“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS: Ali Imran: 14).
ISLAM adalah agama yang adil. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk meninggalkan dunia agar menjadi orang taqwa.
Justru, umat Islam diperintahkan menjadi umat yang kuat agar bisa menjalankan amanah dakwah dengan baik. Karena itu, umat Islam diperintahkan untuk menaklukkan dunia, bukan untuk mencintainya, tetapi wajib menggunakan dunia itu untuk kebaikan bersama.
Sejumlah sahabat Nabi Muhammad ﷺ, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan sebagainya – radhiyallaahu ‘anhum – dikenal sebagai orang-orang berharta. Bahkan, sebagian juga dikenal sebagai orang yang sangat kaya dan sekaligus sebagai penguasa, seperti Utsman bin Affan r.a.
Tetapi, para sahabat Nabi itu memberikan teladan, bagaimana meletakkan kekuasaan (tahta) dan harta secara adil. Mereka tetap menjadi manusia-manusia yang sangat tinggi ketaqwaan dan akhlaknya. Mereka bisa dijadikan teladan bagi umat manusia.
Namun tidak dapat dipungkiri, godaan tahta dan harta itu begitu kuat. Kekuasaan adalah hal yang diimpikan oleh manusia.
Kadangkala ada orang sudah melimpah hartanya, tetapi tetap berburu tahta, dengan berbagai alasan. Jika tahta dan harta digunakan dengan adil, maka keduanya akan memberikan dampak kebaikan yang besar.
Tetapi, tahta dan harta juga bisa melenakan manusia. Bahkan, tokoh agama pun bisa terjebak untuk mengejar dan menyalahgunakan tahta dan harta.
Padahal, para tokoh agama adalah manusia-manusia yang sepatutnya sudah “selesai” urusan dunianya. Dalam pandangan Islam, para tokoh agama adalah pelanjut perjuangan para nabi.
Rasulullah ﷺ diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Beliau memberikan contoh yang nyata, bagaimana tahta dan harta beliau gunakan secara optimal untuk kebaikan.
Jika para tokoh agama gagal menjadi contoh dalam penegakan akhlak mulia, maka musibah besar akan menimpa umat manusia. Sebab, para tokoh agama (ulama) itu ibarat bintang yang menerangi jalan di tengah kegalapan. Manusia akan semakin jauh dari agama, karena tidak menemukan sosok yang bisa dijadikan teladan.
Masyarakat Barat yang menolak campur tangan agama dalam kehidupan pun dipicu oleh perilaku tokoh-tokoh agama mereka yang terjebak dalam kubangan kenikmatan tahta dan harta, ditambah wanita. Inilah yang digambarkan oleh Brenda Ralph Lewis dalam bukunya: “Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.” (Edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Kompas-Gramedia, dengan judul: “Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”).
Seorang Paus – pemimpin tertinggi agama Katolik – bernama Benediktus IX, ditulis sebagai: “salah satu paus abad ke-11 yang paling hebat berskandal, yang dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang, buruk dan digambarkan sebagai ‘iblis dari neraka yang menyamar sebagai pendeta’. (hal.9)
Kejahatan Paus Benediktus IX ini luar biasa. Ia lahir sekitar tahun 1012.
Dua orang pamannya juga sudah menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes XIX. Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.
Paus muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan lain yang sangat keji’.
Kehidupan Benediktus, lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga memikirkannya saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak homoseksual dan bestialitas.
Kekuasaan yang begitu besar dimiliki oleh para tokoh agama yang berujung kepada penyelewengan, kemudian menyulut berbagai protes. Tahun 1887, Lord Acton seperti menyindir hegemoni kekuasaan agama dan menulis surat kepada Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy).
Revolusi Prancis, tahun 1789, yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”, juga dipicu oleh kerusakan moral sebagian tokoh agama yang terlibat dalam penindasan rakyat. Muncullah trauma masyarakat Barat terhadap para tokoh agama, sampai-sampai mereka memekikkan semboyan: “Berhati-hatilah, jika Anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah Anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975)).
Kita perlu belajar dari sejarah masyarakat Barat itu. Para tokoh agama yang sedang diuji oleh Allah SWT dengan limpahan tahta dan harta perlu sangat berhati-hati dalam menjalankan amanahnya.
Jangan sampai masyarakat memandang agama hanya dijadikan sebagai alat untuk memenuhi syahwat tahta dan harta. Ingat, Iblis paham betul bagaimana menjerumuskan manusia dalam kesesatan! Iblis tahu titik-titik lemah manusia.
Semoga Allah SWT melindungi kita semua, para ulama dan para pemimpin kita! Aamiin. (Depok, 10 November 2022).*
Penulis pengasuh Ponpes At-Taqwa, Depok