Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam untuk baginda Rasulullah.
Sahabat fillah, sebagaimana kita ketahui, sudah maklum bahwa umat muslim biasa membacakan Surat al-Fatihah baik untuk kemanfaatan pribadi maupun untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal. Di setiap masjid, mushala, atau pengajian, kita sering mendengar bacaan suarat al-Fatihah yang pahalanya dimohonkan kepada Allah SWT agar bisa sampai kepada orang tua, saudara, atau para pendahulu kita yang sudah meninggal. Bahkan kita pun sering mengguanakan al-Fatihah saat mendoakan orang sakit, berziarah, dan berbagai hal lainnya.
Namun, akhir-akhir ini ada pula sebagian kalangan yang mengatakan bahwa hal demikian adalah haram. Mereka menyebut bahwa bacaan al-Fatihah atau ayat-ayat al-Qur’an lainnya tidak akan menjadi kemanfaatan bagi orang yang meninggal. Sebab hal tersebut tidak akan pernah sampai pada mayit. Dan merupakan suatu perbuatan bid’ah tercela. Hal ini terlalu ekstrim untuk masalah khilafiyah yang sebenarnya sederhana. Bertolak belakang dengan pendapat muslim kebanyakan yang menganggap amaliyah tersebut sebagai sesuatu yang boleh. Dan akan sangat bermanfaat bagi kita serta bagi orang yang sudah meninggal.
Mayoritas ulama sepakat bahwa menghadiahkan pahala shodaqah kepada muslim yang telah meninggal adalah sesuatu yang boleh. Dan pahala tersebut akan sampai kepada mayit serta menjadi kemanfaatan. Sebagaimana sampainya doa dan bacaan. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (7/465) berkata:
“Adapun doa dan shadaqah, maka ini disepakati akan sampai keduanya. Dan telah dicantumkan dalam nash syariat atas keduanya”
Dalam Hadits Abu Hurairah r.a. berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabada:
“Adapun mengenai yang dikisahkan oleh Qadli dari pada qadli Abul Hasan al-Mawardi al-Bashriy al-Faqih asy-Syafi’i di dalam kitabnya (al-Hawiy) tentang sebagian ahli bicara yang menyatakan bahwa mayit tidak bisa menerima pahala setelah kematiannya, itu adalah pendapat yang bathil secara qath’i dan kekeliruan diantara mereka berdasarkan nash-nash al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan (ijma’) umat Islam, maka tidak ada toleransi bagi mereka dan tidak perlu di hiraukan.”
“dan diceritakan oleh mushannif didalam Syarh Muslim dan al-Adzkar tentang suatu pendapat bahawa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit, seperti madzhab Imam Tiga (Abu Hanifah, Maliki dan Ahmad bin Hanbal), dan sekelompok jama’ah dari al-Ashhab (ulama Syafi’iyyah) telah memilih pendapat ini, diantaranya seperti Ibnu Shalah, al-Muhib ath-Thabari, Ibnu Abid Dam, shahib ad-Dakhair juga Ibnu ‘Abi Ishruun, dan umat Islam beramal dengan hal tersebut, apa yang oleh kaum Muslimin di pandang baik maka itu baik disisi Allah. Imam As-Subki berkata : dan yang menujukkan atas hal tersebut adalah khabar (hadits) berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila ditujukan (diniatkan) pembacaannya niscaya memberikan manfaat kepada mayyit dan meringankan (siksa) dengan kemanfaatannya. Apabila telah tsabit bahwa surah al-Fatihah ketika di tujukan (diniatkan) manfaatnya oleh si pembaca bisa bermanfaat bagi orang yang terkena sengatan, sedangkan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam taqrir atas kejadian tersebut dengan bersabda : “Dari mana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah adalah ruqiyyah ?”, jika bermanfaat bagi orang hidup dengan mengqashadkannya (meniatkannya) maka kemanfaatan bagi mayyit dengan hal tersebut lebih utama. Selesai”.
I’anathuth Thalibin lil-Imam al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/258] ;
syafi’iyah berpecah belah hanya karena hal itu, tidak ada kamus yang demikian sekalipun ‘ulama berbeda pendapat, semua harus disikapi dengan bijak. Akan tetapi, sebagian pengingkar tahlilan selalu menggembar-gemborkan adanya perselisihan ini (masalah furu’), mereka mempermasalahkan yang tidak terlalu dipermasalahkan oleh syafi’iyah dan mereka mencoba memecah belah persatuan umat Islam terutama Syafi’iyah, dan ini tindakan yang terlarang (haram) dalam syariat Islam. Mereka juga telah menebar permusuhan dan melemparkan banyak tuduhan-tuduhan bathil terhadap sesama muslim, seolah-olah itu telah menjadi “amal dan dzikir” mereka sehari-hari, tiada hari tanpa menyakiti umat Islam. Na’udzubillah min dzalik. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sangat benci terhadap mereka yang suka menyakiti sesama muslimin. Berikut diantara qaul-qaul didalam madzhab Syafi’iyah yang sering dipermasalahkan : Imam an-Nawawi menyebut didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
“Adapun pembacaan al-Qur’an, yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashabusy syafi’i (‘ulama syafi’iyah) mengatakan pahalanya sampai kepada mayyit, dan pendapat kelompok-kelompok ulama juga mengatakan sampainya pahala seluruh ibadah seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan selain yang demikian, didalam kitab Shahih al-Bukhari pada bab orang yang meninggal yang memiliki tanggungan nadzar, sesungguhnya Ibnu ‘Umar memerintahkan kepada seseorang yang ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan shalat supaya melakukan shalat atas ibunya, dan diceritakan oleh pengarang kitab al-Hawi dari ‘Atha’ bin Abu Ribah dan Ishaq bin Ruwaihah bahwa keduanya mengatakan kebolehan shalat dari mayyit (pahalanya untuk mayyit). Asy-Syaikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad Hibbatullah bin Abu ‘Ishrun dari kalangan syafi’iyyah mutaakhhirin (pada masa Imam an-Nawawi) didalam kitabnya al-Intishar ilaa ikhtiyar adalah seperti pembahasan ini. Imam al-Mufassir Muhammad al-Baghawiy dari anshabus syafi’i didalam kitab at-Tahdzib berkata ; tidak jauh (tidaklah melenceng) agar memberikan makanan dari setiap shalat sebanyak satu mud, dan setiap hal ini izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah qiyas atas do’a, shadaqah dan haji, sesungguhnya itu sampai berdasarkan ijma’.” (Lihat : Syarah Shahih Muslim [1/90])
Juga dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab :
“’Ulama’ berikhtilaf (berselisih pendapat) terkait sampainya pahala bacaan al-Qur’an, maka yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i dan sekelompok ulama syafi’i berpendapat tidak sampai, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, sekelompok ‘ulama serta sebagian sahabat asy-Syafi’i berpendapat sampai. Dan yang dipilih agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam” (Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522] ; al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi hal. 165)
Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni :
“Tahbihun : perkataan mushannif sungguh telah dipahami bahwa tidak bermanfaat pahala selain itu (shadaqah) seperti shalat yang di qadha’ untuknya atau yang lainnya, pembacaan al-Qur’an, dan yang demikian itu adalah qaul masyhur disisi kami (syafi’iyah), mushannif telah menuqilnya didalam Syarhu Muslim dan al-Fatawa dari Imam asy-Syafi’i –radliyallahu ‘anh- dan kebanyakan ulama, pengecualian shahihu Talkhis seperti shalat ketika thawaf ” (Lihat : Mughni Muhtaj lil-Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini (4/110))
Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i didalam penjelasan tafsir QS. An-Najm ayat 39 juga menyebutkan pendapat Imam asy-Syafi’i :
“Dan dari ayat ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah beristinbath (melakukan penggalian hukum), demikian juga orang yang mengikutinya bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai menghadiahkan pahalanya kepada mayyit”. (Lihat : Tafsirul Qur’an al-‘Adzim lil-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i [7/431])
Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Madzhab Syafi’i ada dua pendapat yang seolah-olah berseberangan, yakni ;
Pendapat yang menyatakan pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai, ini pendapat Imam asy-Syafi’i, sebagian pengikutnya ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ‘ulama lainnya) sebagai pendapat masyhur (qaul masyhur).
Pendapat yang menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an, ini pendapat ba’dlu ashhabis Syafi’i (sebagian ‘ulama Syafi’iyah) ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ulama lainnya) sebagai pendapat/qaul mukhtar (pendapat yang dipilih/ dipegang sebagai fatwa Madzhab dan lebih kuat), pendapat ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam lainnya.
PERMASALAHAN QAUL MASYHUR
Pernyataan qaul masyhur bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang mati adalah tidak mutlak, itu karena ada qaul lain dari Imam asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan sebaliknya. Yakni berhubungan dengan kondisi dan hal-hal tertentu, seperti perkataan beliau Imam Syafi’i :
“asy-Syafi’i berkata : aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” (Lihat : Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi)
Juga disebutkan oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibnu ‘Allan dan yang lainnya dalam kitab masing-masing yang redaksinya sebagai berikut :
“Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’an disisi quburnya maka itu bagus” (Lihat : Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya)
Kemudian hal ini dijelaskan oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah dituturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. (Lihat : Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23])
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa:
“dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini (bacaan al-Qur’an disamping mayyit/kuburan) memperkuat pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat masyhur diatas pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak mengiringinya dengan do’a”. (Lihat : al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [2/27])
Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”.(Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74])
Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-Jumal didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul Jumal) mengatakan pula sebagai berikut :
“dan tahqiq bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga. Intahaa”. (Lihat : Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal [2/210])
“(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga bisa sampai kepada mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya, atau menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut pendapat yang kuat (muktamad) tentang hal itu,…. Frasa (adapun pembacaan al-Qur’an –sampai akhir-), Imam Ramli berkata : pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit apabila telah ada salah satu dari 3 hal : membaca disamping quburnya, mendo’akan untuknya mengiringi pembacaan al-Qur’an dan meniatkan pahalanya sampai kepada orang mati.” (Lihat : Ibid [4/67])
Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah:
“Dan yang dipilih (qaul mukhtar) agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam” (Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [293])
“dan pendapat yang dipilih (qaul mukhtar) adalah sampai, apabila memohon kepada Allah menyampaikan pahala bacaannya, dan selayaknya melanggengkan dengan hal ini karena sesungguhnya ini do’a, sebab apabila boleh berdo’a untuk orang mati dengan perkara yang bukan bagi yang berdo’a, maka kebolehan dengan hal itu bagi mayyit lebih utama, dan makna pengertian semacam ini tidak hanya khusus pada pembacaan al-Qur’an saja saja, bahkan juga pada seluruh amal-amal lainnya, dan faktanya do’a, ulama telah sepakat bahwa itu bermanfaat bagi orang mati maupun orang hidup, baik dekat maupun jauh, baik dengan wasiat atau tanpa wasiat”. (Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522])
Al-Imam al-Bujairami didalam Tuhfatul Habib :
“Frasa : (karena sesungguhnya do’a bermanfaat bagi mayyit), walhasil sesungguhnya apabila pahala bacaan al-Qur’an diniatkan untuk mayyit atau di do’akan menyampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an atau membaca al-Qur’an disamping qubur niscaya sampai pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit dan bagi si qari (pembaca) juga mendapatkan pahala”. (Lihat : Tuhfatul Habib (Hasyiyah al-Bujairami alaa al-Khatib) [2/303])
Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri didalam As-Siraaj :
“Bermanfaat bagi mayyit yakni shadaqah mengatas namakan mayyit, misalnya waqaf, dan (juga bermanfaat bagi mayyit yakni) do’a dari ahli warisnya dan orang lain, sebagaimana bermanfaatnya perkara yang dikerjakannya pada masa hidupnya, namun yang lainnya tidak memberikan manfaat seperti shalat dan membaca al-Qur’an, akan tetapi ulama mutakh-khirin menetapkan atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, oleh karena itu sepatutnya berdo’a :
“ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah kami baca kepada Fulan”, bahkan hal semacam ini tidak hanya khusus pembacaan al-Qur’an saja tetapi seluruh amal-amal kebajikan lainnya juga boleh dengan cara memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, dan sesuangguhnya orang yang bershadaqah mengatas namakan mayyit pahalanya tidak dikurangi”. .(Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa Matni al-Minhaj lil-‘Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344])
Dari beberapa keterangan ulama-ulama Syafi’iyah diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaul masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Qur’an dibaca hadapan mayyit termasuk membaca disamping qubur, (Banyak komentar dan anjuran ulama Syafi’iyyah tentang membaca al-Qur’an di quburan untuk mayyit, sebagaimana yang sebagiannya telah disebutkan termasuk oleh al-Imam Syafi’i sendiri. Adapun berikut diantara komentar lainnya, yang juga berasal dari ulama Syafi’iyyah diantara lain : al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz bisyarhi al-Wajiz [5/249] :
“dan sunnah agar peziarah mengucapkan : “Salamun ‘Alaykum dara qaumi Mukminiin wa Innaa InsyaAllahu ‘an qariibi bikum laa hiquun Allahumma laa tahrimnaa ajrahum wa laa taftinnaa ba’dahum”, dan sepatutnya zair (peziarah) mendekat ke kubur yang diziarahi seperti dekat kepada sahabatnya ketika masih hidup ketika mengunjunginya, al-Qadli Abu ath-Thayyib ditanya tentang mengkhatamkan al-Qur’an dipekuburan maka beliau menjawab ; ada pahala bagi pembacanya, sedangkan mayyit seperti orang yang hadir yang diharapkan mendapatkan rahmat dan berkah baginya, Maka disunnahkan membaca al-Qur’an di pequburan berdasarkan pengertian ini (yaitu mayyit bisa mendapatkan rahmat dan berkah dari pembacaan al-Qur’an) dan juga berdo’a mengiringi bacaan al-Qur’an niscaya lebih dekat untuk diterima sebab do’a bermanfaat bagi mayyit”.
Al-Imam Ar-Ramli didalam Nihayatul Muhtaj ilaa syarhi al-Minhaj [3/36] :
“dan (disunnahkan ketika ziarah) membaca al-Qur’an dan berdo’a mengiri pembacaan al-Qur’an, sedangkan do’a bermanfaat bagi mayyit, dan do’a mengiringi bacaan al-Qur’an lebih dekat di ijabah”
Al-‘Allamah Syaikh Zainuddin bin ‘Abdil ‘Aziz al-Malibari didalam Fathul Mu’in [hal. 229] :
“disunnahkan –sebagaimana nas (hadits) yang menerangkan tentang hal itu- agar membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an diatas qubur, kemudian berdo’a untuk mayyit menghadap ke qiblat”
Imam Ahmad Salamah al-Qalyubiy didalam Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah pada pembahasan terkait ziarah qubur :
“frasa (dan –disunnahkan- membaca al-Qur’an) yakni sesuatu yang mudah dari al-Qur’an, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada satu mayyit atau bersamaan ahl qubur lainnya, dan diantara yang telah warid dari salafush shalih adalah bahwa barangsiapa yang membaca surah al-Ikhlas 11 kali, dan menghadiahkan pahalanya kepada ahl qubur maka diampuni dosanya sebanyak orang yang mati dipekuburan itu”.
Syaikh Mushthafa al-Buhgha dan Syaikh Mushthafaa al-Khin didalam al-Fiqhul Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah [juz I, hal. 184] :
“Diantara adab ziarah qubur : apabila seorang peziarah masuk area pekuburan, disunnahkan baginya mengucapkan salam kepada orang yang mati dengan ucapan : Assalamu ‘alaykum dara qaumin mukminiin wa innaa InsyaAllahu bikum laa hiquun”, kemudian disunnahkan supaya membaca apa yang mudah dari al-Qur’an disisi qubur mereka, sebab sesungguhnya rahmat akan diturunkan ketika dibacakan al-Qur’an, kemudian disunnahkan supaya mendo’akan mereka mengiringi bacaan al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala tilawahnya untuk arwah mereka, sebab sesungguhnya do’a diharapkan di ijabah, apabila do’a dikabulkan maka pahala bacaan al-Qur’an akan memberikan manfaat kepada mayyit , wallahu ‘alam.”
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali didalam kitab monumentalnya yaitu Ihyaa’ ‘Ulumuddin [4/492] :
“tidak apa-apa dengan membaca al-Qur’an diatas qubur”) juga sampai apabila meniatkan pahalanya untuk orang mati yakni pahalanya ditujukan untuk orang mati, dan juga sampai apabila mendo’akan bacaan al-Qur’an yang telah dibaca agar disampaikan kepada orang yang mati.
***