Akhir-akhir ini kita seringkali mendengar perkataan toleransi yang cenderung terkesan menghilangkan batasan-batasan yang telah diatur oleh syariat islam. Ingin menyatukan semua agama dalam kata saudara kenegaraan, namun lupa atau sengaja lupa bahwa ada aturan yang telah ditetapkan dalam islam, yang para ulama menamakannya wala’ dan bara’ (الولاء والبراء), kepada siapa kita boleh atau tidaknya memberikan loyalitas.
Dan lebih lucunya lagi ketika “oknum-oknum” tersebut berdalil dengan firman Allah ﷻ dalam surat al-kafirun:
لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
(QS. Al-kafirun :6).
Mereka berdalil dengan ayat tersebut untuk memproklamirkan kebebasan dalam beragama, dan seringkali membuat mereka mempromosikan sebuah perkataan bahwasanya setiap agama itu baik, cuma berbeda cara. Sehingga kita mendengar perkataan, mengucapkan dan merayakan natal tidak akan menganggu keimanan.
Mereka lupa atau memang tidak tahu esensi dari surat al-kafirun tersebut. Padahal jikalau kita mau belajar dan mencoba membuka tafsir para ulama, kita akan mendapati ayat-ayat pada surat al-kafirun tersebut malah menjelaskan hakikat dan konsekwensi dari ketauhidan seorang mukmin, yaitu dengan berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan, dan itu berarti membantah syubhat mereka sendiri.
Dalam tafsir imam Thabari disebutkan bahwa sebab Allah ﷻ menurunkan surat ini adalah karena kaum musyrikin dahulu memberikan penawaran kepada rasulullah ﷺ agar mereka bersatu dalam peribadatan, kaum musyrikan akan menyembah Rabb nabi Muhammad ﷺ selama setahun, namun tahun depannya, mereka bersama rasulullah ﷺ menyembah berhala-berhala jahiliyyah.
Maka, Allah ﷻ pun menurunkan firmanNya dalam surat al-kafirun, yang mana Allah ﷻ memerintahkan nabi Muhammad ﷺ untuk menjelaskan kepada mereka bahwa hal tersebut tidak akan pernah terjadi, karena tidak mungkin bisa tauhid dipertemukan dengan kesyirikan, dan alhaq dengan kebatilan.
(Lihat tafsir Thabari : 24/702).
Imam Ibnu Katsir menukilkan pendalilan Imam Syafi’I dengan ayat ini, bahwasanya:
إن الكفر كله ملة واحدة تورثه اليهود من النصارى، وبالعكس؛ إذا كان بينهما نسب أو سبب يتوارث به؛ لأن الأديان -ما عدا الإسلام-كلها كالشيء الواحد في البطلان.
“semua bentuk kekufuran adalah satu ajaran yang diwarisi yahudi dari nashrani begitupun sebaliknya. Antara keduanya ada hubungan nasab dan saling mewarisi. Karena semua agama, selain islam, semuanya seperti satu kesatuan dalam kesesatan.”
(Tafsir Ibnu Katsir : 8/508).
Hanya agama islam yang berjalan di atas tauhid, dan semua agama selain islam berjalan diatas kesyirikan dan kesesatan.
Syaikh As – Sa’di berkata ketika menafsirkan ayat:
لا أعْبُدُ ما تَعْبُدُونَ
“ Aku tidak akan menyembah berhala yang kalian sembah”
تبرأ مما كانوا يعبدون من دون الله، ظاهرًا وباطنًا
“Berlepas dirilah dari semua yang mereka sembah selain Allah, baik secara zhahir maupun secara bathin.”
(Tafsir Assa’dy hal. 936).
Begitu pula perkataan syaikh Amin As-Syinqithi dalam membantah orang yang mengatakan kebebasan beragama dengan berdalilkan surat ini:
وليس في هذا تقريرهم على دينهم الذي هم عليه، ولكن من قبيل التهديد والوعيد: كقوله
“Ayat ini bukanlah bentuk persetujuan kebenaran agama mereka, namun sebagai bentuk ancaman. Ini serupa dengan firmanNya:
وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ…. ٢٩
Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…….
( QS. Al-kahfi : 29).
Sehingga, pada asalnya surat al-kafirun adalah bantahan untuk orang yang meyakini kebebasan beragama, ataupun yang berpegang kepada toleransi tanpa batas, karena surat ini mengajarkan untuk berlepas diri secara total dengan segala ajaran yang bertentangan dengan tauhid.
Dalam ayat lain, lebih tegas lagi Allah ﷻ berfirman:
لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٖ مِّنۡهُۖ وَيُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱللَّهِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٢٢
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”
(QS. Al-mujadilah : 22).
Tidak berloyalitas bukan berarti menganggu, menyakiti ataupun menzhalimi.
Islam adalah agama yang sempurna dan penuh dengan kebaikan, sekalipun kita dituntut untuk tidak berloyalitas alias berlepas diri secara total dari kesyirikan dan orang yang berbuat kesyirikan, namun kita tetap tidak diperbolehkan untuk melakukan kezhaliman, Allah ﷻ berfirman:
وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-maidah : 8).
Begitu pula islam tidaklah melarang umatnya untuk berbuat baik kepada orang-orang musyrik selama mereka tidak memerangi kaum muslimin, Allah ﷻ berfirman:
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
(QS. Al-Mumtahinah : 8).
Bahkan, Allah ﷻ melarang kita untuk membunuh orang kafir yang berada di wilayah kaum muslimin ataupun yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin, dan Allah mengancam pelakunya dengan keras, rasulullah ﷺ bersabda:
من قتل نفسا معاهدا لم يرح رائحة الجنة، وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما
“Siapa yang membunuh seseorang yang memiliki perjanjian (dengan kaum muslimin), maka dia tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga bisa tercium sejauh 40 tahun perjalanan”.
(HR. Bukhari : 6914).
Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, kita dilarang untuk mengganggu orang-orang kafir, namun jangan sampai pula hal tersebut membawa seseorang melewati rambu-rambu yang sudah ditetapkan dalam syariat.
Disusun oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Rabu, 22 Jumadal Ula 1442 H/ 06 Januari 2021 M