Khalid Basalamah yang Kurang Muthala’ah

Surplus tukang pidato devisit ahli fikih. Kalimat ini menggambarkan kondisi keberagamaan muslim di Indonesia akhir-akhir ini. Suatu fenomena dimana dunia dakwah dijejali oleh orang-orang yang hanya pandai beretorika di podium dakwah, mimbar khutbah dan arena pengajian, namun minim penguasaan ilmu agama.

Fenomena ini terus berlangsung di negeri ini yang mayoritasnya muslim. Teranyar adalah pernyataan Khalid Basalamah yang mengatakan wayang bertentangan dengan ajaran Islam. Sekalipun tidak menyebut “wayang haram”, namun dari pernyataannya di video yang beredar jelas mengarah pada pengharaman wayang. Bahkan, seorang dalang yang ingin bertaubat menurutnya harus memusnahkan koleksi wayangnya karena tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Jelas sekali, disamping menunjukkan ketidakpiawaiannya dalam ilmu fikih, ia terjebak pada apa yang disebut oleh  Syaikh Muhammad Fadil bin Asyur sebagai jebakan “Menangkap kulit melupakan isi”. Dalam bahasa yang sederhana, Basalamah adalah tipikal dai yang hanya piawai dalam olah kata dan retorika, namun kering ilmu agama. Fenomena ini sebenarnya telah diwasiatkan oleh Nabi.

Pesan Nabi, “Sungguh, saat ini kalian hidup di masa yang banyak fuqaha (ahli fikih), sedikit khuthaba (tukang pidato/penceramah/orator), banyak yang dermawan sedikit peminta-minta, pada masa ini amal lebih baik dari ilmu. Setelah kalian nanti, akan ada satu masa yang sangat langka ahli fikih, sementara tukang pidato/mubaligh/dai sangat banyak, sedikit yang dermawan banyak peminta-minta, pada saat itu ilmu lebih baik dari amal”. (HR. Thabrani).

“Ilmu lebih baik dari amal” dalam kalimat terakhir hadis ini sebagai alarm peringatan sangat minimnya ahli fikih. Sebagaimana dimaklumi, ibadah atau amal yang tidak dilandasi ilmu/fikih adalah sia-sia. Juga peringatan kepada para dai/mubaligh untuk mempersiapkan diri dengan ilmu agama secara maksimal supaya apa yang didakwahkan benar-benar ajaran Islam yang semestinya. Bukan dakwah asbun yang justru akan menyesatkan.

Imam Syihabuddin al Qarafi, salah satu pembesar ulama madhab Maliki dalam karyanya al Furuq mengatakan, “Jika tradisi telah terbarui, ambillah. Jika tidak, biarkanlah. Kamu tidak boleh bersikap kaku pada sumber-sumber tertulis dalam buku-bukumu sepanjang hidupmu. Jika ada seseorang datang kepadamu meminta fatwa, kamu jangan memberi fatwa berdasarkan tradisi negerimu. Bertanyalah kepadanya tentang tradisinya, dan berikan fatwa sesuai tradisinya, bukan tradisimu dan bukan pula menurut yang ada di buku-bukumu. Ini adalah cara yang benar dan jelas”.

Suatu cara berpikir metodologis yang begitu sempurna. Artinya, dalam menghukumi sesuatu tidak cukup hanya melihat kulitnya tapi perlu memperhatikan isinya. Al Qarafi sejatinya mengingatkan ketika memutuskan suatu hukum harus mengedepankan isi bukan kulit. Dalam istilah ushul fikih harus memperhatikan maqashidus Syaria’ah sebagai muara dari segala hukum. Mendahulukan pertimbangan kemaslahatan manusia.

Tentang hukum kesenian, seperti wayang, selama tidak menyalahi dan tidak bertentangan denga nilai-nilai ajaran Islam, apalagi bisa menjadi wasilah (media) dakwah Islam, tentu sangat sejalan dengan kehendak agama Islam itu sendiri. Ada empat kriteria yang ditetapkan oleh fuqaha supaya seni dikatakan Islami atau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Yakni, tidak terdapat unsur yang menyebabkan kesyirikan, kemaksiatan, menimbulkan fitnah, dan harus mengandung unsur amar ma’ruf nahi mungkar.

Meskipun Khalid Basalamah telah meminta maaf atas kekeliruannya, namun apa yang terlanjur disampaikan merupakan fenomena akhir zaman yang telah dijelaskan oleh hadis Nabi. Karenanya, umat Islam harus selektif dalam memilih pengajian, ceramah, halaqah atau apapun sebutannya supaya tidak terjebak pada dai atau mubaligh yang asbun, asal bunyi, tanpa seperangkat pengetahuan agama yang memadai.

ISLAM KAFFAH