Makna Dalam dari “Mak…Udah!”

“Mak…udah!”

Apa yang terpikirkan dengan kalimat di atas? Penulis mencoba mengatakan kepada seorang teman di kantor mengenai kalimat pendek di atas. Kontan ia langsung tertawa terbahak. Pikirannya langsung teringat masa kecil ketika sedang pup atau awal-awal belajar pup di kamar mandi. Lalu memanggil ibu dengan kalimat pamungkas “Mak…udah!”

Ibu kemudian datang dengan segera, gerakannya langsung cekatan mengambil gayung lalu membersihkan kotoran kita yang baunya semerbak khas. Ibu tidak jijik atau menutup kedua lubang hidungnya.

Anda mengalami hal yang sama ketika kecil? Ibu kita tampak begitu heroik, menjadi pahlawan pertama pembasmi ketidakberesan di rumah. Setelah kita dewasa, ibu kita secara biologis pun makin menua. Lalu, bagaimana kita memperlakukannya?

Penulis jadi teringat sesuatu. Ketika memberikan tautan video murottal seorang reciter suatu malam, tiba-tiba kawan penulis memberikan sebuah foto. Seorang perempuan tua mengenakan kerudung putih, berkacamata plus, bergamis batik biru, sepatu putih dan di depannya tas selempang berwarna kuning. Di tas itu terpampang foto sang perempuan tua dan sebuah tulisan “cek out”.

“Tadi ada jamaah umrah yang tersesat. Kasihan nenek-nenek,” kata kawan, malam itu pukul 21.56 WIB.

Kawan ini bernama Abdurrahman Nasrullah Erwin. Ia sedang menempuh pendidikan sarjananya di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia.

“Beliau sudah tidak kuat berjalan,” lanjut Anas, begitu teman akrab disapa. Nenek yang berusia sekitar 70-an tahun itu terbawa arus jamaah luar negeri lainnya. Anas tak terlalu paham dengan penuturan nenek yang bernama Cekoni Jamal Wahid–terlihat dari identitas name tagnya. “Saya tidak terlalu paham bahasanya. Bahasa yang beliau pakai bahasa Melayu, lebih ke bahasa Palembang,” tutur Anas. Namun ada sedikit yang ia pahami, “Ia bilang ‘tadi saya ikutin orang-orang yang jalan, dekat fly over di luar Nabawi’,” kata pemuda yang pernah kuliah di STIU Al-Hikmah Jakarta itu, menirukan kalimat nenek Cekoni. Jarak yang lumayan jauh. Circa lima kilometer.

Nenek yang masih bagus pendengarannya tersebut menurutnya tidak tampak mengeluh sama sekali. Hanya saja, nek Cekoni banyak terdiam.

Anas bersama keempat temannya yang bergegas menghubungi travel yang tertulis di name tag nek Cekoni. Travel Zafa Tour. Tak lebih dari 45 menit, mutawwif sang nenek pun datang. Kata mutawwifnya, nek Cekoni awalnya mengisi air zam-zam, setelah itu ia mengikut jamaah yang lain. Di saat itulah nenek kehilangan arah.

Ketika dijemput oleh mutawwifnya, awalnya sang nenek ketakutan dan tidak mau diajak. Namun setelah dibujuk sedemikian rupa akhirnya ia mau ikut ke rombongan kembali.

“Ya Allah, bayangkan kalau itu orangtua kita..” tutur Anas tidak tega.

Al Birr bermakna kebaikan. Rasulullah SAW. bersabda: “Al Birr adalah baiknya akhlak.” (HR. Muslim).

Sehingga Birrul Walidain berarti berbuat baik kepada kedua orangtua, menjauhi apa-apa yang tidak mereka sukai, serta mentaati mereka (selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah).

Sang kawan tadi benar, bagaimana kalau itu orangtua? Bukan tentang anak dari orangtua tersebut, namun tentang kita memperlakukan orangtua. Orangtua yang sudah mengalami masa senja akan mengalami penurunan pula pada fungsi fisiknya. Apalagi jika orangtua mengalami kelumpuhan yang mengganggu saraf motoriknya, ia hanya hidup di atas tempat tidur atau kursi roda. Maka, yang akan membersihkannya adalah kita. Anak-anaknya. Ketika pup pun kita yang akan merawatnya. Maka kalimat pamungkas “Mak..udah!” yang kita gaungkan ketika kecil berubah menjadi “Mak, udah?”

Fawwaz La’bun pernah mengatakan bahwa yatim itu ada dua macam. Pertama yatim kecil, yang artinya kehilangan orangtua. Yang kedua, yatim besar: kehilangan ridha orangtua. Semoga kita tak yatim yang terakhir itu.

Wallahua’lam.

 

BersamaDakwah