Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Lembut Itu Tak Berkata Kasar

Bahkan di al-Qur’anul Karim, Allah memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalaam berbicara pada Fir’aun dengan perkataan yang lemah-lembut (qaulan layyinan)

LEMBUT itu bukan hanya dalam tindakan, tapi lembut juga bukan terutama berkenaan dengan pelannya suara saat berbicara dan perkataan. Ada yang suaranya pelan, berbicara dengan syahdu, tetapi tak ada kelembutan dalam bertutur.

Ada yang volume suaranya rendah, tetapi kata-katanya pedas membakar dada. Ini semua menunjukkan bahwa bukan keras lemahnya suara yang menjadi penakar kelembutan.

Tetapi  bukankah Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan kita untuk melunakkan suara? Betul. Allah Ta’ala berfirman:

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS: Lukman, {31}: 19).

Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi menulis dalam  Tafsir Al-Maraghi, bahwa “lunakkanlah suaramu” (وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ) berarti perintah, “Kurangilah tingkat kekerasan suaramu, dan perpendeklah cara bicaramu, janganlah kamu mengangkat suaramu bilamana tidak diperlukan sekali. Karena sesungguhnya sikap yang demikian itu lebih berwibawa bagi yang melakukannya, dan lebih mudah diterima oleh jiwa pendengarnya serta lebih mudah dimengerti.”

Perintah ini ditegaskan dengan menunjukkan apa yang sangat buruk, yakni suara keledai. “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” Ciri penting suara keledai ada dua: tiba-tiba melengking keras dan tidak enak didengarkan.

Maka tidak patut kita berbicara dengan suara keras, kecuali apabila diperlukan. Tetapi bahkan saat diperlukan pun, sangat buruk apabila kita mengabaikan kelembutan sehingga bersuara dengan seburuk-buruk suara; berbicara sebagaimana keledai, yakni melengking tiba-tiba, membentak-bentak, tidak enak didengarkan. Buruk sekali bersuara dengan suara keledai, meskipun saat memenuhi keinginan anak.

Sesungguhnya kelembutan dalam berbicara itu meluluhkan hati, kecuali apabila hatinya sudah terlalu keras membatu sebagaimana Fir’aun. Kita sebut nama Fir’aun bukan sekedar perumpamaan.

Kita dapati dalam al-Qur’anul Karim, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalaam untuk berbicara kepada Fir’aun dengan perkataan yang lemah-lembut (qaulan layyinan). Sebuah pelajaran bahwa tutur kata semacam inilah yang seharusnya kita pergunakan untuk meluluhkan hati manusia, termasuk anak-anak kita. Hati akan mudah tersentuh oleh tutur kata yang lembut, kecuali bagi yang benar-benar telah amat sangat melampaui batas.

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinan), mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS: Thaha {20}: 43-44).

Apakah yang dimaksud dengan layyin (لَيِّنٌ)? Kelembutan. Jika rifq adalah kelembutan yang lebih dekat kepada keramahan, maka layyin (لَيِّنٌ) adalah kelembutan yang muncul karena terhindarnya seseorang dari dua penyakit, yakni fazhzhan (فَظًّا) dan ghalizhal qalbi (غَلِيظَ الْقَلْبِ).

Fazhzhan (فَظًّا) ialah keras kata, kasar ucapan sekaligus buruk pembicaraan meskipun disampaikan dengan suara pelan diiringi senyuman manis. Maka fazhzhan dapat kita maknai sebagai sikap yang keras.

Sedangkan ghalizhal qalbi (غَلِيظَ الْقَلْبِ) ialah hati yang kasar dan kaku, meskipun ucapan yang keluar adakalanya tidak terasa kasar. Namun kasar kerasnya hati tetaplah akan mempengaruhi ucapan maupun tindakan.

Sekiranya dua hal ini ada pada diri seseorang, maka Allah Ta’ala jamin niscaya orang-orang akan menjauh menyingkir dari sekelilingnya, walaupun orang tersebut pada awalnya sangat dipercaya sekaligus sangat dihormati. Begitu dua hal ini ada, maka kebaikan yang diingat orang tidak dapat mencegah mereka untuk lari menjauh.

Mari kita ingat firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut (لِنْتَ) terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras (فَظًّا) lagi berhati kasar (غَلِيظَ الْقَلْبِ), tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS: Ali ‘Imran {3}: 159).

Kata “kamu” pada ayat ini ditujukan kepada Rasulullah Muhammad ﷺ; seseorang yang memiliki reputasi sangat bagus, dikenal keluhuran akhlaknya, kemuliaan nasabnya, kecerdasannya, sifatnya yang amanah serta kejujurannya. Terhadap sosok semulia ini pun, orang-orang akan menjauh dari sekeliling beliau sekiranya bersikap keras (فَظًّا) lagi berhati kasar (غَلِيظَ الْقَلْبِ).

Akan tetapi disebabkan rahmat Allah, maka Rasulullah  ﷺ dapat berlaku lemah-lembut (لِنْتَ) terhadap mereka, meskipun tantangan dakwah sangat besar. Jika seorang da’i perlu bersikap lembut kepada orang-orang yang diajaknya kepada kebenaran Islam, maka orangtua perlu untuk senantiasa bersikap lembut (لِنْتَ) terhadap anak-anaknya.

Inilah sikap yang menjadikan anak-anak senantiasa ingin dekat dengan orangtua meskipun usia sudah beranjak remaja. Ini sikap yang membuat anak merindukan rumahnya, meskipun perbincangan di antara kerap memunculkan suara yang lantang.

Selama ada kelembutan, lantangnya suara akan menautkan hati untuk saling merindu.  Jadi, sekali lagi, sangat berbeda antara perkataan lemah-lembut dalam bertutur dengan pelan lemahnya suara.

Kelembutan itu tetap bisa kita rasakan, hadir dalam perbincangan, baik pada suara yang pelan nyaris tak terdengar maupun yang lantang penuh semangat. Akan tetapi ketika orangtua tidak menghindari fazhzhan (sikap keras, kasar kata) serta hati yang kasar, maka anak-anak akan menjauh.

Semakin bertambah usia mereka, semakin sulit untuk dekat dengan orangtua. Lebih-lebih jika disertai sikap yang dingin tak peduli atau perkataan/perbuatan kasar menyakitkan hati, kebaikan akan semakin jauh di antara mereka. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Kolumnis dan penulis buku-buku parenting. FB: Muhammad Fauzil Adhim

HIDAYATULLAH