Dalam ilmu Nahwu, terdapat dua rival yang sangat fenomenal. Yaitu Imam Sibawaih yang menjadi pemimpin linguis daerah Bashrah, dan Imam Al-Kisa’i yang menjadi pemimpin daerah Kufah. Keduanya menjadi 2 kutub besar, dalam kajian sastra Arab. Nah berikut ini kisah debat ulama Nahwu antara Imam Sibawaih dan Imam Al-Kisa’i.
Di antara kisah yang masyhur debat ulama Nahwu itu, yang paling monumental adalah terkait struktur kalimat dalam peribahasa Arab, perdebatan ini jamak disebut dengan Al-Zanbur. (Al-Dzahabi, Tarikh Al-Islam, Juz 11 H. 155)
Sebuah perdebatan yang membahas sastra, suatu bidang yang sangat disegani pada masa itu. Namun sayangnya diskusi ini menjadi tidak sehat, karena ada sisi politisnya. Berikut adalah kisah lengkapnya;
Ketika Imam Sibawaih datang ke daerah Baramikah, Maka Yahya bin Khalid bertekad untuk mempertemukan antara Sibawaih dengan Al-Kisa’i untuk menyelesaikan perdebatan di antara keduanya.
Namun sebelum itu, Imam Sibawaih menghadapi Al-Farro’ dan Khalaf. Maka Khalaf bertanya, namun setelah dijawab malah berkata kepadanya: Anda keliru. Demikian terjadi sampai 3x. Maka Sibawaih berkata kepadanya; Ini adalah Adab yang buruk!.
Kemudian majulah Al-Farro’ dan berkata; lelaki ini memiliki sifat temperamental dan tergesa-gesa. Begini: Apa pendapatmu terhadap orang yang mengatakan; هؤلاء أبون (orang-orang ini adalah para ayah) dan, مررت بأبين (aku melewati para ayah). Bagaimana pula engkau mengatakan yang semisal dengan itu pada kasus وأيت (aku berjanji/menjamin) atau أويت (aku berlindung)? Al-Farro’ berkata; Maka beliau (Sibawaih) menjawab dengan teori Taqdir (perkiraan) dan itu keliru. Maka aku berkata: Telitilah lagi. Maka beliau (Sibawaih) menjawab dengan teori Taqdir (perkiraan) lagi dan itu keliru. Maka aku berkata: Telitilah lagi. Demikian sampai tiga kali, namun disalahkan terus.
Sibawaih berkata: Saya tidak berdebat dengan kalian berdua (Al-Farro’ dan Khalaf), saya mau sahabat kalian (yakni Al-Kisa’i) hadir hingga saya berdiskusi dengan beliau. Maka Al-Kisa’ipun datang. Kemudian beliau menghadap ke arah Sibawaih. Lalu beliau bertanya; “Anda bertanya kepada saya (dulu) ataukah saya bertanya kepada Anda”? Sibawaih menjawab; “Tidak. Andalah yang bertanya kepada saya”. Maka Al-Kisa’i menghadap kepadanya dan bertanya:” apa pendapat Anda terhadap kalimat berikut (mana yang benar;
قد كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور فإذا هو هي،
(Saya telah menduga bahwa kalajengking lebih hebat sengatannya daripara Zunbur/kumbang. Ternyata sama saja)
ataukah
فإذا هو إياها؟
Sibawaih menjawab; (yang benar) فإذا هو هي dan tidak boleh dinashobkan.Maka Al-Kisa’i berkata kepadanya: Anda telah melakukan Lahn (kesalahan berbahasa). Kemudian Al-Kisa’i menanyainya lagi dengan sejumlah kasus yang sejenis dengan pertanyaan sebelumnya seperti;
خرجت فإذا عبد الله القائمُ، أو القائمَ؟
(Aku keluar. Ternyata Abdullah berdiri)
Yang ditanyakan: mana yang benar, apakah القائمُ ataukah القائمَ ? maka semuanya dijawab Sibawaih dengan jawaban Rofa’ bukan Nashob. Maka Al-Kisa’i berkata; “Ini bukan bahasa orang-orang Arab. Orang-orang Arab merofa’kan itu semua dan menashobkan”. Maka Sibawaih membantah pendapat tersebut.
Yahya bin Khalid berkata: kalian telah berbeda pendapat, padahal kalian adalah panutan di negeri masing-masing. Lalu siapa yang bisa menjadi juri untuk kalian berdua? Al-Kisa’i berkata; “Ini ada orang-orang Arab (Badui) di pintu Anda. Anda telah mengumpulkan mereka dari berbagai penjuru. Dan telah datang kepada Anda dari berbagai daerah. Mereka adalah orang-orang yang paling fasih. Penduduk dari berbagai kota telah bisa menerima mereka.
Penduduk Kufah dan Bashrah juga telah mengambil dalil ucapan dari mereka. Orang-orang Arab Badui ini datang, dan mereka menanyainya.” Yahya berkata: Anda adil. Maka Yahya memerintahkan agar mereka dihadirkan, ternyata mereka mengikuti Al-Kisa’i dan berpendapat dengan pendapat yang diadopsi Al-Kisa’i. Al-Farro’ berkata: maka Yahya menghadap ke arah Sibawaih dan berkata: Anda telah mendengarnya. Al-Farro’ berkata; maka Sibawaihpun tunduk.
Kemudian Al-Kisa’i menghadap kepada Yahya; Semoga Allah selalu membenahi urusan Wazir. Sesungguhnya dia telah datang kepada engkau dari negerinya dalam keadaan berharap. Jika engkau melihat bahwa engkau tidak menolaknya dalm keadaan kecewa, saya kira itu baik. Maka Yahya memerintahkan agar Sibawaih diberi 10.000 dirham. Usut punya usut, ternyata panelis itu takut pada Imam Al-Kisa’i, atau mereka demikian ini karena pengaruh dan kedudukannya di hadapan Khalifah Harun Al-Rasyid. (Ibnu Hisyam, Mughni Al-Labib an kutub al-a’arib, Halaman 121)
Menurut Reportase Yaqut Al-Hamwi, ternyata yang menjadi panelis debat tersebut adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan Al-Kisa’i. Bahkan beliau bergaul dengan mereka, di antaranya adalah Abu Faq’as, Abu Datsar, Abu Tsarwan dll. Tentunya pengikut Imam Sibawaih merasa ini tidak adil, sehingga mereka memberikan penjelasan kepada para fans sang Imam, bahwa yang benar adalah pendapat Imam Sibawaih.
Namun perdebatan ini membuat sang Imam sangat terpukul, bahkan beliau sampai tidak pulang ke Bashrah. Pasca debat, beliau berlabuh ke Persia untuk menetap di sana. Hingga pada akhirnya beliau meninggal dengan menyimpan rasa gundah atas kejadian tersebut.
Lain halnya dengan Imam Al-Kisa’i, pasca kejadian ini beliau malah belajar kepada Al-Akhfasy mengenai karyanya Imam Sibawah (judulnya Al-Kitab) di setiap hari jumat dengan membayar sejumlah 70 Dinar. Kegiatan ini pun juga berlanjut ke anaknya Imam Al-Kisa’i. Syahdan, ini menjadi kritikan publik. Sebab yang demikian ini menjadi kebanggaan masyarakat Bashrah, bahwa meski dinegasikan kepakarannya, ternyata karyanya ulama’ mereka malah dikaji. (Mu’jam Al-Udaba’, Juz 4 Halaman 1745)
Namun menurut Al-Zajaji, yang menjadi panelis dalam debat tersebut adalah Abu Faq’as, Abu Ziyad, Abu Al-Jarrah dan Abu Tsarwan. Dan yang menjadi partner Al-Farra’ bukan Khalaf, melainkan Al-Ahmar. (Majalis Al-Ulama’, halaman 10)
Imam Khatib Al-Baghdadi menepis kabar yang beredar di masyarakat bahwa panelis yang disediakan oleh Imam Yahya merupakan settingan, karena jika demikian, niscaya para keluarga dan penghuni istana sudah mengetahuinya. (Tarikh Baghdad, Juz 13 Halaman 591)
Dari kisah ini seyogyanya kita belajar bahwa harusnya bisa menjaga integritas ketika menjadi panelis debat, dan seharusnya yang menjadi panelis pun merupakan pihak yang independen dan bebas dari intervensi pihak manapun.
Padahal tukar pikiran ini adalah dalam rangka menjaga konstitusi ilmu, sehingga tidak boleh dikotori agar tidak mendegradasi ruang akademik, demi mendapatkan hasil yang terbaik.
Demikian kisah debat ulama nahwu antara imam Sibawaih dan Imam Al-Kisa’i. Semoga bermanfaat.