Harta seseorang akan beralih setelah pemiliknya mati. Hanya yang ia belanjakan di jalan Allah itulah miliknya yang akan “hidup” sesudah kematiannya, begitulah membelanjakan harta di Jalan Allah
Hidayatullah.com | HARTA adalah kebutuhan pokok dalam kehidupan dunia yang merupakan saraf kehidupan. Tidak ada seorang manusia yang dapat lepas dari harta, tapi bagaimana agar bisa membelanjakan harta di Jalan Allah?
***
Harta adalah kebutuhan primer bagi manusia di sepanjang zaman. Allah SwT menjadikan harta sebagai salah satu dari dua perhiasan dalam kehidupan dunia ini.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ (١٤)
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia. Di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (Ali-Imran [3]: 14).
Harta adalah perhiasan hidup di dunia yang disukai oleh seluruh manusia dan mereka berusaha memilikinya dengan berbagai cara. Harta secara terminologi bahasa Arab disebut Al-Mal yang berarti condong, cenderung, dan miring.
Oleh sebab itu manusia itu cenderung ingin memiliki dan menguasai harta. Sedangkan menurut pengertian etimologi adalah sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun manfaat dari barang seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.
Islam telah menetapkan penghormatan dan perlindungan terhadap harta. Rasulullah SaW telah melarang untuk menyia-nyiakan harta. Islam memandang harta sebagai salah satu pilar utama dalam kehidupan di dunia dan sarana penghidupan manusia.
Islam tidak memandang rendah terhadap harta sebagai sesuatu yang mungkar atau haram, dan juga tidak memujinya secara berlebihan. Islam memandang harta hanya sebagai sarana saja.
Jika harta digunakan secara baik maka akan menjadi kebaikan, dan jika digunakan untuk kejelekan maka menjadi jelek.
فَاَمَّا مَنْ اَعْطٰى وَاتَّقٰىۙ (٥) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنٰىۙ – ٦فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلْيُسْرٰىۗ (٧) وَاَمَّا مَنْۢ بَخِلَ وَاسْتَغْنٰىۙ (٨) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنٰىۙ (٩) فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلْعُسْرٰىۗ (١٠) وَمَا يُغْنِيْ عَنْهُ مَالُهٗٓ اِذَا تَرَدّٰىٓۙ (١١)
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila telah binasa.” (QS: Al-Lail [92]: 5-11)
Harta bukanlah tujuan, akan tetapi merupakan sarana untuk menukar kemanfaatan dan memenuhi kebutuhan. Maka barangsiapa yang menggunakannya pada jalan ini, harta yang dia miliki akan membawa kebaikan baginya dan bagi masyarakat.
Dan barangsiapa yang menjadikannya sebagai tujuan dan kenikmatan, maka akan memalingkannya kepada syahwat yang dapat membawa pemiliknya kepada kerusakan-kerusakan dan memberikan peluang kepada manusia jalan kesesatan.
Imam Ghazali mengatakan, “Harta bagaikan ular yang mempunyai racun dan penangkal, faedahnya terdapat pada penangkalnya dan bahayanya terdapat pada racunnya, maka barangsiapa yang mengetahui bahaya dan faedahnya, ia akan dapat mencegah kejelekannya, dan mengambil manfaat dari kebaikannya.”
Harta merupakan perhiasan dunia, Islam tidak menghinakan harta sehingga melepaskannya dari tangan-tangan umat Islam, dan juga tidak mengagungkannya sehingga menjadi dambaan umat Islam.
Harta akan bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kebajikan jika pemiliknya menginginkan kebaikan darinya. Allah SwT menginginkan agar seorang muslim menjadi pekerja yang profesional dan baik dalam memanfaatkan dan membelanjakan harta, sehingga harta yang berada dalam genggamannya dapat digunakan sebagai sarana beribadah kepada Allah SwT.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ (٩)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian sampai melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian, maka mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun [63]: 9)
إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ
Sesungguhnya harta ini indah dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan benar, dan meletakkannya dengan benar, maka dia sebaik-baik penolong. Barangsiapa mengambilnya dengan cara yang tidak benar, maka bagaikan orang makan tapi tidak kenyang. (HR. Bukhari)
Sarana bukan Tujuan
Harta adalah sarana bukan tujuan, agar harta yang diperoleh membawa keberkahan. Karena itu, hendaknya seseorang mencarinya dengan jalan yang halal, tidak menahan orang berhak untuk menerimanya, tidak sombong dan tidak berfoya-foya.
Karena menyadari akan keagungan karunia Allah yang diberikan berupa harta, maka, menggunakannya hahrus dengan cara sederhana dan seimbang, tidak berlebihan dan berbuat kerusakan dengan harta yang dimiliki.
Jika seseorang keluar dari ketentuan tersebut maka ia akan mendapatkan akibat yang buruk, sebagaimana yang menimpa Qarun dengan harta kekayaannya.
Qarun memiliki harta yang melimpah, hingga kunci-kuncinya tidak kuat dibawa oleh para algojo-algojo yang kuat. Harta kekayaannya ini telah menjadikannya seorang yang memiliki kedudukan yang kuat dalam masyarakat.
Tidak ada yang menyalahkan dengan hartanya itu. Ia hanya diharapkan agar mengerti dan menyadari dari mana sumber harta itu.
Dan hendaknya harta dan amalnya dipersiapkan untuk kehidupan akhirat, dengan tetap menikmatinya dalam kehidupan dunia secara sewajarnya. Akan tetapi Qarun memilih jalan kemewahan, berfoya-foya, sombong kepada Manusia dan mengingkari nikmat harta yang datang dari Allah SwT.
Dengan sangat angkuh ia mengatakan bahwa harta yang dimiliknya merupakan hasil dari ilmu yang di miliki dan usaha yang dilakukannya.
قَالَ اِنَّمَآ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْۗ اَوَلَمْ يَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهٖ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَّاَكْثَرُ جَمْعًا ۗوَلَا يُسْـَٔلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ (٧٨)
“Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka.” (Al-Qashash [28]: 78)
Kata-kata Qarun adalah kalimat tipu daya yang menganggap bahwa sebab dan sarana yang nampak itulah sebab dari segala sesuatu, yang akan menentukan hasil dari segala sesuatu tanpa adanya campur tangan faktor yang lain.
Lalu bagaimana nasib Qarun? Suatu hari ia keluar di muka kaumnya dengan kendaraan yang besar dan perhiasan yang banyak, sambil membanggakan pada kaumnya.
Maka Allah SwT membenamkan dirinya, harta dan rumahnya ke dalam bumi. Sungguh sebuah akhir yang buruk yang patut diteladani oleh orang-orang yang berakal.
فَخَسَفْنَا بِهٖ وَبِدَارِهِ الْاَرْضَ ۗفَمَا كَانَ لَهٗ مِنْ فِئَةٍ يَّنْصُرُوْنَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۖوَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِيْنَ (٨١) وَاَصْبَحَ الَّذِيْنَ تَمَنَّوْا مَكَانَهٗ بِالْاَمْسِ يَقُوْلُوْنَ وَيْكَاَنَّ اللّٰهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ وَيَقْدِرُۚ لَوْلَآ اَنْ مَّنَّ اللّٰهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا ۗوَيْكَاَنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الْكٰفِرُوْنَ (٨٢)
“Kami benamkan Qarun dan istananya ke bumi. Tidak ada baginya sekelompok orang yang menolongnya selain Allah. Dia tidak termasuk orang-orang yang tertolong. Orang-orang yang kemarin mengharap posisi Qarun jadi berkata, “Demikianlah Allah memperluas rezeki orang yang Ia kehendaki dan mempersempitnya. Andaikata tidak karena anugerah Allah kepada kita, maka kita akan tenggelam. Demikianlah, tidak akan beruntung orang-orang yang kufur.” (QS: Al-Qashash [28[: 81-82)
Orang yang memiliki harta tidak selamanya beruntung, bahagia dan selamat dari problem kehidupan. Bahkan orang berharta seringkali menghadapi fitnah dan cobaan dalam hidupnya.
Orang yang memiliki harta diuji apakah ia bersyukur atau kufur akan nikmat Allah SwT. Harta adalah ujian bagi orang yang memilikinya secara berlebihan.
Manusia apabila tidak mendapatkan rahmat Allah sehingga berbuat ibadah dan taat kepada-Nya, maka ia akan sibuk dengan hartanya dan melupakan ibadah. Harta membuat orang buruk perangai, sombong, dan membanggakan dirinya di hadapan manusia lainnya.
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ (٢٨)
“Ketahuilah! Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian adalah ujian, dan sesungguhnya Allah memiliki pahala yang besar. (Al-Anfal [8]: 28)
Harta adalah ujian dari Allah SwT dan tidak sepantasnya seorang muslim memandang harta seperti halnya Qarun memandang harta. Seluruh harta yang dimiliki manusia adalah milik Allah SwT.
Penguasa sejati harta adalah Allah bukan manusia. Harta hanyalah titipan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya yang sewaktu-waktu akan diambil.
Manusia adalah pengganti dan wakil Allah SwT dalam menggunakan harta di dunia. Manusia tidak sepantasnya menggunakan harta kecuali sesuai yang diridhai Allah SwT. Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻣَﺎﻟِﻰ ﻣَﺎﻟِﻰ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻪِ ﺛَﻼَﺙٌ ﻣَﺎ ﺃَﻛَﻞَ ﻓَﺄَﻓْﻨَﻰ ﺃَﻭْ ﻟَﺒِﺲَ ﻓَﺄَﺑْﻠَﻰ ﺃَﻭْ ﺃَﻋْﻄَﻰ ﻓَﺎﻗْﺘَﻨَﻰ ﻭَﻣَﺎ ﺳِﻮَﻯ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬُﻮَ ﺫَﺍﻫِﺐٌ ﻭَﺗَﺎﺭِﻛُﻪُ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ
“Seorang hamba berkata, “hartaku, hartaku!” Sesungguhnya yang menjadi miliknya dari hartanya adalah tiga: Apa yang ia makan dan sirna, apa yang ia pakai dan usang, dan apa yang ia dermakan akan terkumpul. Selain dari yang tiga itu, maka akan hilang dan ia tinggalkan untuk orang lain.” (HR. Muslim).
Harta seseorang akan menjadi milik ahli warisnya setelah meninggal dunia, walaupun sebelumnya menjadi miliknya.
Apa yang ia belanjakan di jalan Allah itulah yang menjadi miliknya dalam hidup dan sesudah kematiannya.
Dengan demikian, orang yang mendermakan hartanya di jalan Allah ia akan mendapatkan ridha Allah dan pahala dari-Nya.
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (٢٦١)
“Perumpamaan orang-orang yang mendermakan hartanya di jalan Allah seperti biji yang tumbuh menjadi tujuh batang. Di setiap batang terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan pahala orang yang Ia kehendaki. Dan Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 261)
Allah SwT membuat perumpamaan orang yang mendermakan hartanya di jalan Allah seperti orang yang menanam biji yang dari biji itu tumbuh tujuh batang yang setiap batangnya terdapat seratus biji.
Maka hasil dari satu biji adalah tujuh ratus biji. Dan Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang ia kehendaki.
Begitu pula harta yang dibelanjakan di jalan Allah, maka pahalanya akan berlipat tujuh ratus kali. Allah SwT menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk cepat-cepat mendermakan harta mereka di jalan kebaikan, siang dan malam, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Semua itu untuk melebur dosa-dosa mereka dan mendapatkan kedudukan yang mulia di sisi-Nya.
اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ (٢٧٤)
“Orang-orang yang mendermakan hartanya pada waktu malam dan siang secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada ketakutan dan kesedihan atas mereka.” (Al-Baqarah [2]: 274)
Harta yang didermakan di jalan Allah SwT akan menjadi buah amal di akhirat. Seorang muslim tidak akan rugi dengan mendermakan hartanya, bahkan harta yang didermakan di jalan Allah itu yang akan menjadi penyelamat dari siksa neraka.
Nabi ﷺ bersabda dalam salah satu hadits yang artinya, “Jika anak Adam meninggal maka putuslah amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, anak shalih yang mendoakan kedua orangtuanya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Artinya dengan tiga hal tersebut manusia beriman akan memiliki kesinambungan antara kehidupan di dunia dan setelah dia meninggal dunia menuju kehidupan akhirat karena berbuat kebaikan, termasuk beramal jariyah mendermakan hartanya di jalan Allah.
Karenanya tidak selayaknya seorang muslim enggan untuk memanfaatkan dan membelanjakan hartanya di jalan Allah sebab semua akan kembali kepada dirinya. Wallahu A’lam.*/ Suko Wahyudi, aktivis Masjid Timuran Yogyakarta