Hari raya Idul Fitri maupun hari Raya Idul Adha, lazimnya diisi dengan berbagai kegiatan ibadah untuk menyambutnya. Hal ini memang berdasarkan dalil yang menganjurkan bagi umat Islam adalah menghidupkan malam hari raya dengan ibadah. Terdapat sebuah hadits yang dikutip Syekh Ibrahim al-bajuri dalam Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib:
من أحْيَا لَيلَةَ الْعِيد، أَحْيَا اللهُ قَلْبَهُ يَوْمَ تَمُوْت القُلُوبُ
“Barang siapa yang menghidupkan malam hari raya, Allah akan menghidupkan hatinya di saat hati-hati orang sedang mengalami kematian”
Bentuk kegiatan untuk menghidupkan hari raya ini dalam prakteknya muncul bermacam-macam variasi. Menurut sebagian ulama menghidupkan hari raya paling minimal bisa dilakukan dengan menjalankan shalat isya’ berjamaah serta niat kuat ingin menjalankan shalat shubuh berjamaah. Akan tetapi amalan yang paling masyhur dalam menghidupakan hari raya adalah dengan membaca takbir. Karena amalan ini telah dilakukan secara turun temurun mulai para sahabat, tabi’in hingga saat ini. Bahkan di Indonesia sendiri takbiran ini sudah mendaging dan membudaya dalam darah masyarakat Indonesia.
Ada kisah unik mengenai takbiran ini yang dialami oleh Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dua ulama besar Islam pada masanya. Kisah ini diabadikan oleh Ibnu Muflih Al-Hanbali dalam al-Adab al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah vol. 2 hal. 120:
Suatu ketika Ishaq bin Rahawayh dan Imam Ahmad bin Hanbal sedang berdiskusi di kediaman Imam Abdurrazzaq bin Hammam As-Shun’ani (w. 211 H). Imam Abdurrazzaq sendiri merupakan seorang ulama pakar hadis dari Kota Sana’a Yaman. Dan beliau tidak lain adalah guru dari Ishaq bin Rahawayh dan Ahmad bin Hanbal.
Seperti biasa beliau berdua menelaah dan menerima kajian dari sang guru setiap harinya. Apalagi di Bulan Ramadhan, intensitas pengajaran semakin padat. Pagi, siang dan malam tak henti-hentinya diisi dengan kajian keilmuan. Hingga tak terasa tibalah malam hari raya. Semua penduduk Kota Sana’a begitu antusias dalam meramaikan malam hari raya. Suara takbir menggema dari mulut ke mulut. Malam itu pun terasa begitu meriah dan khidmat.
Namun, hal berbeda justru terjadi di kediaman Imam Abdurrazzaq. Di dalam rumah tersebut malah nampak hening. Maksud hening disini adalah tidak ada keramaian dan tidak ada takbir yang menggema sebagaimana lazimnya pada malam hari raya. Ketiga ulama tersebut justru nampak serius membahas dan menelaah sebuah kitab.
Hal tersebut tampaknya, menarik perhatian masyarakat sekitar. Mereka heran dan menyimpan banyak sekali pertanyaan mengganjal dalam hatinya. Bukankah ketika malam hari raya seperti ini harus disemarakkan dengan bacaan takbir sebagaimana lazimnya. Namun mengapa mereka saat ini justru sama sekali tidak membaca takbir. Malah justru sibuk menelaah ilmu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus mengusik benak sebagian masyarakat sekitar. Tak pelak hal itu pun memunculkan beragam persepsi. Ada yang menanggapi secara positif, namun tidak sedikit juga yang berpandangan negatif. Namun walaupun begitu mereka tidak berani mengutarakan pertanyaan-pertanyaan itu.
Hingga keesokan harinya mereka bertiga pun berangkat menunaikan shalat Idul Fitri di mushola. Ketiganya pun masih sama, sepanjang perjalananan hingga usai shalat sama sekali tidak membaca takbir.
Shalat pun usai, Imam Abdurrazzaq as-Shan’ani kemudian memanggil kedua muridnya tersebut ke rumahnya. Ternyata Imam Abdurrazzaq semalam juga sebenarnya merasa agak ganjal. Kenapa kedua muridnya tersebut tidak membaca takbir sebagaimana lazimnya. Sebenarnya ia ingin takbiran namun, melihat keseriusan kedua muridnya itu beliau mengurungkan niatnya.
“Begini, Nak,” panggil Imam Abdurrazzaq memulai percakapan.
“Tadi malam, aku melihat Imam Sufyan at-Tsauri dan Muammir meramaikan hari raya dengan membaca takbir. Aku pun hendak ikut membaca takbir, namun setelah melihat kalian berdua tidak membaca takbir sama sekali, akupun urung melakukannya. Aku pun ikut tidak membaca takbir bersama kalian”
“Namun aku hanya ingin tahu satu hal, apa yang menyebabkan kalian berdua tidak membaca takbir untuk menghidupkan hari raya?”
Imam Ishaq bin Rahawaih dan Ahmad bin Hanbal pun serempak menjawab:
نحن نرى التكبير ولكن شغلنا بأيَ شيء نبتدئ من الكتب؟
“Ya memang kami sadar dan mengetahui mengenai takbiran ini. Akan tetapi kami telah disibukkan dengan (menelaah) kitab-kitab yang telah kami mulai”
Semangat para ulama dalam menuntut ilmu memang tidak ada habisnya. Walaupun sudah masuk hari Raya. Namun mereka tetap gigih memperjuangkan dan menuntut ilmu. Adapun keputusan Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawayh untuk tidak takbiran, dan justru tetap fokus mengkaji ilmu adalah karena memang menuntut ilmu itu adalah kewajiban. Sedangkan menghidupkan hari raya dengan takbir adalah sunnah. Sehingga tentu kewajiban lah yang harus didahulukan, selain itu dengan belajar secara tidak langsung ia juga telah menghidupkan malam hari raya. Namun dengan bentuk lain yang tentunya lebih bermanfaat. Mengenai hal ini Imam Nawawi pernah memberkan alasan mengenai hal ini:
انهم متفقون على ان الاشتغال بالعلم أفضل من الاشتغال بنوافل الصوم والصلاة والتسبيح ونحو ذلك من نوافل عبادات البدن، ومن دلائله سوى ما سبق أن نفع العلم يعم صاحبه والمسلمين، والنوافل المذكورة مختصة به
Artinya, “Ulama salaf sepakat bahwa menuntut ilmu lebih utama ketimbang ibadah sunnah, semisal puasa, shalat, tasbih, dan ibadah sunnah lainnya. Di antara dalilnya adalah, selain yang disebutkan di atas, ilmu bermanfaat bagi banyak orang, baik pemiliknya maupun orang lain, sementara ibadah sunnah yang disebutkan (manfaatnya) khusus bagi orang yang mengerjakan saja.”