf. Perbuatan itu termasuk sarana menuju kemusyrikan dan juga menujukan ibadah kepada mereka, selain kepada Allah Ta’ala.  Berbeda halnya meminta kepada para Nabi ketika mereka masih hidup di dunia, hal ini bukanlah sarana menuju kemusyrikan (Qa’idah Jalilah fi At-Tawassul wal Wasilah, hal. 289).

Kehidupan para nabi di alam kubur adalah kehidupan di alam barzakh, yang kita tidak mengetahui bagaimanakah hakikatnya. Hal itu termasuk perkara gaib yang tidak Allah Ta’ala kabarkan kepada kita. Sehingga, kehidupan mereka di alam kubur itu berbeda dengan kehidupan mereka di alam dunia.

Dalam masalah ini, terdapat sekelompok orang yang tersesat, karena mereka menyangka bahwa kehidupan para nabi di alam kubur itu sebagaimana kehidupan mereka di alam dunia. Hal ini bisa dibantah dari beberapa aspek:

Pertama, seandainya para nabi itu hidup di alam kubur sebagaimana hidupnya mereka di alam dunia, maka seharusnya mereka berada di atas bumi (di atas tanah), bukan di bawahnya. Ini adalah sunnatullah yang berlaku atas makhluknya, bahwa orang hidup di dunia itu berada di atas bumi, sedangkan orang yang sudah meninggal di bawah bumi.

Kedua, terjadi perselisihan pendapat di kalangan sahabat dalam beberapa masalah, demikian pula umat Islam setelah generasi sahabat. Demikian pula, berbagai bidah muncul sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya nabi itu hidup sebagaimana hidupnya di dunia, akan mudah bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berfatwa, menjelaskan kepada umat manakah yang sunah, dan manakah yang bidah, menjelaskan pekara manakah yang halal dan manakah yang haram.

Atau jika tidak demikian, maka ada kemungkinan yang lain, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu untuk berbicara atau tidak mampu menjawab pertanyaan. Atau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu bangkit dari kuburnya. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari kesesatan semacam ini.

Ketiga, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa para rasul itu manusia biasa, mereka mati sebagaimana manusia juga mati. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)” (QS. Az-Zumar [39]: 30).

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 34).

Dan tidak terdapat dalil dari Al Quran dan As Sunnah bahwa mereka akan diutus kembali setelah meninggal dunia.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Keistimewaan para Rasul (Bag. 1)

Sesungguhnya para Rasul itu diberikan beberapa keistimewaan dari Allah Ta’ala sehingga membedakannya dari manusia yang lain. Beberapa keistimewaan tersebut antara lain:

Pertama, wahyu.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal yang salih dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Yang dimaksud dengan wahyu secara syar’i adalah informasi atau kabar berkaitan dengan syari’at. (Fathul Baari, 1: 12)

Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat yang mulia ini untuk mengatakan kepada manusia, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia semisal dengan kalian.” Maksudnya, aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku ini malaikat atau bukan jenis manusia. Bahkan, aku ini manusia semisal kalian. Maksudnya, sama-sama berasal dari jenis manusia. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan aku kelebihan dan keistimewaan dengan memberikan wahyu kepadaku berupa tauhid dan syariat.” (Adhwaa’ul Bayaan, 3: 355)

Kedua, al-‘ishmah.

Yang dimaksud dengan al-‘ishmah (ke-ma’shum-an) adalah terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan perkara agama.

Allah Ta’ala berfirman,

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (hai orang-orang mu’min), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 136)

Allah Ta’ala mewajibkan iman kepada ajaran yang dibawa oleh para Rasul. Seandainya mereka tidak ma’shum, niscaya Allah Ta’ala tidak akan mewajibkan hal tersebut. Tidak ada satu pun kaum muslimin yang memperdebatkan tentang kema’shuman para Rasul dalam menyampaikan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Para Nabi -semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada mereka- itu ma’shum dalam perkara yang mereka beritakan dari Allah Ta’ala, juga dalam menyampaikan risalahnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 10: 289)

Ketiga, matanya tertidur, namun hatinya tetap terjaga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya mataku tertidur, namun hatiku tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 1147)

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita tentang perjalanan malam isra’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari masjid Ka’bah (Masjidil Haram). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَهُ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِي مَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ أَوَّلُهُمْ أَيُّهُمْ هُوَ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ هُوَ خَيْرُهُمْ وَقَالَ آخِرُهُمْ خُذُوا خَيْرَهُمْ فَكَانَتْ تِلْكَ فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى جَاءُوا لَيْلَةً أُخْرَى فِيمَا يَرَى قَلْبُهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمَةٌ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلَا تَنَامُ قُلُوبُهُمْ

“Ketika itu, beliau didatangi oleh tiga orang (malaikat) sebelum beliau diberi wahyu, saat sedang tertidur di Masjidil Haram. Malaikat pertama berkata, “Siapa orang ini di antara kaumnya?” Malaikat yang di tengah berkata, “Dia adalah orang yang terbaik di kalangan mereka.” Lalu malaikat yang ketiga berkata, “Ambillah yang terbaik dari mereka.” Dan beliau tidak pernah melihat mereka lagi hingga akhirnya mereka datang di malam yang lain berdasarkan penglihatan hati beliau. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam matanya tertidur, namun hatinya tidaklah tidur. Demikian pula para nabi (yang lain), mata mereka tidur namun hati mereka tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 3570)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,

“Para Nabi ‘alaihis salaam itu mata mereka tidur, namun hati mereka tidaklah tidur. Oleh karena itu, mimpi para Nabi termasuk wahyu.” (Al-Istidzkaar, 1: 75)

Beliau rahimahullah juga berkata,

“Oleh karena itu, wallahu a’lam, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa mimpi para Nabi itu wahyu. Karena para Nabi itu terbedakan dari manusia lain yang hati mereka tidur, dan sama dengan manusia yang lain dalam hal mata yang tertidur. Seandainya tidur itu menguasai hati para Nabi, sebagaimana manusia yang lain, maka mimpi para Nabi akan sama statusnya dengan mimpi manusia yang lain. Allah Ta’ala memberikan kekhususan dengan keutamaan dari-Nya berupa keistimewaan (apa saja) yang Allah Ta’ala kehendaki.” (Al-Istidzkaar, 2: 101)

Keempat, para Nabi itu dimakamkan di tempat mereka meninggal.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ قَالَ مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ ادْفِنُوهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, para sahabat berselisih pendapat di mana akan memakamkan beliau. Abu Bakar berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak aku lupakan, yaitu beliau bersabda, “Allah tidak mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat yang mana dia suka untuk dikubur pada tempat itu. Kuburkanlah beliau di tempat tidurnya.” (HR. Tirmidzi no. 1018, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Ini adalah kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para Nabi yang lain. Oleh karena itu, para shahabat tidaklah memakamkan orang meninggal di antara mereka di rumahnya, akan tetapi mereka makamkan di pemakaman Baqi’. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memakamkan satu orang pun di rumahnya. Hal ini merupakan dalil bahwa memakamkan di rumah itu tidak diperbolehkan.

Kelima, Nabi diberikan pilihan antara dunia dan akhirat ketika sakit.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Tidaklah seorang nabi sakit kecuali akan diberi pilihan antara dunia dan akhirat.” (HR. Bukhari no. 4586)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id