oleh: Mahmud Budi Setiawan
Konflik antara kalangan Ba’alawi dengan tokoh-tokoh Islam modernis pada masa sebelum kemerdekaan sudah biasa terjadi. Hanya saja, konflik waktu itu bukan pada penggugatan pada nasab tapi lebih ke tingkah laku yang tak sesuai dengan nilai Islam yang mengajarkan di antaranya nilai kesetaraan.
Di antara konflik-konflik yang terekam dalam lembaran sejarah adalah yang diberitakan oleh majalah terbitan Persis: Al-Lisaan. Pada edisi nomor 8 (25 Juli 1936 M/6 Jumadil Awwal 1355 H), dimuat suatu tajuk “Fitnah Al-Irsjad dan Baa ‘Alawi”.
Melalui berita ini, didapatkan informasi bahwa pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 1355 H, di Betawi diterbitkan kitab kecil berjudul “Titel Kemoeliaan Dalam Islam” yang dianggit oleh Soelaiman Nadji dan diterbitkan oleh An-Naadil-Islaami”.
Sebagai informasi, berdasarkan buku “Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa” (1996) karya H. Hussein Badjerei, disebutkan bahwa Sulaiman Naji nama lengkapnya Umar bin Sulaiman Naji merupakan anak didik Syekh Syurkati. Beliau termasuk murid yang lulus angkatan pertama.
Beliau pernah memimpin Madrasah Al-Irsyad di Pekalongan; Redaktur Surat Kabar Asy-Syifa Pekalongan; Penasihat HB. Al-Irsyad tahun 1938; Wakil Ketua HB. Al-Irsyad ke-26 (1941). Intinya, beliau ini termasuk tokoh penting dalam Al-Irsyad yang didirikan Syekh Syurkati.
Kembali ke berita majalah Al-Lisaan. Menanggapi tulisan Soelaiman Nadji (Sulaiman Naji), kalangan Ba’alawi di Pekalongan menulis selebaran pada bulan Juni 1936 berjudul “Oemar Membikin Onar”. Dari judulnya saja, sudah menggambarkan bantahan pedas terkait karya Sulaiman Naji yang berjudul “Titel Kemoeliaan Dalam Islam”.
Majalah Al-Lisaan menggambarkan betapa kasar diksi yang dipakai dalam selebaran itu. Sampai ada kata-kata “Onar Soelaiman Nadjis” sebagai padanan dari nama lengkap tokoh Al-Irsyad itu yaitu Umar bin Sulaiman Naji. Selebaran itu diterbitkan kalangan Ba’alawi Pekalongan dengan nama “Pemadam Fitnah”.
Menariknya, dengan berusaha seobyektif mungkin, redaksi majalah Al-Lisaan menganalisis dua karya yang lahir dari dua pihak yang berseberangan ini.
Di antara pertanyaan kritis yang diajukan:
Pertama, apa sebab tuan Soelaiman Nadji karang kitab itu?
Kedua, Apa sebab komite Pemadam Fitnah memadamkan fitnah dengan api?
Dilihat dari sejarah berdirinya Al-Irsyad hingga lahir karya Sulaiman Naji itu, dijelaskan bahwa yang menyebabkan Tuan Sulaiman Naji mengarang kitab kecil itu karena kaum Ba’alawi memakai titel sayid yang dengan sebab itu banyak menimbulkan fakta-fakta yang tidak mengenakkan di lapangan.
Fakta-fakta itu misalnya: kalangan Ba’alawi merasa lebih mulia dari semua manusia, walau orang lain lebih bertakwa, dan mereka Ba’alawi lebih mulia walau ahli maksiat.
Selain itu ada fenomena mencium tangan sayid, dan itu dilakukan oleh orang sudah tua yang bukan sayid kepada anak kecil yang sayid.
Di samping itu ada fakta lain bahwa kalangan Ba’alawi bisa menikah dengan siapa saja yang disukainya, sementara non Ba’alawi tidak boleh menikah dengan perempuan dari Ba’alawi.
Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh di lapangan yang menurut penjelasan majalah Al-Lisaan, “Jang timboel dan djadi lantaran bermegah2 dengan bangsa dan pangkat bikinan sendiri itoe.”
Lebih lanjut dijelaskan, “Toean Oemar Nadji memboeat kitab itoe, ialah soepaja orang ramai taoe dan sedar, bahwa titel warisan itoe semoea omong kosong. Manoesia tidak ada beda antara satoe dengan lain, melainkan dengan taqwaa.“
Jika ide dan pemikiran Tuan Sulaiman Naji tersiar di kalangan masyarakat, maka itu akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit pada kalangan Ba’alawi yang sudah dihormati sedemikian rupa oleh masyarakat.
Dalam konteks inilah lahir selebaran buku dari Komite Pemadam Fitnah dari kalangan Ba’alawi Pekalongan untuk mencegah supaya mereka tidak mengalami kerugian.
**
Tuan A. Hassan dengan menggunakan inisial M.S. pada berita Al-Lisaan ini, memberikan catatan menarik.
Kata beliau, “Pada pandangan saja, bahwa kaoem Baa ‘Alawi bermegah2 diri dengan titel dan toeroenan itoe, satoe fitnah jang besar dalam Islam.”
Lebih lanjut beliau menerangkan, “Kitab jang di-terbitkan oleh An-Naadil-Islaami itoe, maoe menghilangkan itoe fitnah. Djadi boleh kita nama-kan kitab itoe Pemadam fitnah.”
Sedangkan untuk selebaran yang diitulis Komite Pemadam Fitnah dari kalangan Ba’alawi Pekalongan, Tuan A. Hassan berkomentar, “Selebaran dari Pekalongan itoe, njata hendak menghalangi orang jang memadamkan fitnah. Boleh dinamakan ‘Selebaran Fitnah’.”
Selain itu, A. Hassan menandaskan, “Tiap-tiap orang Islam perloe batja kitab ketjil jang harga sepoeloeh cent itoe, soepaja taoe sendiri siapa jang membikin fitnah dan siapa jang memadamkannja.” (SELESAI NUKILAN)
Dari nukilan berita majalah Al-Lisaan tahun 1936 ini, ada beberapa poin menarik yang bisa disimpulkan:
- Pada waktu itu, ketika ada konflik antar umat Islam, semangat literasi dan spirit ilmiah itu yang dihidupkan. Karya dibalas dengan karya; buku dilawan dengan buku bahkan bila perlu diadakan perdebatan ilmiah. Bukan main hakim sendiri dengan melakukan persekusi.
- Secara umum, memang yang menimbulkan konflik kala itu adalah bukan terutama menyinggung nasab Ba’alawinya tapi perilaku yang menyalahi syariat yang diagung-agungkan. Superioritas nasab yang diunggulkan walau menjadi pelaku maksiat tetap merasa lebih utama, sebagai contoh yang sering digaungkan.
- Meski karya dibalas dengan karya, terlihat betapa kasarnya diksi yang dipakai oleh Komite Pembela Fitnah terhadap Sulaiman Naji. Umar diganti Onar dan Nadji (Naji) diganti Najis.
- Meski secara khusus nasab Ba’alawi tidak menjadi pembahasan utama kala itu, tapi dari beberapa diksi majalah Al-Lisaan dalam berita tersebut mengisyaratkan ketidakpercayaan pada nasab Ba’alawi yang tersambung ke Nabi Muhammad. Sebagai contoh ungkapan, “Toean Oemar Nadji memboeat kitab itoe, ialah soepaja orang ramai taoe dan sedar, bahwa titel warisan itoe semoea omong kosong. Manoesia tidak ada beda antara satoe dengan lain, melainkan dengan taqwaa.” Titel warisan sayid itu disebut omong kosong.
Bahkan lebih tegas A. Hassan menyatakan, “Pada pandangan saja, bahwa kaoem Baa ‘Alawi bermegah2 diri dengan titel dan toeroenan itoe, satoe fitnah jang besar dalam Islam.” Jadi gelar itu justru disebut gitnah yang besar, yang menunjukkan ada ‘indikasi’ ketidakpercayaan pada nasab mereka. Meski demikian, beliau tetap obyektif agar para pembaca tetap kritis dan bisa membaca langsung dari masing-masing karya itu, sehingga bisa mengambil keputusan mana yang benar dan salah dalam hal ini. - Dengan membaca sejarah-sejarah seperti ini, seharusnya umat bisa menjadi lebih dewasa dalam menghadapi konflik. Konflik seperti ini jangan sampai memecah belah umat, justru memperkaya kajian ilmiah dan menghidupkan budaya literasi dalam tubuh umat Islam sebagaimana pada masa itu. Dengan adanya konflik seperti ini, masing-masing pihak bisa menjadikannya sebagai bahan instrospeksi diri.*