Ketika Seseorang Meninggal dalam Kondisi Ihram

Ketika Seseorang Meninggal dalam Kondisi Ihram

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

أَنَّ رَجُلًا كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَقَصَتْهُ نَاقَتُهُ وَهُوَ مُحْرِمٌ فَمَاتَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ وَلَا تَمَسُّوهُ بِطِيبٍ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا

Ada seorang laki-laki ketika sedang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dijatuhkan oleh untanya dalam keadaan sedang berihram hingga meninggal dunia. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Mandikanlah dia dengan air dan air yang dicampur daun bidara, kafanilah dengan dua helai kain, janganlah diberi wewangian, dan jangan pula diberi tutup kepala (serban). Karena dia nanti dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan ber-talbiyyah.’” (HR. Bukhari no. 1851 dan Muslim no. 99, 1206)

Terdapat beberapa faedah yang bisa diambil dari hadis di atas, di antaranya:

Faedah pertama

Hadis ini merupakan dalil wajibnya memandikan jenazah. Hikmah dari diwajibkannya memandikan jenazah ini tidaklah diketahui secara pasti, apakah karena thaharah, atau karena kebersihan, atau semata-mata karena ibadah (ta’abbudiyah). Rincian tentang masalah ini telah dibahas pada artikel yang lainnya.

Tata Cara Memandikan Jenazah dan Mengkafani Sesuai Sunnah

Faedah kedua

Para ulama berdalil dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Kafanilah dengan dua helai kain” untuk mengatakan bahwa membeli kain kafan dengan harta peninggalan si mayit itu lebih didahulukan dari pembagian warisan dan membayar utang si mayit. Artinya, harta peninggalan si mayit digunakan terlebih dahulu untuk membeli kain kafan, baru kemudian sisanya untuk membayar utang dan pembagian warisan. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan hal itu dan tidak bertanya terlebih dahulu apakah orang yang meninggal tersebut memiliki utang ataukah tidak. Demikian pula biaya pengurusan jenazah sampai dimakamkan, misalnya jika harus membayar orang untuk memandikan, menggali makam, dan membawa jenazah ke pemakaman, juga didahulukan daripada melunasi utang orang tersebut ketika masih hidup.

Faedah ketiga

Hadis ini merupakan dalil bolehnya hanya menggunakan dua kain dalam mengkafani jenazah, yaitu berupa izar (kain atasan) dan rida’ (kain bawahan/sarung). Sedangkan mengkafani jenazah dengan tiga helai kain hukumnya sunah (dianjurkan). (Lihat Zadul Ma’ad, 2: 240-241)

Faedah keempat

Hadis ini merupakan dalil bahwa jika jenazah tersebut meninggal dalam keadaan ihram, maka diperlakukan sama dengan jenazah yang meninggal dalam kondisi tidak ihram, yaitu sama-sama dimandikan dan dikafani. Yang membedakan adalah pada jenazah yang meninggal dalam kondisi ihram, maka tidak boleh diberi wangi-wangian dan ditutupi bagian kepalanya. Dan disyariatkan untuk mengkafani dengan dua kain ihramnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Kafanilah dengan dua helai kain”. Tidak ditambah lebih dari itu, sebagai bentuk penghormatan (pemuliaan) untuknya.

Baca juga: Kain Ihram Mengingatkanmu

Faedah kelima

Dianjurkannya mencampur air yang digunakan untuk memandikan jenazah dengan daun sidr (daun bidara). Teknisnya, daun bidara tersebut ditumbuk dan dicampur dengan air, sampai muncul busanya. Busanya kemudian diambil untuk menggosok rambut kepala, jenggot, dan seluruh badan jenazah. Hal ini karena daun bidara itu lebih bagus untuk membersihkan jasad si mayit. Jika daun bidara tidak tersedia, boleh diganti dengan sabun atau sampo. Akan tetapi, jika memungkinkan dan tersedia, menggunakan daun bidara itu lebih utama, karena itulah yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Faedah keenam

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menutupi wajah orang yang ihram ketika meninggal dunia, menjadi dua pendapat.

Pendapat pertama, menutup wajah bukanlah termasuk perkara yang dilarang ketika ihram. Ini adalah mazhab Hanabilah, pendapat Imam Asy-Syafi’i, dan disandarkan oleh Ibnu Hajar sebagai pendapat jumhur ulama. (Lihat Al-Umm, 7: 255; Al-Mughni, 5: 153; Al-Majmu’, 7: 268; Syarh Al-‘Umdah li Ibni Taimiyyah, 2: 52; Fathul Bari, 4: 54; dan Al-Inshaf, 3: 463)

Pendapat pertama ini juga dipilih oleh Ibnu Hazm dan Ibnul Qayyim. (Lihat Al-Muhalla, 7: 91-92; I’lamul Muwaqi’in, 1: 223 dan 2: 198; dan Zadul Ma’ad, 2: 244)

Pendapat kedua, menutup wajah termasuk dalam perkara yang dilarang dalam ihram. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik (Al-Kafi, 1: 388; Al-Mughni, 5: 153; dan Al-Mabsuth, 4: 7), salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dipilih oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz (Al-Fatawa, 17: 117), dan Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi (Adhwa’ul Bayan, 5: 358). Mereka berdalil dengan salah satu riwayat yang menyebutkan,

ولا تخمروا رأسه ولا وجهه

Dan janganlah kalian tutupi kepala dan wajahnya.”

Sebab perbedaan pendapat tersebut adalah perbedaan dalam menilai apakah tambahan (ولا وجهه) itu sahih ataukah tidak. Ulama yang menilai bahwa tambahan lafaz tersebut sahih, maka akan mengambil pendapat kedua. Sedangkan ulama yang menilai bahwa tambahan lafaz tersebut tidak sahih, maka akan membolehkannya (mengambil pendapat pertama). Sehingga mereka mengatakan bahwa diperbolehkan bagi orang yang ihram untuk menutup wajah dan hidung, atau boleh memakai semacam masker yang menutup mulut dan hidung. Hal ini karena orang yang ihram itu terkadang butuh menutup wajah ketika tidur agar tidak terkena cahaya secara langsung atau terkena gangguan lainnya. (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’, 7: 188)

Para ulama yang membolehkan juga berdalil dengan mafhum perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

ولا تخمروا رأسه

Dan janganlah kalian tutupi kepalanya.”

Seandainya menutup wajah itu tidak diperbolehkan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan melarangnya seketika itu juga. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh menunda penjelasan suatu hukum syariat apabila hal itu dituntut seketika itu juga. Demikian pula, terdapat riwayat dari sebagian sahabat, misalnya dari ‘Utsman bin ‘Affan, Jabir, Zaid bin Tsabit, dan juga Ibnuz Zubair radhiyallahu ‘anhum. (Lihat takhrij riwayat-riwayat dari para sahabat tersebut di kitab Minhatul ‘Allam, 4: 256)

Faedah ketujuh

Hadis ini adalah dalil bahwa ihram itu tidaklah batal dengan sebab kematian. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk diberi wangi-wangian dan ditutupi bagian kepalanya. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Karena dia nanti dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan ber-talbiyyah.”

Berdasarkan zahir hadis ini, seseorang yang meninggal dalam kondisi ihram, maka tidak perlu digantikan (dilanjutkan) rangkaian manasiknya oleh orang lain. Hal ini karena orang yang meninggal tersebut tetap berada dalam kondisi ihram, meskipun telah meninggal dunia. Inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama. Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa manasik orang tersebut hendaknya diteruskan (disempurnakan) oleh orang lain. Pendapat ini tentu saja menyelisihi zahir hadis di atas.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 253-257) dan Tashilul Ilmam bi Fiqhi Al-Ahadits min Bulughil Maram (3: 22-24).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86524-meninggal-dalam-kondisi-ihram.html