Kisah Dialog Buya Hamka dengan Habib dan Ustad yang Tertipu Dukun

Tahun 80-an, Panji Masyarakat memfasilitasi dialog Buya Hamka dengan dukun perempuan dijuluki Pangrukti Aji alias Putri Sakti

PADA tanggal 28 Oktober 80-an ada seorang perempuan dijuluki Pangrukti Aji (Alias Putri Sakti), nama aslinya Wartingingsih, kabarnya ia adalah seorang dukun wanita, mengaku mengalami hal ghaib laiknya wali. Ia mengaku bertemu dengan Sunan Kalijogo dan diberi nama Pangrukti Aji.

Awalnya Pangrukti Aji ini melihat tulisan misterius dalam kaca. Isinya: “Yaa ayyuhalladzina aamanu ittaqullaha haqqa tuqaatih.”

Kemudian, ia mengaku bertemu Sunan Kali Jogo dan mendapat cerita otentik dari beliau mengenai Wali Songo. Karena itulah, ia ingin membuat film Wali Songo yang bersumber dari cerita langsung Sunan Kali Jogo.

Rupanya, yang percaya pada cerita ini juga seorang tokoh cukup terkenal, yaitu Mas Agung. Bahkan ada Habib bernama Nuh Al-Haddad dan seorang Ustadz bernama Ahmad Rifa’i. Didirikan pula Yayasan Sinar Terang untuk menyokongnya.

Pada tanggal 28 Oktober 1980, Mas Agung, Pangrukti Aji, Habib Sayyid Al-Haddad dan Ustadz Ahmad Rifa’i bertemu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), ketika itu mereka ditemui Buya Hamka dan perwakilan pengurus MUI untuk melakukan dialog terkait masalah ini.

Anehnya, yang menceritakan kejadian ini adalah Ustadz Rifa’i yang tidak pernah menyaksikan langsung kejadiannya dan hanya mendengar dari Pangrukti Aji. Dia percaya ini sebagai kejadian luar biasa. Ia sangat kagum dan yakin sekali atas pengalaman Pangruti Aji.

Ketika hal ini ditanyakan kepada Buya Hamka maka secara umum beliau katakan bahwa sangat sulit mempercayai seorang bisa bertemu langsung dengan orang yang telah meninggal. Apalagi, disertai dawuh dan wangsit.

“Karena tidak ada yang mengontrol, orang bisa saja mengatakan bahwa ia telah bertemu Nabi Muhammad, namun perkataan itu betul2 tidak dijamin kebenarannya,” demikian kaya Buya Hamka. “Kalau Nabi Muhammad memang ada hadits, misalnya riwayat Muslim yang menunjukkan bahwa orang yang bermimpi bertemu Nabi Muhammad berarti benar, karena setan tidak bisa menyerupai beliau.”

Buya Hamka pun kemudian memberondong Ustadz Rifa’i dengan beberapa pertanyaan, apa sama martabat Wali Songo dengan Nabi? Siapakah yang datang sebenarnya kepada Pangruti Aji dan menyampaikan dawuh wangsit itu. Kata Buya Hamka, kemungkinan besar hantu dan jin.

Giliran Mas Agung kemudian yang berkata. Dia dapat pemberian nama langsung dari Sunan Kalijogo dengan sebutan Bawono Aji. Ia mengaku bisa mengobati segala  macam peyakit yang tidak dapat diobati orlah dokter sekalipun.

“Mungkin itu benar, mungkin Tuhan memberkati saudara, tapi agama Islam itu bukan perdukunan, soal-soal semacam itu adalah hal kecil yang tak perlu dibesar-besarkan,” pungkas Buta Hamka.

Tidak lupa beliau mengingatkan ungkapan Arab yang menganjurkan agar kita fokus pada syukur terhadap pemberi nikmat, bukan pada nikmat.

Singkat cerita, mereka tidak mendapat apa-apa. Izin untuk membuat film Wali Songo versi wangsit atau dawuh Sunan Kali Jogo pun tak mendapat restu, kecuali jika dari sumber jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.  Kisah ini diliput dalam majalah Panji Masyarakat No. 307 (XXII/1980) dengan judul “DIALOG WANGSIT, ANTARA MAS AGUNG DAN BUYA HAMKA.”

***

Rupanya pertemuan itu tidak memuaskan. Maka pada hari Kamis 13 November 1980, bertempat di Restoran Nusa Indah, gedung Kartika Chandra diadakan konferensi pers antara Pengurus Yayasan Jalan Terang dengan wartawan Ibu Kota.

Yang hadir di antaranya: Pangratu Aji, Mas Agung, Fuad Muntako, Habib Nuh Al-Haddad dan Ustadz Ahmad Rifa’i. Mungkin juga ini sebagai bentuk klarifikasi. Hadir juga pada waktu itu pihak kepolisian dan Departemen Agama.

Acara molor satu jam dan baru bisa dimulai pada jam 11 siang. Awalnya dibuka oleh Mas Agung kemudian disampaikan oleh Pangruti Aji yang akan membacakan penjelasannya setebal 20 halaman. Judulnya “PENJELASAN PANGRUTI AJI KEPADA PERS TENTANG BUKTI KEBENARAN PETUNJUK GHAIB YANG DITERIMANYA SEJAK TAHUN 1963”.

Kemudian dia banyak menceritakan hal ghaib dengan Sunan Kali Jogo. Banyak terjemahan ayat yang dijadikan sandarannya. Kemudian dia agak blunder ketika menyebutkan ada ayat Al-Qur`an yang artinya: “Hanya para Wali saja yang mengetahui sejarah ke-Waliannya.”

Saat ditanyakan masalah ini oleh wartawan, maka dia kelabakan tidak bisa menyebutkan ayat berapa. Malah dikomentari oleh Habib Nuh Al-Haddad bahwa itu Surah Yunus. Lucunya dibantah oleh Ustadz Rifa’i bahwa itu bukan ayat tapi hadits.

Dan ketika itu ditanyakan sebagai hadits shahih atau bukan, ternyata Ustadz Rifa’i menjawab: lupa.

Dalam dialog itu Pangruti Aji terlihat malu dan menundukkan kepala. Habib dan Ustadz yang sedianya menjadi penyokong malah saling menyalahlan. Audiens pun bergemuruh.

Akhirnya rencana awal Konferensi Pers untuk memulihkan nama Pangrukti AJi gagal total. Ia tidak mampu meyakinkan khalayak mengenai keghaiban yang dialaminya. Berita ini diliput Irfan Hamka dalam majalah Panji Masyarakat No. 308 (XXII/1980) dengan judul “TANGGAL 13 ANGKA SIAL BAGI PANGRUKTI AJI”.

***

Kisah-kisah seperti tampaknya terus berulang. Ada yang mengaku wali, mendapat berita ghaib dan seterusnya.

Anehnya, ada juga tokoh percaya. Yang tidak habis pikir, seorang yang mengaku habib dan ustadz pun juga mempercayainya dengan dicarikan pembenaran dalil dari Al-Qur`an dan Hadits.

Pada akhirnya mereka malu sendiri. Sebab mereka terpaku pada yang ghaib, tapi syariat diabaikan.

Kisah dialog ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi segenap level masyarakat. Khususnya umat Islam, bahkan untuk para habaib, ustadz atau pemuka agama Islam yang diiakui keilmuannya; agar tidak gampang percaya kepada orang yang mengumumkan kewalian dan hal-hal ghaib.

Apalagi sampai mengaku Imam Mahdi bahkan Nabi. Saya jadi teringat tulisan KH. Haysim Asy’ari yang pernah dimuat di majalah Panji Masyarakat yang intinya bahwa wali sejati itu menyembunyikan diri bukan memplokamirkannya.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH