Wafatnya Prof KH Ali Mustafa Yaqub menorehkan duka bagi umat Islam di Indonesia. Pakar hadis ini wafat di RS Hermina, Ciputat pada Kamis (27/4) pagi karena penyakit diabetes. Selain penulis produktif, mantan Imam Masjid Besar Istiqlal ini kerap menjadi narasumber untuk Harian Republika. Keahliannya di bidang hadis terasa perlu untuk dieksplorasi mengingat banyaknya hadis palsu sekaligus penafsiran hadis yang kurang tepat selama ini.
Menilik arsip Pusat Data Republika, Kiai Ali pernah diwawancarai secara khusus tentang keilmuwannya. Master lulusan Jurusan Tafsir Hadis Universitas King Saud, Riyad, Arab Saudi (1985) itu pun bercerita banyak perihal hadis. Termasuk bukunya yang bertajuk Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan.
Kiai Ali menyebutkan terjadi kekeliruan di tengah masyarakat Muslim Indonesia yang membagi Ramadhan menjadi tiga bagian. Padahal, tindakan Nabi Muhammad yang hanya membagi masa Ramadhan yang hanya menjadi dua, menurut hadis riwayat Aisyah. ”Pertama, 1-20, kemudian 21 sampai akhir Ramadhan. Satu sampai 20, Nabi masih biasa-biasa saja. Tapi ketika 21 sampai akhir, itu sudah tancap gas,” ujar lulusan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, itu.
Lantas, bagaimana Kiai Ali berbicara mengenai bidang yang digelutinya itu? Untuk mengetahui lebih jauh sosok almarhum,Republika.co.id menyajikan ulang wawancara dari bekas wartawan Republika, Burhanudin Bella yang sempat mewawancara almarhum pada 2006 silam.
Mengapa Anda mendalami ilmu hadis?
Alasannya karena di Indonesia langka orang yang mau mendalami ilmu hadis. Yang fikih banyak, yang tafsir juga. Ilmu hadis ini yang banyak orang tidak berminat. Makanya saya masuk situ sajalah. Ini masalahnya penting juga, sebagai sumber agama kok.
Ada dorongan lain?
Ada juga. Belajar hadis itu lebih nikmat dari pada belajar yang lain. Karena ketika kita mempelajari, seolah-seolah kita sedang berada dengan Nabi. Itu nikmatnya. Saya belajar juga fikih, yang lain-lain juga, tapi tidak senikmat belajar hadis. Selain karena kelangkaan dan kenikmatan, orang kalau belajar hadis akan sering mendapatkan nama Nabi Muhammad. Nah, ketika itu dia akan membaca shalawat. Banyak baca shalawat kan semakin banyak pahalanya.
Kalau di sini kurang ahli hadis, bagaimana Anda memperkaya pengetahuan itu?
Pertama saya pernah belajar secara formal. Kedua, saya masih punya guru di Saudi Arabia, dan saya selalu konsultasi, di samping saya membaca kitab. Kalau ada satu hal yang musykil bagi saya, baru konsultasi dengan guru saya.
Rujukan ilmu hadis kan susah?
Betul. Tapi saya katakan, sekarang lebih bagus dibandingkan dengan 20-30 tahun lalu. Dulu kita tahunya cuma Bukhari-Muslim saja. Yang lain sulit. Tapi sekarang mencari kitab-kitab seperti Abu Daud, Tarmidzi, an-Nasa’i, dan sebagainya sudah banyak. Jadi ada perkembangan ilmu hadis di Indonesia, cuma mungkin tidak laris.
Jika sudah banyak buku hadis, tapi mengapa masih banyak hadis keliru yang dipakai?
Orang nggak mau belajar ilmu hadis. Kedua, ada fanatisme. Ada orang yang memanfaatkan buku saya bukan main. Saya dapat laporan, ada yang sampai seluruh buku saya dia kumpulkan. Tapi ada juga yang ketika membaca buku saya, disebut ini hadis adalah palsu, dia bilang, ‘Kata guru saya nggak. Guru saya memakai hadis itu, ya saya ikuti. Di buku itu kan pengarangnya bukan guru saya’. Nah, ada yang seperti itu juga.
Apa reaksi Anda?
Biarlah seperti itu. Yang penting saya sudah menyampaikan untuk meluruskan hal-hal yang tidak tepat di masyarakat.
Ada yang mengecam Anda?
Mengecam ya, tidak. Tapi dalam pengertian mengoreksi biar lebih bagus, itu banyak sekali. Dan itu bagus, hingga terbitan berikutnya saya perbaiki. Salah kata, dan sebagainya.
Yang Anda tulis hadis keliru, tidak ada yang membantah?
Tidak ada. Sampai sekarang, saya justru kalau ada orang yang mau membantah, silakan. Itu ilmu bagi saya. Asal dia punya argumen yang kuat. Tapi kebanyakan tidak sampai situ.
Sengaja memilih media buku?
Bagi saya, ilmu yang disebarkan melalui tulisan itu lebih awet dan lebih efektif. Memang kadang-kadang perkembangannya lambat, tapi pasti. Lain dengan ilmu yang disampaikan melalui ceramah, seketika kayak bom, tapi hilang setelah itu. Yang menarik bagi saya, kenapa saya punya keinginan yang tinggi untuk menulis? Ketika saya menulis tesis MA, saya mendapatkan referensi yang orangnya tidak terkenal sama sekali. ”Ini orang sudah meninggal 10 abad lalu, masih dibaca bukunya di perpustakaan.” Kemudian ada syair yang menyebutkan, ”Karya tulis kekang sepanjang masa, sementara penulisnya hancur di bawah tanah. Ini berarti, orang punya buku meskipun sudah mati, itu mendapat ‘kiriman’ terus. Kenikmatannya seperti itu.
Sejak mahasiswa Anda sudah berniat menulis buku?
Justru ketika mahasiswa. Dulu saya belajar di Arab Saudi 9 tahun, S-1 dan S-2 di sana. Saya mencoba apakah tulisan saya dibaca orang atau tidak. Saya coba kirim dulu ke majalah Panji Masyarakat, 1977. Terus kirim ke Kiblat. Udah, setelah dimuat di Panji Masyarkat dimuat di Kiblat, saya tidak meneruskan menulis, tapi saya belajar dulu, biar lebih konsen. Tapi dengan dimuatnya tulisan saya itu, berarti tulisan saya sudah layak terbit. Itu jadi modal saya, saya kemudian belajar saja. Setelah selesai belajar, kemudian mulai menulis. Dan saya wariskan kepada santri-santri Darus-Sunnah, ‘kamu jangan mati sebelum menulis buku’. Alhamdulillah sudah banyak yang menulis buku. Bahkan ada yang lebih banyak dari saya.
Anda senang?
Saya merasa bersyukur. Berarti, ibarat saya menanam, tumbuh subur. Bukan saya merasa disaingi, saya bersyukur.
Banyak orang salah memahami hadis. Sebagai ahli hadis, apa yang Anda lakukan?
Di Indonesia, langka yang dapat disebut sebagai ahli hadis. Karena itu banyak ulama, terutama mubalig-mubalig, menyampaikan hadis ternyata hadisnya itu palsu. Untuk memperbaiki itu, perlu waktu. Saya merasa berkewajiban meluruskan. Saya tidak menyalahkan mereka, mungkin mereka tidak tahu. Ya, salah satu cara saya untuk memberikan pelurusan dalam hal ini, pertama saya menulis. Itu melalui tulisan, ceramah-ceramah, dan sebagainya. Baik di buku, di majalah, di koran.
Makanya terus terang, saya menulis buku tidak melihat royalti bagaimana. Yang penting menyebar ke masyarakat dan bermanfaat buat mereka. Itu yang penting. Kedua, untuk mengkader orang-orang yang ahli hadis, saya bikin pesantren (Darus-Sunnah, high institute for hadith science) tingkat S-1. (Bahasa pengantar di pesantren ini adalah Bahasa Arab). Itu mulai 1997 dan sudah wisuda empat kali, sudah mengeluarkan 66 sarjana ilmu hadis.
Salah satu buku Anda berjudul Haji Pengabdi Setan… Rasulullah punya kesempatan untuk haji tiga kali, mengapa haji cuma satu kali?
Rasulullah punya kesempatan umrah, ratusan bahkan ribuan kali. Tapi umrah yang sunah hanya dua kali, tiga kali dengan yang gagal. Apa sebabnya? Mestinya kita berpikir itu. Seandainya umroh berkali-kali, haji berkali-kali sesuatu hal yang afdal dari pada ibadah yang lain, mungkin Rasulullah sudah mengerjakan.
Saya mencoba mencari jawabannya, ternyata di Medinah saat itu banyak anak-anak yatim akibat perang. Banyak janda-janda yang memerlukan santunan, banyak mahasiswa yang tidak punya apa-apa, yang belajar rutin dengan nabi. Ini kan memerlukan santunan.
Uang Rasullullah dan para sahabat disalurkan untuk menyantuni mereka. Bukan untuk haji berkali-kali dan bukan untuk umrah berkali-kali. Itu adalah ibadah sosial, lebih utama dari pada ibadah individual. Dalam bahasa fiqihnya, ”Ibadah yang dirasakan manfaatnya oleh orang lain di samping oleh pelakunya lebih utama dari pada ibadah yang hanya dirasakan oleh pelakunya saja. Makanya Rasulullah lebih memprioritaskan ibadah-ibadah sosial.
Tapi kita tidak. Kita cenderung ingin haji tiap tahun, ingin umrah tiap bulan. Saya pikir, itu tuntunan dari siapa? Apakah Allah memberikan tuntunan, apakan nabi memberikan tuntunan, tidak. Lalu tuntutan dari siapa? Dari bisikan hawa nafsu melalui setan. Makanya saya bikin buku namanya Haji Pengabdi Setan. Jadi saya sampai heran ada masjid buat brosur, siapa yang mampu ke Makkah bulan Ramadhan supaya Anda harus pergi umrah. Ternyata setelah saya lihat, itu oh kong sungai (kali) kong dengan biro travel. Sudah tidak beres kalau begitu, sudah tidak benar lagi. Justru Rasulullah itu tidak pernah, apalagi mengirim jamaah untuk umrah Ramadhan. Umrah Ramadhan saja tidak pernah kok.