Memaksimalkan Dua Kemampuan Menuju Husnulkhatimah

Memaksimalkan Dua Kemampuan Menuju Husnulkhatimah

Saudaraku, kita berada pada bulan-bulan di mana belenggu setan kembali dilepaskan. Dan nafsu yang selama ini dapat diredam selama Ramadan, kini potensi untuk kembali pada kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik sebelum Ramadan bisa saja terulang.

Merenungi hal ini, sudah semestinya kita benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kita dihadapkan pada 2 (dua) pilihan jalan dalam hidup, yaitu: kepada husnulkhatimah atau su’ulkhatimah. Akhir hidup yang husnulkhatimah tentunya akan digapai dengan menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam,

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، قاَلُوُا: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah memanfaatkannya.” Para sahabat bertanya, ”Bagaimana Allah akan memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab, ”Allah akan memberinya taufik untuk beramal saleh sebelum dia meninggal.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak.)

Sedangkan akhir hidup su’ulkhatimah akan menimpa seseorang manakala ia meninggalkan ketakwaan dan terjerumus pada kubangan maksiat tanpa tobat sebelum ajal mendekat. Wal’iyadzubillah.

Kita adalah makhluk yang sangat bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Dalam perkara ibadah saja, meski memiliki fisik yang prima, kadangkala kita (khususnya para pemuda) merasa berat untuk bangun salat malam atau untuk ke masjid melaksanakan salat 5 waktu. Bahkan, sudah di masjid pun, setelah melaksanakan salat 5 waktu, untuk salat rawatib pun terasa berat. Wallahulmusta’an.

Sebaliknya, banyak pula para sepuh, telah berumur lanjut, tapi keistikamahannya dalam menjalankan ibadah-ibadah nawafil sangat tinggi. Mereka sangat patut menjadi contoh. Padahal, fisiknya terlihat lemah, berjalan melangkahkan kaki saja seperti sangat kesulitan. Namun, panggilan ketaatan dan semangat menuju keridaan Allah Ta’ala telah memudahkan dirinya dan pada akhirnya ketika malakulmaut menjemputnya, ia pun wafat dalam husnulkhatimah. Sungguh, sebuah akhir perjalanan hidup yang sempurna.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607.)

Jika kita renungkan, sebenarnya Allah Ta’ala telah menganugerahkan banyak karunia yang sangat berharga bagi kita. Di antaranya: fisik, akal, maupun iman. Maka, dengan anugerah tersebut, kiranya kita mampu menjadi hamba Allah yang senantiasa memikirkan bagaimana agar memperoleh husnulkhatimah ketika ajal menjemput dan menggapai surganya Allah Ta’ala. Dengannya pula, kita diwajibkan untuk mengenali batasan-batasan syariat di mana sebab melanggarnya kita dapat terjerumus pada akhir hidup yang su’ulkhatimah. Wal’iyadzu billah.

Saudaraku, anugerah yang Allah berikan tersebut menjadi dasar bagi kita untuk mengetahui dan mengenali mana yang hak dan yang batil. Dengan anugerah tersebut pula, kita memiliki setidaknya 2 (dua) kemampuan yang bermanfaat khususnya bagi diri kita sendiri untuk menggapai husnulkhatimah di akhir kehidupan kita, yaitu: kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa.

Kemampuan mengenali dosa

Sejatinya, fitrah seorang manusia adalah kebaikan. Bahkan, sejak lahir, pada dasarnya, semua manusia adalah muslim. Hanya saja, lingkungannyalah yang mengubah fitrahnya menjadi pribadi yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Fitrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam. Islam adalah kebaikan. Dengannya, seseorang dapat mengetahui kebenaran dan kekhilafan. Maka, dalam konteks mengenali dosa, setiap insan memiliki kemampuan. Cukup dengan merenungi kegelisahan dalam hati manakala ia mengerjakan suatu perbuatan yang belum ia ketahui apakah hal itu berdosa atau tidak.

Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Dar Ihya’ At-Turats, no. 1392, 16:111.)

Kemampuan mengenali dosa ini sejatinya dimiliki oleh semua insan. Perkara apapun itu, tatkala jiwa dirundung gelisah ketika melakukan perbuatan tertentu seperti muamalah dengan sesama manusia atau sedang dalam aktivitas tertentu tatkala sendiri dan ada penolakan batin manakala hal itu diketahui oleh orang lain, maka itulah dosa yang mesti segera ditinggalkan.

Namun, ada pula orang yang mengabaikan kemampuan mengenali dosa ini. Ia tetap melabrak ketentuan syariat yang ada. Meski sebenarnya kegelisahan datang sebagai tanda bahwa apa yang dikerjakannya adalah dosa, tetapi ia tetap saja melanjutkannya tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Ia lebih mengedepankan kenikmatan duniawi yang sesaat daripada kenikmatan ukhrawi yang kekal abadi. Mudah-mudahan, kita tidak menjadi bagian dari manusia yang abai tersebut.

Oleh karenanya, maksimalkan kemampuan mengenali dosa ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah yang senantiasa mampu mengendalikan diri untuk menghindari segala potensi dosa yang dapat mendatangkan murka Allah Ta’ala.

Kemampuan berfatwa

Fatwa yang dimaksud disini adalah fatwa terhadap diri sendiri sebelum meminta fatwa dari orang lain. Kemampuan mengenali mana yang hak dan yang batil kemudian memutuskan untuk mengambil pilihan kebenaran sejatinya dimiliki oleh setiap insan.

Oleh karenanya, kita perlu melakukan cross check terlebih dahulu terhadap perkara yang sedang kita hadapi. Menanyakan kembali kepada naluri tentang pilihan dan keputusan terhadap urusan duniawi dan ukhrawi kita. Sebagaimana nasihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kepada Wabishah,

يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ

Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu tiga kali. Karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa.” (HR. Ahmad no.17545, Al-Albani dalam Shahih At Targhib, no. 1734 mengatakan, “Hasan lighairihi.“)

Saudaraku, hadis ini menegaskan bahwa sejatinya, diri kita mampu memutuskan dengan hak perkara dari keraguan-keraguan diri. Namun, jangan lupa, hal itu dapat dilakukan dengan syarat, harus sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Sejatinya, seorang muslim yang lurus akidah dan manhajnya, fatwa yang keluar dari pikirannya akan sejalan dengan dalil yang ada. Maka, untuk memastikan bahwa pendapat kita tentang sesuatu tatkala meminta fatwa pada diri sendiri, kita mesti memahami bahwa ketentuan syariat Allah tidak boleh dilampaui oleh kehendak akal, logika, perasaan apa lagi nafsu.

Maka, asahlah kemampuan berfatwa ini dengan ilmu. Meski pada dasarnya, fitrah manusia adalah kebaikan. Namun, perasaan, akal, kecerdasan, dan logika harus mengikuti dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Karena sejatinya, bukan dalil yang mengikuti akal. Tapi akallah yang mengikuti dalil. Karenanya, pastikan bahwa kemampuan berfatwa yang kita miliki berada di bawah dan mengikuti petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah.

Mudah-mudahan, anugerah Allah Ta’ala kepada kita melalui kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa ini menjadikan kita lebih mudah untuk lebih berhati-hati dan mawas diri dalam menyikapi problematika kehidupan duniawi dan ukhrawi kita, sehingga kita mendapati diri kita berada dalam keridaan Allah Ta’ala di akhir hayat kita dengan kematian yang husnulkhatimah.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/93168-memaksimalkan-dua-kemampuan-menuju-husnul-khatimah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id