Makna Allahu Akbar Menurut Ahlusunnah Wal Jamaah

Makna Allahu Akbar Menurut Ahlusunnah Wal Jamaah

Di antara kesunnahan di hari raya adalah bertakbir, dengan mengumandangkan lafadz “Allahu Akbar”. Takbir untuk hari raya di bagi menjadi dua; Pertama, takbir mursal, yaitu takbir yang dilakukan selain setelah selesai shalat. Kedua, takbir muqayyad, yaitu takbir yang dilakukan setelah shalat baik shalat fardhu atau shalat sunnah. Menurut pendapat yang kuat, takbir muqayyad ini hanya dilakukan pada hari raya Idhul Adha. Sementara pada Idhul Fitri tidak sunnah melakukan takbir ini. Kecuali menurut imam Nawawi yang dinilai dhoif oleh syeikh al Bajuri.

Kesunnahan bertakbir pada hari raya ini tidak lepas dari hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah ra:

كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ

Artinya: “Kami diperintahkan keluar di hari raya, sampai kami mengajak para anak gadis dari kamarnya dan juga para wanita yang sedang haid. Mereka duduk di belakang barisan kaum laki-laki dan mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki, dan berdoa mengikuti doanya mereka dengan mengharap barakah dan kesucian hari raya tersebut” (HR. Bukhari dan Lainnya)

Dalam riwayat imam Muslim, menggunakan redaksi “فِي الْعِيْدَيْنِ” artinya di dua hari Raya Fitri dan hari Raya Adha.

Lalu apa makna Takbir atau lafadz Allahu Akbar itu ?

Lafadz Allahu Akbar merupakan bagian dari lafadz Mutasyabih. Di mana maknanya tidak bisa sekedar menggunakan makna hakikat lughawi (makna asli yang diambil dari bahasa), tetapi harus menggunakan makna majaz (pemalingan makna yang lebih cocok dengan dzat Allah swt) atau menggunakan makna tafwid (menyerahkan makna sebenarnya kepada Allah swt).

Secara harfiyah, lafadz Allahu Akbar memiliki makna “Allah Maha Besar”. Makna ini memberikan indikasi pemahaman bahwa ukuran dzat Allah swt melebihi ukuran apapun yang besar di jagat alam ini. Jika di dalam beberapa keterangan, ‘Arys adalah makhluk yang paling besar, maka ukuran Allah swt lebih besar dari ‘Arsy. Model pemahaman seperti ini yang biasa digunakan oleh kelompok Mujassimah dan Musyabbihah (yang sekarang di adopsi oleh Salafi Wahhabi). Tentu pemahaman model seperti ini tidak bisa dibenarkan. Sekalipun model di atas sangat logis, tetapi dalam aspek lain menyekutukan Allah swt dengan makhluknya dalam sifat batas terhadap suatu ukuran tertentu. Di samping itu, juga mentajsim Allah swt (mengganggap Allah swt berbentuh suatu benda yang mengandung unsur-unsur dan bagian-bagian).

Sedangkan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah yang menggunakan pendekatan takwil atau majaz, maka makna “Allah maha besar” adalah kekuasaan dan kehendak Allah swt maha besar dari yang lainnya, sebagaimana yang disampaikan syaikh al Bajuri dalam kitab Hasyiyah al Bajuri:

اَللهُ أَكْبَرُ أَيْ اَللهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ

Artinya: “Allahu akbar artinya Allah lebih agung dari selainnya”

Metode pemahaman ini di dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal dengan Majaz Nuqshan, yaitu majaz dengan mengurangi lafadznya.

Bahkan Syeikh Ismail Haqqi bin Musthafa, salah satu ulama’ dari madzhab Hanafi menjelaskan bahwa makna Allahu Akbar adalah Allah lebih besar dari apa yang tergambar dari dalam fikiran manusia, bahkan seandainya manusia memahami keagungan Allah swt dengan suatu hal, maka hakikat keagungan Allah swt lebih dari itu. Di dalam kitab Tafsir Ruhul Bayan dijelaskan:

فَمَعْنَى اَللهُ أَكْبَرُ أَيْ أَكْبَرُ مِنْ أَنْ يَنَالَهُ الْحَوَّاسُ وَيُدْرَكَ جَلَالُهُ بِالْعَقْلِ وَالْقِيَاسِ بَلْ أَكْبَرُ مِنْ أَنْ يُدْرَكَ كُنْهُ جَلَالِهِ غَيْرَهُ بَلْ أَكْبَرُ مِنْ أَنْ يَعْرِفَهُ فَإِنَّهُ لَا يَعْرِفُ اللهَ إِلَّا اللهُ

Artinya: “Makna Allahu Akbar adalah Allah lebih besar dari pengetahuan melalui panca indra, dan Allah lebih besar dari pengetahuan tentang keagungannya berdasarkan akal dan qiyas, Allah lebih besar dibanding dengan pengetahuan tentang keagungan Allah dari selainnya, bahkan Allah lebih besar dari mengetahui Allah, sebab tidak ada satu dzat pun mengetahui hakikat Allah kecuali Allah”

Kedua bentuk penafsiran di atas dalam Ahlussunnah wal Jama’ah sama-sama dapat dibenarkan. Karena kaduanya sama-sama mensucikan Allah swt dari kesamaan dengan makhluk dari aspek apapun. Padahal Allah swt tidak sama dengan apapun.

Wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH