SESAAT setelah kabar kekalahan tentara Romawi dari pasukan kaum Muslimin di bawah komando Khalid bin Walid, Raja Romawi Heraklius berdiri di singgasananya lalu berkata.
“Katakan kepadaku siapa mereka (yang telah mengalahkan Romawi)? Bukankah mereka orang-orang seperti kalian?”
Di antara para pembesar Romawi itu ada yang menjawab, “Ya, benar. Mereka manusia seperti kita.”
Heraklius kian tak sabar, ia segera mengejar dengan pertanyaan berikutnya, “Jumlah kalian yang lebih banyak atau mereka?”
“Jumlah kami lebih banyak dan berlipat ganda dari jumlah mereka,” ucap salah satu komandan pasukan Romawi.
Dengan sedih bercampur marah dan kesal, Heraklius berkata, “Mengapa kalian bisa kalah?”
Heraklius dan semua pembesar seperti ditimpa kegelapan dan beban tak tertanggungkan. Frustasi, marah dan kecewa menyeruak ke seluruh rongga dada mereka. Suasana hening, hanya deru nafas mereka masing-masing yang terdengar begitu kuat, naik dan turun.
Hingga akhirnya, salah seorang yang paling senior di antara mereka mengangkat tangan dan memberikan penjelasan perihal mengapa Romawi bisa kalah.
“Karena mereka (pasukan Khalid bin Walid) bangun malam hari untuk beribadah kepada Tuhannya dan pada siang hari mereka berpuasa. Mereka menepati janji yang mereka sepakati, memerintahkan untuk berbuat baik, mencegah dari perbuatan keji dan saling memberi nasihat di antara mereka sendiri. Karena itu wajar Allah menolong dan memenangkan mereka.
Sedangkan kita dan pasukan kita, wahai Raja kami, kita meminum minuman keras. Kita mengingkari janji yang telah kita buat. Kita berbuat zalim dan melakukan kejahatan. Semua ini telah menjauhkan datangnya pertolongan Allah. Bagaimana Dia akan menolong kita, jika kita tidak menolong-Nya?”
Demikian dialog penuh hikmah yang terjadi di dalam kubu Kerajaan Romawi pasca kekalahan mereka dari pasukan umat Islam di bawah komando Khalid bin Walid yang ditulis oleh Dr. Abdurrahman ‘Umairah dalam bukunya “Fursan Min Madrasatin Nubuwwah.”
Fakta tersebut semestinya menjadi penggerak jiwa kita sebagai Muslim dalam keseharian. Bahwa kunci kemenangan umat Islam akan terjadi jika dan hanya jika umat Islam sendiri benar-benar mengamalkan ajaran Islam itu sendiri.
Perhatikan kaliman, mereka bangun di malam hari dan berpuasa di siang hari. Artinya kunci kemenangan itu adalah amal dan amal.
Betapa pentingnya ketaatan yang dimanivestasikan dalam bentuk amal, Aid Al-Qarni dalam bukunya “Beginilah Zaman Mengajari Kita” menulis, “Ada orang yang mengisi lembaran hidupnya dengan kajian, produktivitas, dan penghimpunan pengetahuan, tapi dia lupa terhadap amal shalih. Bagi yang mencermati Al-Qur’an, dia akan mendapati bahwa Al-Qur’an memuji ilmu yang bermanfaat dan disertai dengan amal. Di dalamnya juga disebutkan tentang ketaatan seperti sholat, puasa, zakat, jihad, dan takwa, lebih banyak dari pada penyebutan ilmu. Hendaknya hal yang sedemikian mendapat perhatian secara khusus.”
Tentu saja semua amal yang bisa dilakukan tidak harus diumumkan baik melalui lisan kepada teman dekat. Apalagi melalui status di media sosial.
Al-Qarni menekankan bahwa para sahabat Nabi dalam beramal sangatlah luar biasa antusiasnya. Meski mereka sholat, puasa, melakukan amalan yang bisa dilihat, akan tetapi amal-amal yang tersembunyi jauh lebih banyak mereka amalkan dan itu hanya sedikit yang bisa diselidiki.
Selain amal ibadah tentu saja, kunci kemenangan dan kebahagiaan hidup umat Islam ada pada komitmen untuk saling memberikan nasehat, menepati janji dan saling mendoakan, berjiwa besar dan tetap mau mendengar.
Hal demikian pernah dilakukan Pendiri PP Hidayatullah, KH Abdullah Said, “Kalau ada orang yang memberi teguran terhadap apa yang kamu ceramahkan, mungkin karena kesalahan membaca ayat dan hadits aau kekeliruan embawakan suatu kisah, dan lain-lain, janganlah merasa dipermalukan, kendatipun teguran itu disampaikan di depan umum. Ucapkanlah terimakasih dan jadikanlah sebagai gurumu, niscaya engakau akan dijadikan sahabat. Peganglah prinsip ‘satu musuh itu sudah banyak sekali tapi seribu kawan itu masih sangat kurang.” (Mencetak Kader: 130).
Sikap demikian lebih dahulu diteladankan oleh Khalid bin Walid kala dirinya ditetapkan untuk tidak lagi menjadi panglima pasukan kaum Muslimin.
Kala itu banyak yang mendesak Khalid agar memprotes keputusan Umar bin Khathab, namun dengan jiwa besar, Khalid menjawab tuntutan sahabat-sahabatnya.
“Tidak saudaraku yang seiman, saudara semedan pertempuran. Kita telah menghancurkan kota-kota di Persia. Kita juga telah enghancurkan benteng Romawi. Apakah ada kekuatan lain yang mengancam penduduk Muslim yang membutuhkan kepada pedangnya Khalid?”
Khalid lalu melanjutkan, “Jadi, pada saat ini negara lebih butuh kepada akal Umar bin Khathab daripada pedangnya Khalid. Fitnah tidak akan terjadi selama Umar bin Khathab masih hidup.”
Demikianlah sikap Khalid, wujud manivestasi keimanannya sebagai seorang jenderal besar yang tak pernah kalah dalam pertempuran menolong agama Allah.
Sikapnya penuh ketangguhan moral dan kecerdasan spiritual. Inilah kunci-kunci kemenangan umat yang kini harus kita hidupkan dan segar-segarkan kembali.
Dalam dirinya hanya ada satu kalimat, asalkan agama Allah yang menang, jadi apapun diriku tidaklah begitu penting. Sebab tugas utamaku adalah mengamalkan ajaran Islam dengan baik sepanjang hayat. Wallahu a’lam.*