Dalam pandangan Islam, semua bangsa berada dalam posisi yang sejajar. Baik bangsa Arab maupun non-Arab, kedua-dua nya adalah setara di mata Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab atas bangsa Ajam (non-Arab), dan tidak ada keutamaan bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah kecuali dengan takwa.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad (5/411) dan al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman (4774). Sementara, al- Haitsami dalam kitab Majma’ (3/266) juga menjelaskan, hadis di atas diriwayatkan oleh Ahmad dengan perawi yang sahih. Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW juga melarang umatnya membanggabanggakan diri dengan nenek moyang mereka yang telah meninggal dunia. Sebab, semua manusia adalah keturunan Adam AS yang diciptakan Allah SWT dari tanah (HR Abu Daud [5116] dan at- Tirmidzi [3955] dengan sanad hasan).
Allah SWT berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki (Adam AS) dan seorang perempuan (Hawa), menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling mengenali. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,” (QS: Al-Hujurat [49]: 13).
Ayat di atas semakin mempertegas bahwa posisi bangsa Arab dan non-Arab dalam pandangan Islam adalah sama. Yang membedakan manusia di mata Allah SWT hanyalah tingkat ketakwaan mereka. Konsep egalitarianisme tersebut tentu saja membuka peluang besar bagi seluruh kaum Muslimin dari berbagai latar belakang bangsa dan budaya untuk memberikan sumbangannya bagi kemajuan dunia Islam.
Sejarah pun mencatat, kaum Muslimin Arab dan non-Arab saling bahu membahu dalam membangun peradaban Islam. Mulai dari bidang dakwah, politik, militer, hingga ilmu pengetahuan. Bahkan, tidak sedikit sahabat Rasulullah SAW dari kalangan non-Arab yang memberikan kontribusi penting bagi tegaknya panji-panji Islam pada masa lampau.
Sebut saja Salman al-Farisi, seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari Persia. Dia dikenal sebagai ahli strategi militer ulung dalam Perang Khandaq, yaitu pertempuran antara kaum Muslimin melawan kelompok kafir Makkah pada 627 Masehi (5 Hijrah).
Dalam perang ter sebut, jumlah pa sukan Muslim kalah jauh dibandingkan dengan tentara yang dikerahkan oleh kelompok kafir Makkah.
Sejarawan asal Prancis, Ma xime Rodinson, dalam buku ‘M u hammad: Prophet of Islam’ menyebutkan, kaum Muslimin pa da waktu itu hanya memiliki 3.000 tentara. Sementara, kekuatan musuh mencapai 10 ribu tentara.
Melihat situasi yang tidak seimbang itu, Salman al-Farisi lalu mengusulkan pembuatan parit di dekat Madinah untuk membentengi kota tersebut dari serangan kaum kafir Makkah. Strategi yang ditawarkan Salman ketika itu ternyata sangat jitu. Kaum Muslimin berhasil memperoleh kemenangan meski dengan jumlah pasukan yang minim.
Sahabat Nabi SAW lainnya, Bilal bin Rabah, juga berasal dari kalangan non-Arab. Dia adalah mantan budak keturunan Afrika yang dibebaskan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dari majikan bernama Umayyah ibn Khalaf. Bilal dikenal lantaran suaranya yang merdu dan menggugah jiwa. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW menunjuknya sebagai muazin pertama dalam sejarah Islam.
“Tidak hanya itu, Bilal juga diberi kepercayaan oleh Rasulullah SAW untuk mengemban jabatan prestisius sebagai bendahara negara di Madinah,” ungkap peneliti Islam asal Mesir, Tarek A Ghanem, dalam karya tulisnya, A Slave with a Free Soul (Part 3: Bilal ibn Rabah).