Nuansa ibadah Ramadhan tentu memberikan kesan luar biasa bagi jiwa yang mendamba ketenangan dan kebahagiaan. Terutama kala jiwa telah memenangkan 10 hari terakhir Ramadhan dengan ibadah penuh khusyuk dalam rangkaian iktikaf, ketentraman hati benar-benar menguasai diri.
Namun, seiring berjalannya waktu, ketentraman hati itu rawan pudar karena orientasi hidup yang memang belum diarahkan pada surga. Ibadah belum sepenuhnya berpengaruh kuat pada cara pandang dalam hidup sesuai Islam. Hawa nafsu kadang lolos menguasai diri dan angkara merasuk menjadi penentu kendali atas pikiran dan tindakan.
Hati gelisah hanya kala kehormatan diri ada yang menghinakan. Tetapi, sama sekali tidak risau kala umat dan agama didiskreditkan. Kebahagiaan selanjutnya diukurnya berdasarkan besarnya pendapatan, bukan lagi ibadah, kepedulian dan perjuangan dalam menegakkan kebenaran.
Berteman pun bukan lagi didasarkan iman, tetapi semata-mata keuntungan diri sendiri. Ramadhan benar-benar telah lepas. “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS Huud [11]: 113).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan Rasul dan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bersikap teguh dan tetap berjalan pada jalan yang lurus. Sebab, hanya dengan itulah akan ada pertolongan dari-Nya. Ibn Jarir meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang aniaya.
Pendapat ini cukup baik, yang maksudnya ialah janganlah kalian meminta pertolongan kepada orang-orang yang aniaya, karena jadinya seakan-akan kalian rela kepada amal perbuatan mereka. Ramadhan memang palagan penuh keberkahan, namun ia hakikatnya adalah momen perbekalan guna menghadapi kenyataan yang kadang kala membutuhkan pengorbanan dan perjuangan tiada henti.
Saat itu, ibadah tidak boleh sekadar ritual, tetapi juga harus mampu menumbuhkan sistem kesadaran berpikir Islami dan cara pandang yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Ibn Al-Jauzi berkata, “Pikiran yang jernih bila digunakan secara seksama pasti akan menyuruh pemiliknya memburu kedudukan paling mulia dan melarangnya puas dengan kedudukan yang hina dalam semua situasi.”
Oleh karena itu, jangan sampai kenikmatan ibadah Ramadhan menguap tanpa bekas dalam cara berpikir dan perilaku kehidupan. Kita patut merenungkan apa yang disampaikan Rasulullah SAW kepada para sahabat, perihal seorang penghuni surga yang setelah dicek oleh Amru bin Ash tidak memiliki keistimewaan dalam hal ibadah.
Lelaki penghuni surga itu berkata, “Sebagaimana yang kamu lihat, aku tidak mengerjakan amalan apa-apa, hanya saja aku tidak pernah mempunyai rasa iri kepada sesama Muslim atau hasad terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya,” ucapnya.
Abdullah bin Amr berkata, “Rupanya itulah yang menyebabkan kamu mencapai derajat itu, sebuah amalan yang kami tidak mampu melakukannya.” Jadi mari kembali ke surga dengan berlapang dada.
Oleh: Imam Nawawi