Kedatangan Assim al Hakim ke Indonesia beberapa pekan yang lalu sempat menuai kontra versi. Bukan masalah kedatangannya. Tetapi fatwa yang disampaikan terkait beberapa hal yang berseberangan dengan praktek dan pemahaman umat Islam. Salah satunya membaca surat al Fatihah di awal pengajian tersebut.
Menurutnya, membaca al Fatihah di selain shalat hukumnya haram karena termasuk perbuatan bid’ah. Dalam fatwanya ia menyampaikan:
“Namun perkara ini bukanlah ajaran Islam. Al Fatihah itu dibaca saat shalat, surat paling agung, Al Fatihah juga dibaca dalam rukiah”
Dari fatwa tersebut, setidaknya ada dua kemungkinan yang menyebabkan surat al Fatihah haram di baca ketika memulai suatu perbuatan. Kemungkinan tersebut yaitu:
- Praktek membaca surat al Fatihah ketika memulai suatu perbuatan tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw atau disabdakannya.
- Surat al Fatihah hanya boleh dibaca di dalam shalat dan ruqyah. Untuk selain kedua tempat tersebut hukumnya tidak boleh.
Terkait dengan kemungkinan yang pertama bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah membaca al Fatihah ketika sedang memulai suatu pekerjaan kemungkinan memang benar. Sepanjang penulis menelaah beberapa kitab hadits atau sejarah tidak ada keterangan Nabi Muhammad saw memulai suatu perbuatan di awali dengan membaca al Fatihah. Namun apakah karena ini membaca al Fatihah menjadi haram ?.
Di dalam ilmu Ushul Fiqh terdapat kaidah lafadz “am” (umum). Para ulama’ Ushul Fiqh sepakat bahwa apabila di dalam al Qur’an terdapat lafadz “am” maka makna yang terkandung di dalamnya harus di arahkan kepada keumumannya, selama tidak ada lafadz yang mentakhsisnya (mengkhususkan lafadz am tersebut). Syaikh Abdul Wahhab Khallaf berkata:
إِذَا وَرَدَ فِي النَّصِّ الشَّرْعِيِّ لَفْظٌ عَامٌّ وَلَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى تَخْصِيْصِهِ وَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى عُمُوْمِهِ وَإِثْبَاتُ الحُكْمِ لِجَمِيْعِ أَفْرَادِهِ قَطْعًا
Artinya: “Apabila di dalam nash syar’i terdapat lafadz am, dan tidak ada dalil yang mentakhsisnya, maka wajib membawa lafadz tersebut kepada keumumannya, serta menetapkan hukum kepada seluruh satuan-satuannya secara qat’i”
Di dalam al Qur’an, Allah swt berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتٰبَ اللّٰهِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur’an) dan melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi” (QS. Al Fatir: 29)
Nabi Muhammad saw juga bersabda:
اقْرَؤُا القُرْآنَ فإِنَّهُ يَأْتي يَوْم القيامةِ شَفِيعاً لأصْحابِهِ
Artinya: “Bacalah al Qur’an, karena kelak ia akan datang dengan memberikan syafa’at kepada pembacanya” (HR. Muslim)
Ulama’ sepakat tentang makna penting yang terkadung di dalam kedua nash syar’i di atas adalah keutamaan membaca al Qur’an. Kapan dan di mana ? Dalam hal ini Allah swt atau pun Rasul_Nya tidak membatasi waktu dan tempat untuk membacanya. Sehingga seandainya dibaca pada saat selesai shalat, ketika sedang bekerja, atau memulai suatu pekerjaan hukumnya tetap sunnah. Baik dibaca di masjid, mushalla, madrasah, di rumah atau di majlis-majlis ilmu tetap hukumnya sunnah. Sebab Allah swt dan Rasul_Nya tidak membatasi kapan dan di mana al Qur’an itu harus dibaca.
Begitu juga membaca surat al Fatihah. Sampai detik ini tidak ada seorang pun yang meyakini surat agung tersebut bukan bagian dari al Qur’an. Semua mengetahui bahwa surat al Fatihah bagian dari al Qur’an. Oleh karena itu, membaca al Fatihah boleh dilakukan kapan saja dan di mana saja, termasuk ketika hendak memulai suatu pekerjaan atau kegiatan. Mana kala Assim al Hakim mengharamkannya, itu berarti syariat dirinya sendiri yang jelas-jelas bertentangan dengan Allah swt dan Rasul_Nya.
Kemudian terkait al Qur’an hanya boleh dibaca pada saat shalat dan ruqyah ini pun bertentangan dengan nalar ulama’ Ushul Fiqh sebagaimana di atas. Di samping itu, ada hadits yang menyebutkan bahwa surat al Fatihah ketika dibaca sambil meletakkan lambungnya ke tempat tidur, maka akan diselamatkan dari kejahatan jin dan manusia. Dalam salah satu riwayat disebutkan;
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا وَضَعَ الْعَبْدُ جَنْبَهُ عَلَى فِرَاشِهِ فَقَالَ: بِسْمِ اللهِ وَقَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ أَمِنَ مِنْ شرِّ الجِنِّ وَالْإِنْسِ وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ
Artinya: “Dari Anas bin Malik ra dari Nabi saw: Bahwasanya ia bersabda: Apabila seorang hamba meletakkan perutnya ke tempat tidur, lalu membaca bismillah dan membaca Fatihatul Kitab, maka ia akan aman dari kejahatan jin, manusia dan lainnya” (HR. Ibn Rajab).
Tentu surat al Fatihah ini dibaca tidak dalam kondisi shalat atau sakit. Tetapi merupakan salah satu keutamaan dari al Fatihah dapat melindungi dari suatu kejahatan.
Para ulama’ dari berbagai bidang ilmu agama juga sepakat tentang kesunnahan mengucapkan amin ketika ada orang yang membaca surat al Fatihah, baik di waktu shalat atau di luar shalat. Salah satunya adalah ibn Hajar al Atsqalani dalam kitab Fathul Bari mengatakan:
وَيُؤْخَذ مِنْهُ مَشْرُوعِيَّة التَّأْمِين لكل من قَرَأَ الْفَاتِحَة سَوَاء كَانَ دَاخل الصَّلَاة أَو خَارِجهَا
Artinya: “Dapat diambil pemahaman dari hadits tersebut tentang disyariatkannya membaca amin bagi setiap orang yang membaca Fatihah, baik di waktu shalat atau di luar shalat”
Pernyataan Ahlul Hadits al Hafidz Ibn Hajar al Atsqalani ini memberi kesan lain bahwa membaca al Fatihah juga sunnah dilakukan di luar shalat. Sehingga juga sunnah mengucapkan amin.
Dari uraian di atas, fatwa Assim al Karim tidak layak digolongkan kepada fatwa yang mu’tabarah yang dapat dijadikan pegangan hidup. Sebab terlalu jauh dari apa yang disampaikan oleh Allah swt, Nabi Muhammad saw dan para ulama’-ulama’ lainnya. Sepertinya apa yang difatwakan oleh Assim al Karim lebih condong kepada syariat baru yang dibuat-buat berdasarkan kemampuan yang sangat terbatas, bukan syariat Islam sebagaimana diketahui secara umum oleh umat Islam. Jadi jelaslah siapa sebenarnya yang ahlul bid’ah.
wallahu a’lam