Suatu ketika hiduplah seorang cendekiawan muda yang sangat mahir dalam menciptakan berbagai macam keajaiban melalui kata yang dituliskannya melalui buku, novel, media sosial, dan media masa lainnya. Karyanya sudah banyak dikagumi khalayak ramai, tak sedikit pula yang membagikan hasil tulisannya. Dan di setiap tulisannya pasti terkandung nilai-nilai kehidupan, kemanusiaan, bahkan ketuhanan, sebagai natijah atau nilai dari buah pemikirannya yang begitu matang.
Dalam setiap karyanya pasti tertera nama pena berupa hamba Allah atau terkadang ia memakai nama samaran al-faqir ila rahmatillahi yang dicontohnya dari maha karya para ulama tasawuf terdahulu. Karya demi karya cendekiawan muda itu semakin digandrungi oleh masyarakat karena kerendahan hatinya.
Tak bisa dipungkiri, kepiawaiannya dalam merangkai kata menjadi sebuah bait pemikiran yang begitu indah, membuatnya banyak dicari-cari identitas aslinya oleh para pembaca setianya. Terlebih ketika ia menulis babakan keikhlasan, pasti para pembaca dibuatnya terbelalak kagum membaca tulisannya itu.
Karya demi karya banyak dilahirkannya dengan nama pena “hamba Allah”. Hingga akhirnya ia mulai terlena pada hakikat nama pena yang disandangnya itu. Ia mulai lupa bahwa setiap karya yang ditulisnya itu sejatinya adalah anugerah atau kelebihan dari Allah yang diberikan padanya. Ia lupa bahwa yang membuatnya bisa sebegitu masyhur adalah Zat Yang Maha Masyhur.
Suatu ketika, ia tengah duduk bersama sekelompok anak muda yang tengah asyik membincangkan masalah sastra, sekelompok pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa di hadapan mereka itu adalah seorang cendekiawan hebat yang sebenarnya mereka cari-cari selama ini. Salah satu dari pemuda itupun kemudian membahas karya-karya dari sang hamba Allah itu, menurutnya karyanya begitu memotivasi kehidupannya yang dulunya sempat kelam.
Sang cendekiawan muda itu hanya mendengarkan pujian demi pujian yang dilontarkan oleh sekelompok pemuda tersebut, sembari membatin bahwasanya “siapa lagi yang bisa menciptakan karya seindah itu selain aku sang hamba Allah ini”. Sesekali ia juga ikut nimbrung untuk hanya sekedar berpura-pura menanyakan, siapakah hamba Allah itu yang karya-karyanya begitu indah. Walaupun sebenarnya yang ia tanyakan itu sebenarnya ialah dirinya sendiri.
Cendekiawan muda itu semakin dibuat lupa oleh nama hamba Allah yang selalu disematkannya itu, ia lupa bahwa segala pujian yang menyangkut setiap karya-karyanya itu seharusnya tertuju pada Sang Pemilik Hamba, bukan sang hamba Allah itu sendiri. Ia malah seakan-akan mempopulerkan nama Allah melalui nama penanya itu, tanpa menyadari bahwa sebenarnya yang mempopulerkan nama penanya itu adalah Allah.
Ia semakin hanyut dalam pengakuan dirinya melalui nama hamba Allah disetiap karyanya itu, tanpa benar-benar mempraktikan nama hamba Allah di dalam kehidupannya. Ia lupa bahwa nama penanya itu seharusnya sebagai pengakuan diri yang hina, lemah, dan tak berdaya untuk menghasilkan sebuah karya tulis. Bukan sebagai pengakuan diri bahwa tiada orang yang dapat menciptakan karya seindah karyanya itu. Bukan pula sebagai pengakuan diri bahwa hanya ialah hamba Allah yang dapat menciptakan karya yang begitu memotivasi.
Ia semakin terjebak dalam kesombongan yang syir, nama hamba Allah bukannya sebagai salah satu lakunya untuk lebih tawadu, malah menjadikan dirinya semakin sombong dalam pengakuannya pada nama hamba Allah, tanpa menyadari bahwa di dalam dirinya ada sekecil biji kesombongan pada setiap lakunya yang seakan akan adalah sebuah keikhlasan itu sendiri.
Dan pada akhirnya, ia hanya terkotak dengan kesombongan syirnya, selama ia tak bisa benar-benar menyadari bahwa sebenarnya nama hamba Allah adalah sebuah predikat atau sandangan tertinggi bagi para kekasih Allah yang benar-benar memiliki kriteria keikhlasan yang murni dan dikaruniai qalbun salim seperti nabi Muhammad Saw.