Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menaruh perhatian akan pentingnya kebersihan.
Mengutip buku Kesehatan Dalam Persepektif Alquraan karya Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI Tahun 2009, bahwa Allah SWT telah perintahkan Rasulullah agar menyucikan pakaiannya terlebih dahulu karena pakaian sebagai tampilan pertama dalam pergaulan, sebagaimana diperintahkan dalam Surah al-Muddassir ayat 4. “Dan pakaianmu bersihkanlah.”
Banyak penafsiran yang dikemukakan ulama tentang perintah menyucikan baju ini. Ada yang menyebutkan bersih dari syirik, kemaksiatan, dan kebersihan hati. Tetapi Ibnu Jarir at-Tabari setuju dengan pendapat Ibnu Sirin, yaitu suci dari kotoran, sebagaimana dikutip Ibnu Kasir: Berkata Muhammad bin Sirin.”Dan sucikanlah pakaianmu.” Artinya, “Basuhlah dengan air’ karena sebagaimana dikatakan Ibnu Zaid, orang-orang musyrik itu tidak bersuci, maka Allah memerintahkan agar bersuci dan menyucikan pakaiannya.”
Pendapat ini yang diambil Ibnu Jarir at-Tabari, sebagaimana dikutip Ibnu Kasir. Az-Zuhaili, memaknai potongan ayat fatahhir, “Sucikan pakaianmu dari berbagai macam najis karena kesucian itu wajib dalam salat (dan disukai di luar salat), yaitu dengan cara membasuh pakaian atau menjaganya agar tidak kena najis atau memaknainya dengan “Sucikan dirimu dari perbuatan-perbuatan dan perilaku buruk.”
Kemudian beliau melanjutkan pengertian ayat ini dengan ungkapan, “Sucikan pakaianmu dari najis ainiyah (najis yang kongkrit) dan najis hukmiyyah (najis secara hukum), dan bersihkan dirimu dari dosa-dosa yang akan membawa kepada siksa, serta hiasilah dirimu dengan akhlak mulia.”
Prof Quraish Shihab secara panjang lebar mengelaborasi ayat ini dengan melihat aspek pengertian ayat secara hakiki, yakni baju, yang tidak diartikan lain, dan tahhir yang artinya. “Menyucinya dari kotoran, termasuk najis; walaupun banyak ulama yang mengartikan makna majazi (kiasan) seperti dikemukakan di atas.”
Menurut Prof Quraish Shihab siyab mungkin saja dimaknai majazi, seperti hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti, keluarga dan istri,walaupun untuk kata istri, Al-Qur΄an menggunakan kata libas (pakaian) bukan siyab (baju).
Selain itu, kata tahhir dimaknai sebagai membersihkan dari kotoran, dan secara majazi, kata tahhir berarti menyucikan diri dari dosa atau pelanggaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka terdapat empat kelompok ulama yang memiliki penafsiran berbeda, yaitu:
Pertama, ulama yang memahami kedua kosakata itu dalam arti majazi.
Kedua, dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaian dari segala kotoran dan tidak mengenakannya kecuali dalam keadaan bersih, sehingga nyaman dan enak dipandang.
Ketiga, mengartikan siyab dalam arti majazi dan tahhir dalam arti hakiki, sehingga ayat itu diartikan, ‘‘Bersihkan jiwa (hatimu) dari kotoran-kotoran”.
Keempat, siyab dalam arti hakiki dan tahhir dalam arti majazi, yakni perintah untuk mencuci pakaian dan memakainya secara halal, menutup aurat setelah memperolehnya dengan cara yang halal pula”. Selanjutnya, ia menyatakan.
“Penulis cenderung memilih pendapat yang menjadikan kedua kata tersebut dalam arti hakiki.”