Keteguhan Thawus bin Kaisan dalam menjaga kesucian iman dan Ilmu, seperti dinukilkan dari Mereka adalah Tabiin, patut menjadi teladan bagi setiap umat Islam, terutama elite ulama yang memiliki kedekatan dengan para penguasa.
Soal kemantapan iman, kejujuran kata-kata, kezuhudan terhadap dunia, dan keberanian dalam menyerukan kalimat yang benar kendati harus ditebus dengan harga yang mahal, Thawus adalah teladan yang sangat mengesankan.
Bagaimana tidak, mesti berkali-kali penguasa setingkat gubernur memberikan hadiah demi mengurangi kritikan tajam Thawus terhadap lingkaran kekuasaan, Ia tidak segan menolak dan mengembalikan hadiahnya secara langsung. Bagi Thawus, kebaikan secara total dapat terwujud bila dimulai dari penguasa.
Begitulah sekilas tentang Dzakwan bin Kaisan yang mendapat julukan Thawus (burung merak), ia laksana burung merak bagi para fukaha dan pemuka pada masanya. Thawus bin Kaisan adalah penduduk Yaman, gubernur negerinya saat itu adalah Muhammad bin Yusuf ats-Tsaqafi, saudara dari Hajjaj bin Yusuf yang juga berpengaruh di Makkah.
Hajjaj menempatkan saudaranya itu sebagai wali setelah kekuasaannya menguat dan pamornya melejit, terutama sejak ia mampu membendung gerakan Abdullah bin Zubair. Muhammad bin Yusuf mewarisi banyak sifat jahat saudaranya, Hajjaj bin Yusuf, tapi tak sedikit pun kebaikan Hajjaj yang diambilnya.
Kerakusan Penguasa
Suatu hari di musim dingin, kebanyak penduduk setempat memilih diam tidak protes atas kondisi yang menyulitkan akibat kerakusan sang penguasa. Namun, Thawus bin Kaisan dan Wahab bin Munabbih mendatangi Muhammad bin Yusuf.
Setelah duduk di hadapan wali itu, Thawus memberikan nasihat panjang lebar berupa anjuran dan peringatan. Orang-orang duduk di depan amirnya dan tercengang melihat keberanian Thawus memberikan nasihat kepada sang penguasa.
Melihat ketangkasan Thawus menyampaikan pendapat sekaligus nasihat, Muhammad bin Yusuf yang kala itu baru beberapa tahun menjabat sebagai gubernur hanya tersenyum, tak mengindahkan. Dengan santai, Muhammad bin Yusuf berbisik kepada pengawalnya yang sedang memperhatikan Thawus berceramah di depan pusat pemerintahannya.
“Ambilkan seperangkat pakaian berwarna hijau yang mahal, lalu letakkan di bahu Abdurrahman (panggilan lain Dzakhwan bin Kaisan).
“Setelah menyerukan kepada pengawalnya Muhammad bin Yusuf bergumamam. ” Heem, setelah ini kau akan diam,” kata Muhammad.
Ternyata benar, pengawal itu segera melaksanakan perintahnya. Ia megambil seperangkat pakaian warna hijau yang mahal lalu meletakkannya di atas bahu Thawus. Akan tetapi, Thawus terus saja melanjutkan nasihatnya.
Thawus merasa ada beban bertambah di antara pundak kanannya. Tapi, ia tidak menghiraukannya.
Diberi Hadiah Emas
Ia sadar dari aromanya nan harum, jika itu adalah sebuah pemberian sang penguasa untuk menghentikan dakwahnya. Namun, perlahan tapi pasti, saat tengah berbicara, sesekali diselingi dengan menggoyangkan bahunya secara halus hingga akhirnya jatuhlah pakaian tersebut.
Setelah itu, ia berdiri dan beranjak dari tempat itu. Muhammad bin Yusuf tersinggung menyaksikan hal tersebut. Wajah dan matanya berangsur memerah, tapi ia tidak berkata apa-apa. Sementara itu, Thawus dan Wahab sudah berada di luar majelis.
Wahab berkata kepada Thawus, “Demi Allah, sebenarnya kita tidak perlu membuatnya marah kepada kita. Apa salahnya bila Anda menerima pakaian tadi, kemudian Anda jual dan hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin?”
Thawus berkata, “Apa yang Anda katakan memang benar jika aku tidak mengkhawatirkan para ulama setelah kita berkata, `Kami akan mengambil seperti Thawus bin Kaisan,’ (yakni menerima pemberian penguasa), akan tetapi mereka tidak melakukan seperti yang Anda ucapkan (yakni menjual dan menyedekahkannya kepada fakir miskin).”
Berlanjut Upaya Muhammad bin Yusuf menghinakan martabat Thawus dengan menyogoknya tetap dilanjutkan.
Meski usaha pertamanya gagal, dengan kekuasaan yang ia genggam, tak patah semangat. Kali ini, ia ingin melipatgandakan pemberiannya 1.000 kali lebih mahal.
Selang beberapa hari, ia mengutus bendahara negara membawa pundi-pundi berisi 700 dinar emas, lalu berkata, “Berikan bingkisan ini kepada Thawus.” Ia tak ingin pemberiannya kali ini ditolak.
Tak tanggung-tanggung, ia bahkan mengganjar pengawalnya dengan hadiah melimpah untuk membujuk Thawus menerimanya. Dengan wajah riang gembira dan penuh keyakinan, pemberiannya kali ini diterima Thawus, utusan yang mendapat perintah itu langsung berangkat menuju kediaman sang ulama di Desa al-Janad, dekat Shan’a.
Menolak Hadiah
Setelah memberi salam, utusan tersebut berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, ini ada nafkah dari amir untuk Anda.”
“Maaf, saya tidak memerlukan itu,” jawab Thawus dengan lembut. Berbagai jurus dan rayuan dilakukan, namun gagal.
“Silakan ambil barang ini sebelum saya berlaku tidak adil,” katanya. Karena sang gubernur mengancam dari awal, jangan sampai pemberiannya kembali lagi, akhirnya utusan itu mencari kesempatan Thawus lengah.
Secara diam-diam, ia taruh pundi-pundi itu di salah satu sudut rumah Thawus. Setelah itu, ia pun kembali dan melapor kepada amir. “Wahai amir, Thawus telah menerima pundi- pundi itu.”
Betapa senangnya sang gubernur mendengar berita itu, tapi ia tak berkomentar sedikit pun. Ia berpikir bahwa Thawus pasti telah membelanjakannya untuk keperluan macam-macam dan habis. Di sinilah upaya balas dendam untuk mempermalukan Thawus dimulai.
Beberapa hari setelah itu, sang gubernur itu mengutus dua orang dan diikuti pula oleh utusan yang membawakan hadiah untuk Thawus. Tujuannya adalah mengambil kembali hadiah yang tempo hari itu diberikan kepada Thawus. Agar tidak ketahuan kelicikannnya, sang gubernur meminta utusannya berkilah jika hadiah tersebut keliru.
“Untuk itu, sekarang kami datang untuk menariknya kembali dan menyampaikannya kepada orang yang benar,” kata pengawal itu kepada Thawus.
Meski tidak tahu bahwa pertanyaan itu adalah jebakan untuk menjatuhkan martabatnya. Thawus menjawab dengan tenang dan apa adanya. “Aku tidak menerima apa-apa dari Anda, apanya yang harus aku kembalikan?”
Namun, kedua pengawal itu bersikeras dan meminta Thawus segera mengembalikannya. “Tapi, Anda telah menerimanya” katanya lagi.
Thawus menoleh kepada utusan gubernur dan bertanya. “Benarkah aku telah menerima sesuatu darimu?”
Utusan itu gemetar karena takut lalu menjawab, “Tidak, tetapi saya menaruh uang itu di lubang dinding tanpa sepengetahuan Anda,” katanya.
Thawus berkata, “Coba lihatlah di tempat tersebut!”
Kedua pengawal itu memeriksa tempat yang dimaksud dan ternyata mereka mendapatkan pundi- pundi berisi uang itu masih utuh seperti semula. Rombongan pun akhirnya menanggung malu karena keteguhan dan kekuatan iman Thawus.