Ketika Bekerja Dilandasi Keimanan dan Ilmu Pengetahuan

Ketika Bekerja Dilandasi Keimanan dan Ilmu Pengetahuan

Bekerja dengan dilandasi keimanan dan ilmu pengetahuan merupakan sebuah kombinasi ideal yang membawa banyak manfaat bagi individu dan masyarakat.

Kita tahu Islam adalah agama ilmu di samping agama iman dan amal. Tiap-tiap ajarannya dapat diamalkan secara benar dan baik hanya bila didukung oleh ilmu. Itu sebabnya, menurut pandangan agama ini, sumber kebenaran dan ilmu pengetahuan yang hakiki adalah Allah Swt.

Dia menurunkan dua macam sumber kebenaran. Pertama, adalah wahyu, bisa ditemukan pada ayat-ayat al-Qur’an. Kedua, hukum keteraturan alam atau sunnatullah, yaitu takdir yang ketetapannya di alam ini mungkin dapat diketahui secara objektif.

Syahdan, untuk memahami wahyu (al-Qur’an) maka dibutuhkanlah metode penafsiran. Sedangkan untuk memahami keteraturan alam dengan hukum-hukumnya, maka metode penelitian empiris dan rasional yang dibutuhkan. Kebenaran hasil penafsiran terhadap wahyu dan hasil penelitian empiris-rasional terhadap hukum-hukum keteraturan alam inilah, yang dipandang sebagai penemuan-penemuan ilmiah.

Muhammad al-Ghazali mengatakan, bahwa perbedaan antara ilmu yang bersumber dari wahyu dan ilmu yang bersumber dari hukum-hukum keteraturan alam, pertama dasarnya ittiba’ (mengikuti), sedangkan yang kedua, berdasarkan penelitian, penemuan, dan kreasi. Jadi, lebih dinamis dan wajar kalau sering mengalami revisi dan inovasi.

Tak hanya itu, rupanya, aqidah dan sistem keimanan orang Islam bersumber dari wahyu yang berinteraksi dengan akal. Wahyu yang dimaksud di sini adalah al-Qur’an, dan sunnah Rasul serta ajaran-ajaran beliau yang dapat dipastikan berdasarkan wahyu.

Sekilas tentang akal

Akal dalam pengertian Islam, bukan sekedar otak. Ia adalah daya memahami yang terdapat dalam jiwa manusia. Sebab, dengan akal sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, manusia memperoleh pengetahuan dari pengamatan terhadap alam.

Sebenarnya, jika ditelisik, pengertian akal umumnya mencakup kerja otak dan kerja qalb dalam rangka memahami sesuatu. Jadi akal merupakan alat untuk memahami memahami Wahyu. Tanpa penggunaan akal, maka wahyu tidak akan dimengerti, diterima, dan diakui sesuai dengan keadaan sewajarnya sebagai wahyu Ilahi.

Tak heran, ketika penerimaan wahyu tidak disandarkan pada akal. Jadilah pemahaman dan penerimaan terhadapnya dilakukan secara sembarangan dan mendasarkan pada dugaan-dugaan subjektif. Saling melengkapinya wahyu dengan akal bagi orang Islam merupakan sesuatu yang badihiy dan mendasar, timbul dari prinsip tauhid menurut aqidah Islam.

Akal adalah ciptaan Allah Swt. yang dikaruniakan kepada manusia agar dia mengerti dunia di mana dia hidup, dapat menempuh serta memanfaatkan hukum-hukum alam. Sehingga, dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta dapat mengemban amanah, tugas dan tanggung jawab yang ia pikul.

Bahkan, akal diciptakan bagi manusia untuk mengantarkan pengertian-pengertian mereka yang parsial, sampai pada pengertian menyeluruh menjangkau hal-hal yang berada di balik kehidupan alam dunia. Maka, wahyu dan akal keduanya sama-sama urgen dan saling membantu, saling melengkapi dalam rangka mewujudkan kehidupan manusia yang benar di dunia ini.

Bekerja Dilandasi Keimanan dan Pengetahuan

Sudah mafhum, bahwa bekerja dilandasi keimanan yang benar pada hakikatnya memang amat penting, agar kerja terkendali oleh tujuan yang luhur. Tanpa iman kerja dapat menjadi hanya berorientasi pada pengejaran materi. Kemungkinan besar hal itu akan melahirkan keserakahan, sikap terlalu mementingkan diri sendiri, merugikan diri sendiri dan orang lain.

Kerja tanpa iman dapat mendorong perilaku manusia tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan melahirkan alienated man. Dalam pada itu, tanpa ilmu, iman mudah menjadi salah arah dan tergelincir, karena dilandasi pemahaman yang tidak proporsional. Keadaan begitu akan mengakibatkan keyakinan dan sikap keliru pada orang yang bersangkutan.

Jadi, iman, ilmu dan kerja dalam rangka mewujudkan amal ibadah, ternyata masing-masing memainkan peranan urgen bagi yang lain. Salah satu realitas jalan (manhaj) islami adalah berdampingannya an-naql dengan al-aql. Wahyu dengan akal dalam proses memperoleh kesadaran, pemahaman, dan ilmu.

Perlu dicatat, kerjasama antara keduanya tidak bersifat statis dan dikotomis, melainkan dinamis, saling menunjang, saling melengkapi, dan terpadu. Begitulah, pemahaman akal dengan dinamika sifat-sifatnya terhadap wahyu merupakan sumber penyebab terbentuknya aqidah dan sistem keimanan, yang pada gilirannya dapat menjadi sumber motivasi terbentuknya etos kerja islami sekaligus menjadi sumber nilai.

Dibanding makhluk lain, keistimewaan sekaligus kelebihan manusia terutama bertolak dari akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Ajaran wahyu dapat diamalkan setelah lebih dahulu dipahami. Selain itu, karena mempunyai akallah manusia berhasil menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mencapai kebudayaan dan peradaban tinggi.

Karenanya, manusia juga dapat mengatur dan memanfaatkan alam sekitar bagi kesejahteraannya, baik untuk masa kini maupun mendatang. Al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam jelas menempatkan akal manusia di samping wahyu pada posisi yang amat urgen. Dengan demikian, Islam mendukung secara pasti terhadap pendidikan yang bercorak aqliyyah seiring dengan pendidikan sikap ilmiah sesuai dengan objeknya.

Berbeda sementara dalam al-Qur’an, pengertian akal menjangkau daya yang dapat dipakai untuk memahami realitas konkrit dan ghaib. Realitas konkrit dipahami oleh pikiran, dan realitas spiritual oleh qalbu. Keduanya adalah instrumen akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran. Bahkan keduanya berhubungan secara organis.

Tentu saja, pengertian begini penting untuk dipahami, sehingga orang tidak lagi mempertentangkan pemberdayaan iman terhadap objek yang memang harus di imani. Seirama dengan anjuran dan perintah al-Qur’an, sejumlah mereka menyelidiki alam. Dari penelitian serta penalaran mereka, bahwa alam ini diatur dengan hukum alam yang la ciptakan. Yaitu, ketentuan yang ditaati oleh alam dalam perkembangan serta dinamikanya.

Dalam bahasa agama (Islam), hukum alam ini disebut sunnatullah yang tidak berubah-ubah. Dengan memahami keteraturan hukum alam tersebut, manusia dapat memprakirakan apa yang akan terjadi di alam sekitarnya, dapat menyusun teori-teori ilmu pengetahuan, rencana masa depan, dan dapat memperhitungkannya.

Dari hasil-hasil penelitian terhadap sunnatullah, pada akhirnya manusia dapat membangun ilmu pengetahuan. Sesungguhnyalah dengan kodrat (kuasa) dan iradat-Nya, Tuhan dapat menjadikan sesuatu tanpa sistem apapun. Tetapi, sebagai Maha Pendidik, ternyata Dia menghendaki tiap-tiap sesuatu di alam ini berjalan sesuai dengan sunnatullah.

Menyesuaikan dengan hukum alam

Kenyataan demikian mestinya menjadi contoh dan mendidik manusia agar dalam mengupayakan apa saja di dunia ini, selalu menempuh cara yang sesuai dengan hukum alam ciptaan Allah itu. Sedangkan usaha menempuh proses sesuai dengan sunnatullah dan memanfaatkannya, mengharuskan orang agar menyesuaikan diri dengan sifat dan watak hukum tersebut. Seperti dimaklumi, ketetapan alam itu mempunyai sifat begitu aktif, objektif, adil dan tidak bisa ditawar-tawar.

Dalam pada itu, agama dan keteladanan Rasulullah Saw. jelas menghendaki agar manusia menempuh cara tersebut, bahkan dipersilahkan memanfaatkannya. Maka, keilmuan, sehubungan dengan pengakuan adanya sunnatullah ini secara langsung atau tidak menuntut serta mendidik orang Islam, agar dalam bekerja bersikap rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, adil, teratur disiplin, dan profesional, serta menghindari sikap-sikap yang merupakan lawan atau kebalikan dari sikap-sikap itu.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) mengatakan, bahwa analisis kajian terhadap alam kebendaan menghasilkan ilmu pengetahuan alam yang mempunyai nilai kepastian lebih tinggi. Sebab, kajian ini hanya berurusan dengan benda-benda mati. Sedangkan kajian terhadap manusia, karena melibatkan variabel begitu banyak dan masih ada bagian-bagian yang belum dikuasai, serta belum dapat dijadikan pertimbangan untuk membuat kesimpulan teoritisnya, maka hasil kajian ilmu ini mengesankan sebagai ilmu yang kurang pasti.

Namun, meski demikian, dalam pandangan Islam, upaya manusia memahami dua macam ilmu tersebut hakikatnya adalah sama, yaitu usaha mereka memahami hukum-hukum ketetapan Allah Swt. yang berlaku di alam ini.

Menurut Cak Nur, kesan bahwa ilmu pengetahuan alam lebih pasti daripada ilmu pengetahuan sosial tercermin dalam perbedaan istilah yang digunakan dalam al-Qur’an. Bagi hukum-hukum ketetapan yang berlaku pada alam kebendaan disebut taqdir, dan bagi hukum-hukum ketetapan yang berlaku pada alam manusia dan masyarakat digunakan sebutan sunnatullah.

Melakukan ikhtiar

Dalam rangka ikhtiar, orang dituntut agar yang berlaku pada alam benda maupun yang berlaku pada masyarakat manusia. Kenyataan demikian secara sengaja atau tidak, mendidik orang yang bersangkutan untuk beretos kerja tinggi dengan karakteristik bersikap aqliy, ilmiah proaktif dan seterusnya.

Apalagi, mengingat cara berpikir Islami tentang alam semesta tidak akan bisa eksis kecuali orang bersangkutan percaya pada konsep keesaan atau kesatuan. Yaitu konsep yang bertolak dan kesimpulan bahwa segala yang ada berasal dari satu sumber, adalah Allah Swt.

Kesatuan sumber dan kesatuan realitas yang lahir dari kesimpulan itu terjelma pada seluruh alam dan segala yang ada. Teori tersebut merupakan pandangan yang selamat, badihiy fitri dan masuk akal, berangkat dari keimanan mutlak serta pemahaman yang jelas tentang Allah sang Pencipta, sumber dari segala sumber yang memenuhi segala kebutuhan.

Dia yang Maha Esa. Orang bersangkutan pun mesti mengerti, bahkan menghayati bahwa dirinya merupakan bagian dari kesatuan alam. Ia mempunyai kodrat seperti jenis-jenis atau bagian dan alam lainnya. Masing-masing punya kodrat sendiri-sendiri sekaligus tidak mungkin berdiri sendiri. Logika badihiy menegaskan, adanya makhluk yang dicipta membuktikan secara pasti adanya al-Khaliq (penciptanya). Dialah Allah Swt. 

Demikian penjelasan terkaitbekerja dengan dilandasi keimanan dan ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH