“Umat Islam beribadah lima kali sehari, menyerahkan diri kepada Tuhan setiap hari. Melihatnya, saya iri. Saya merasa sangat kurang hanya pergi berdoa sepekan sekali. Sementara, mereka dapat melakukannya setiap hari, dapat berinteraksi dengan Tuhan setiap hari,” ujar Mary Qatarneh menyampaikan hal yang ia sukai dari Islam.
Shalat lima waktu menjadi perhatian Mary saat ia tertarik pada agama yang dibawa Rasulullah ini. Ibadah yang dianggap berat oleh sebagian orang yang berislam sejak lahir ini justru merupakan kabar gembira bagi Mary. Ia akan sangat gembira jika dapat berinteraksi dengan Tuhan setiap hari, setiap waktu. Demikian hal yang ada di pikirannya saat mempelajari agama Islam.
Sebelum tertarik pada Islam, Mary mengaku tak pernah yakin 100 persen atas apa yang ia anut. Ia taat beragama, tapiia pun ragu di dalam hati. Ia rutin beribadah, tapi tak pernah mengerti esensi ibadah sebenarnya. “Saya selalu percaya pada Tuhan, selalu memiliki iman, tapi itu bukan iman yang benar. Itu bukan sesuatu yang selalu saya rasakan,” kata wanita kelahiran AS ini.
Dari kegelisahan akan agama tersebut, Mary pun mencari kebenaran. Ia mempelajari beragam keyakinan dan agama. Ia berinteraksi dengan banyak orang dari beragam ras dan agama di seluruh penjuru dunia melalui internet. Ia membaca banyak buku tentang teologi. Hingga, kemudian Mary mengenal Islam dan mulai mempelajarinya. “Pencarian saya akan kebenaran membawa saya pada banyak pelajaran tentang Islam. Saya membaca banyak buku dan punya banyak teman dari seluruh penjuru dunia,” tuturnya.
Saat mempelajari Islam, ia mulai merasa tertarik. Melihat gaya beribadah Muslimin, Mary pun kemudian jatuh hati. Ia makin meragukan agamanya yang hanya beribadah sepekan sekali. “Kaum Muslimin beribadah lima kali sehari. Interaksi lima kali sehari ini benar-benar membuat saya merasa nyaman,” kata Mary menggambarkan perasaannya setelah merasakan nikmatnya “bertemu” Allah lima kali sehari.
Keyakinannya pada Islam pun makin menjadi ketika mengetahui kisah Nabi Isa dalam Islam. Tak hanya itu, Mary pun tak lagi kebingungan mengenai pengakuan dosa. Ia pun lega, setelah berislam tak perlu mengumbar dosa kecuali di hadapan Allah semata. “Saya percaya Islam karena hal-hal yang membingungkan saya di masa lalu. Semua hal membingungkan itu hilang setelah mengetahui Islam,” ujar Mary tersenyum simpul.
Setelah memantapkan hati, Mary pun mendapatkan kesempatan bertemu seorang imam Muslim di sebuah acara pernikahan kerabatnya. Mary yang telah mencari kebenaran Islam itu pun mendapat nasihat dari sang imam. “Imam bertanya, apakah saya ingin masuk Islam. Saya pun mengatakan bahwa sebagai seorang remaja, hidup saya adalah hidup merdeka. Kau tahu orang Amerika menganggap biasa remaja 18 tahun pergi dari rumah,” ujar Mary mengisahkan pengalamannya berislam.
Maksud Mary, yakni ia berhak memilih jalan hidupnya sendiri saat itu. Apalagi, memeluk Islam adalah hal yang sangat penting. Jikalau mendapat pertentangan dari keluarga, ia telah siap. Dengan tekad bulat tersebut, Mary pun bersyahadat dibantu sang imam. “Saat imam bertanya hal itu, sebenarnya dalam hati saya memang sudah menerima Islam. Hanya saja, aku belum melafalkannya secara lisan. Maka, saat imam bertanya, aku pun bersyahadat. Saya baru benar-benar menjadi seorang Muslim. Saat itu, tanggal 23 Juli 1983,” ujar Mary dengan wajah berseri-seri. n ed: anjar fahmiarto
Tentangan keluarga kemudian menguji kehidupan Mary setelah menjadi mualaf. Saat baru memeluk Islam, Mary masih bisa menutupinya dari keluarga. Tapi, setelah berjilbab, terbongkarlah rahasianya yang telah berislam. Penolakan keras datang dari keluarga, terutama sang ibu. Bahkan, hingga kini sang ibu masih belum menerima Mary meski ia telah memberikan penjelasan panjang lebar.
“Begitu mulai mengenakan kerudung. Saya mendapat reaksi yang sangat buruk dari keluarga, terutama ibuku. Ibu sampai hari ini tak bisa memahami alasan saya mengapa berubah begitu banyak. Dan, ibu meyakini bahwa saya berubah karena suami saya. Meski saya telah menjelaskan bahwa saya sungguh-sunggu memeluk Islam, dia tetap tidak menerimanya. Namun, adik saya selalu mendukung saya selama ini. Ia tak pernah protes dan juga mengaku mencintai Islam. Dia mempelajarinya. Dia selalu menjadi teman saya. Saya berharap, suatu hari adik saya menjadi seorang Muslim,” ujar Mary, berkisah pengalamannya.
Saat ini, Mary tinggal di Yordania bersama suami dan keenam anaknya. Mary tak mengisahkan alasannya pindah, tapi ia mengaku bahagia tinggal di Yordania. Di sana, ia mengajar bahasa Inggris di lembaga Educational Techniques and Skills Training and consulting (ESTA). Mengingat ia merupakan penutur asli Bahasa Inggris. Mary mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak maupun dewasa.
Disarikan dari Pusat Data Republika