Makna Menjulurkan Telunjuk Saat Tasyahud

Makna Menjulurkan Telunjuk Saat Tasyahud

Ibadah merupakan aktifitas yang bersifat dogmatis, di mana cara dan waktunya sudah ditentukan oleh Syari’ (pembuat syariat; Allah swt dan Rasul_Nya). Sebab itu, tidak boleh dalam ibadah berubah atau menentukan waktu yang tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh syariat. Seperti shalat Dzuhur dikerjakan di waktu malam. Puasa Ramadlan dikerjakan di bulan Rabi’ul Awal. Ketentuan seperti ini yang kemudian oleh ulama’ dibuat sebuah kaidah:

اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ اَلتَّوْقِيْفُ عَلَى الدَّلِيْلِ

Artinya: “Hukum ashal dari ibadah adalah menunggu adanya dalil”

Kaidah ini hakikatnya memiliki jangkauan makna yang cukup luas. Bukan sekedar kewajiban adanya dalil dari syari’ pada suatu ibadah tertentu. Tetapi merubah ketetapan ibadah dengan cara dan waktu yang tidak sesuai dengan apa yang tetah ditetapkan juga menjadi ibadah yang sia-sia.

Begitu juga makna-makna yang tersimpan dari segala bentuk dan waktu ibadah merupakan rahasia ilahi yang tidak sah ditafsirkan secara personal tanpa menyandarkan kepada dalil. Mengapa di dalam shalat ada ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud dan segala rentetan aturan shalat itu penting di pertanyakan karena merupakan rahasia Allah swt yang tidak boleh bagi siapapun menganggap penafsiran dirinya paling benar dan milik orang lain salah. Kewajiban berpuasa selama satu bulan di bulan Ramadlan dengan tatacara dan waktu tertentu juga merupakan rahasia Allah swt yang tidak dibenarkan bagi siapapun meyakini; “Puasa diwajibkan karena agar kita merasakan juga laparnya orang-orang miskin ketika mereka tidak menemukan makanan”. Tetapi cukup bagi kita mentaati apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt dan Nabi_Nya.

Namun demikian, manusia adalah makhluk Allah swt yang sering tidak puas dengan apa yang dilihatnya. Sehingga tidak sedikit ulama’ mencoba menyingkap tabir rahasia di balik aturan-aturan ibadah yang telah ditetapkan. Dalam penafsiran ini, adakalanya murni bersifat tafsir tanpa ada sandaran dalil, seperti memaknai sujud sebagai ekspresi kerendahan diri, dan ada pula tafsir yang memang sudah dijelaskan oleh Syari’.

Shalat termasuk ibadah yang juga memiliki rahasia-rahasia terpendam. Seperti dijelaskan sebelumnya, ada sebagian rahasia di dalam shalat yang telah dijelaskan makna filosofisnya, ada juga yang tidak dijelaskan oleh Syari’. Di antara makan filosofis dari gerakan-gerakan shalat yang dijelaskan maknanya adalah menjulurkan satu jari telunjuk ketika tasyahhud, tepatnya ketika membaca “la ilaha illallah”. Lalu apa makna menjulurkan satu jari telunjuk ? Kenapa tidak seluruh telunjuk atau dua telunjuk ?.

Dalam hal ini, imam al Baihaqi sebagaimana dikutip as Shan’ani di dalam Subulus Salam, menjelaskan makna menjulurkan telunjuk pada saat tasyahhud yaitu isyarat terhadap mentauhidkan Allah swt secara ikhlash, bukan karena ada paksaan. Sehingga, isyarat satu jari tidak dua jari, dan diletakkan pada saat mengucapkan “la ilaha illallah” sebagai isyarat bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali hanya ada satu, yaitu Allah swt. Dalam mentauhidkan di sini, menjadi satu antara ucapan (la ilaha illallah), perbuatan (isyarat dengan telunjuk) dan keyakinan di dalam hati.

Sekalipun ini penafsiran tanpa ada keterangan dari al Qur’an atau Hadits secara tegas dan sharih, namun ada makna isyari (makna tersurat) dari sebuah hadits yang berbunyi:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اْلإِشَارَةِ بِالْأُصْبُعَيْنِ. وَقَالَ أَحَدُ أَحَدٍ لِمَنْ رَآهُ يُشِيْرُ بِأُصْبُعَيْهِ

Artinya: ‘Nabi saw melarang berisyarat dengan dua jari. Dan ia berkata satunya satu bagi orang yang ia lihat berisyarat menggunakan dua jari”

Mengapa di dalam hadits tersebut Nabi saw melarang berisyarat menggunakan dua jari ? Ini artinya manakala hati menegaskan tentang Tuhan yang berhak disembah tidak memberi isyarat ada dua Tuhan, tetapi hanya ada satu Tuhan. Itulah makna filosofis yang dapat dipahami oleh para ulama’ yang diambil sari dari hadits tersebut.

Wallahu a’lam

ISLAM KAFFAH