SEBAGIAN orang salah dalam memahami surat Al Anam ayat 145 berikut,
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” Kesimpulan mereka bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam ayat ini saja. Berikut kami bawakan sanggahan dari ulama besar yang hidup 200 tahun silam, Muhammad bin Ali Asy Syaukani rahimahullah (terkenal dengan Imam Asy Syaukani). Ketika menafsirkan surat Al Anam ayat 145 dalam Fathul Qodir, beliau memberikan penjelasan yang berisi sanggahan yang sangat bagus terhadap pendapat semacam tadi:
“Sesungguhnya Allah Taala telah mengabarkan pada mereka bahwa tiadalah ia peroleh dalam wahyu sesuatu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat ini. Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang diharamkan sebatas yang disebutkan dalam ayat ini seandainya ayat ini adalah Makiyah. Namun setelah surat ini, turunlah surat Al Maidah (ayat 3) di Madinah dan ditambahkan lagi hal-hal lain yang diharamkan selain yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti yang disebutkan terlarang adalah al munkhoniqoh (hewan yang mati dalam keadaan tercekik), al mawquudzah (hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat), al mutaroddiyah (hewan yang mati karena lompat dari tempat yang tinggi), dan an nathihah (hewan yang mati karena ditanduk). Juga disebutkan dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai haramnya setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang memiliki cakar (untuk menerkam mangsa). Begitu juga disebutkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenai haramnya keledai piaraan, anjing dan lainnya.
Secara global (yang dimaksud surat Al Anam ayat 145), keumuman yang ada berlaku jika kita lihat dari hewan yang dimakan sebagaimana yang dimaksudkan dalam konteks ayat dan terdapat nantinya istitsna (pengecualian). Namun hewan-hewan yang mengalami pengecualian sehingga dihukumi haram tetap perlu kita tambahkan dengan melihat dalil lainnya dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan masih ada hewan lain yang diharamkan. Tetapi kenyataannya diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah, mereka menyatakan bahwa tidak ada hewan yang haram kecuali yang disebutkan dalam surat Al Anam ayat 145. Imam Malik pun berpendapat demikian. Namun ini adalah pendapat yang sangat-sangat lemah. Karena ini sama saja mengabaikan pelarangan hewan lainnya setelah turunnya surat Al Anam ayat 145. Pendapat ini juga sama saja meniadakan hewan-hewan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai hewan yang haram untuk dimakan, yang beliau menyebutkan hal tersebut setelah turunnya surat Al Anam ayat 145. Peniadaan yang dilakukan oleh mereka-mereka tadi tanpa adanya sebab dan tanpa ada indikator yang menunjukkan diharuskannya peniadaan tersebut.”
Ringkasnya, pendapat yang menyatakan bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam surat Al Anam ayat 145 adalah pendapat yang lemah dilihat dari beberapa sisi:
– Pengecualian dalam ayat tersebut mesti melihat dari dalil lain dalam Al Quran dan Hadits Nabawi.
– Dalam surat Al Maidah ayat 3 masih disebutkan adanya hewan tambahan yang diharamkan.
– Dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga disebutkan adanya hewan lain yang diharamkan yang tidak disebutkan dalam Al Quran semacam keledai piaraan, anjing, dan binatang buas yang bertaring.
– Kalau ini dikatakan sebagai pendapat Ibnu Abbas, maka perlu ditinjau ulang karena Ibnu Abbas meriwayatkan hadits mengenai terlarangnya binatang buas yang bertaring. Ibnu Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
– Sebagian ulama katakan bahwa surat Al Anam ayat 145 telah dinaskh (dihapus) dengan surat Al Maidah ayat 3.
Semoga pembahasan ini bisa meluruskan kekeliruan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]