Orang kafir memburu kesenangan duniawi karena dianggap mulia, Gambaran remehnya nilai dunia dibanding akhirat digambarkan Nabi seumpama tetesan air yang menempel di jari-jari
MENIRU adalah tabiat manusia. Tidak selamanya meniru itu buruk, tergantung siapa yang ditiru, dalam hal apa dan bagaimana kita meniru.
Ada nasihat orang arif di zaman dahulu, “Tasyabbahu, in lam takuunu mitslahum, fa innat tasyabbaha bil kiraam falaah” (Tirulah orang mulia, kalaupun kamu tidak bisa persis mereka, sesungguhnya meniru orang yang mulia itu adalah keberuntungan).
Persoalannya adalah, terpampang di hadapan manusia banyak sekali pilihan yang memungkinkan untuk ditiru. Dari yang sekaliber dunia, hingga yang tingkatan local, fari yang paling baik, hingga yang paling buruk, dan dari zaman Adam hingga zaman kita sekarang, dari yang berujud sosok perorangan maupun kaum atau golongan.
Pedoman umumnya sama, bahwa semua orang pasti memilih meniru tokoh atau kaum yang dianggapnya mulia, lebih mulia dari posisinya sekarang ini. Hanya saja, penilaian tentang siapa yang mulia dan siapa yang hina berbeda-beda, tergantung dari sisi mana mereka memandang.
Kaca mata dunia
Ketika era generasi sekarang terjangkiti penyakit akut bernama al-wahn (cinta dunia), dengan indikasi hubbud dunya wa karahiyatul maut (gandrung dunia dan takut mati), maka kaca mata duniawi menjadi sudut pandang paling utama. Ukuran mulia adalah kemewahan dan kebebasan dalam mengekspresikan apa yang diinginkan.
Kaum dengan tipe seperti inilah yang hari ini dianggap mulia, untuk kemudian dijadikan sebagai panutan dan idola. Ringkasnya, sekarang banyak yang menjatuhkan pilihannya kepada komunitas Barat untuk ditiru.
Mereka merasa bisa ’nebeng’ mulia apabila bisa mengikuti jejak mereka, mirip dengan mereka atau bahkan sekedar ikut-ikutan dan ’mengcopy-paste’ tradisi mereka. Padahal, mereka adalah representasi dari orang kafir secara umum.
Nabi ﷺ sudah mengingatkan sejak lama dengan sabdanya,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ , حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ قُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ, اَلْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى ؟ قَالَ فَمَنْ ؟
“Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang dhabb (semacam biawak), niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya. Kami (sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan tentang hadits di atas, “Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb dalam hadits ini menggambarkan betapa semangatnya umat ini mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat.”
Karena gandrungnya terhadap Barat, apapun yang berasal dari Barat diadopsi sebagai pegangan dan tradisi. Meskipun berupa perilaku maksiat, maupun pola pikir yang bertentangan dengan syariat.
Pergaulan bebas dengan lawan jenis, kebiasaan minum khamr, nyanyian-nyanyian yang mengobral kata-kata cabul, dandanan yang mengumbar aurat dan pola pikir liberal adalah sebagian produk Barat menu utama yang dikonsumsi umat.
Apalagi, media yang entah memiliki kepentingan sama dengan Barat, atau karena alasan komersil menjadi sarana yang sangat efektif menyebar ’virus’ tasyabbuh (sikup meniru) terhadap budaya Barat.
Lebih hina
Adalah naif, jika kaum muslimin terkesima dan terpesona oleh gegap gempita Barat. Atau menganggap mereka mulia, sehingga dengan suka hati menjadi penerus budaya mereka.
Tidak layak pula kaum muslimin minder, apalagi bersedih lantaran tidak bisa bebas seperti mereka. Karena kemuliaan kita terletak pada keimanan yang kita pegangi, dan kehinaan itu apabila kita tanggalkan ketaatan dan keimanan, lalu menggantinya dengan dosa dan kekafiran.
Bagaimana mungkin kita menganggap orang kafir mulia, sementara Allah menganggap mereka makhluk paling hina;
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ
”Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke naar Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS: al-Bayyinah 6).
Bila ditanya mengapa mereka dianggap hina, akan banyak alasan yang kita temukan dalam ayat-ayat maupun kalam rasul-Nya. Kehinaan suatu kaum bisa ditilik dari rendahnya tujuan dan cita-cita.
Orang-orang kafir itu hina, karena puncak obsesi mereka adalah dunia yang hina, yang paling mereka buru adalah kenikmatan yang fana, tak sebanding dengan kenikmatan akhirat, baik dari sisi kadar maupun masanya.
Allah telah menyingkap ‘goal setting’ yang diimpikan mereka,
فَأَعْرِضْ عَن مَّن تَوَلَّىٰ عَن ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا
ذَٰلِكَ مَبْلَغُهُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ ۚ
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (QS: an-Najm 29-30).
Yakni, memburu kesenangan duniawi adalah obsesi terbesar mereka. Padahal, gambaran remehnya nilai dunia dibanding akhirat digambarkan Nabi ﷺ seumpama tetesan air yang menempel di jari-jari, dibanding seluruh air di samudera, sungguh tak terukur jauhnya selisih antara keduanya.
Karena murahnya dunia di sisi Allah, maka Allah memberikan kekayaan dunia kepada siapapun, tanpa membedakan yang mukmin dan yang kafir, yang dicinta maupun yang dibenci.
Andai saja dunia itu berharga di sisi Allah, tentu Dia hanya akan menganugerahkan kepada orang-orang yang dicintainya saja. Rasulullah ﷺ bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia itu di sisi Allah senilai dengan sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak memberikan minum kepada orang kafir, meski hanya seteguk air.” (HR: Tirmidzi).
Begitu remeh cita-cita orang yang tak beriman. Yang karenanya, sehebat apapun mereka, Allah menganggapnya sebagai kaum yang tidak berakal, tidak memahami dan tidak mengetahui?
Bagaimana mereka jadikan dunia sebagai tujuan akhir hidupnya, sedangkan ujung dari kehidupannya adalah kematian? Boleh jadi ajal datang sebelum mereka sempat menikmati jerih payahnya, selain hanya sedikit saja.
Pun, kenikmatan yang remeh temeh itu harus dibayar dengan penderitaan yang kekal di neraka. Maha Suci Allah yang berrfirman,
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا فِى الۡبِلَادِؕ
مَتَاعٌ قَلِيۡلٌ ثُمَّ مَاۡوٰٮهُمۡ جَهَنَّمُؕ وَ بِئۡسَ الۡمِهَادُ
”Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS: Ali Imran 196 – 197)
Mereka juga menderita
Mungkin sebagian umat Islam yang (mungkin) bangga meniru orang kafir hanya melihat bahwa kehidupan mereka enak-enak saja. Seakan hidup tanpa beban, bersenang-senang dan menyalurkan keinginan sesuka hati.
Padahal, realitanya tak seperti yang mereka duga. Tak ada satupun manusia hidup tanpa pernah menghadapi masalah.
Dimanapun kehidupan, selalu dan pasti ada dua warna, sedih dan gembira, sehat dan sakit, tangis dan tertawa serta kemudahan dan kesulitan. Justru orang yang beriman memiliki nilai sangat lebih dibanding orang-orang kafir, hal ini sesuai janji Allah sendiri.
وَلَا تَهِنُوۡا فِى ابۡتِغَآءِ الۡقَوۡمِ ؕ اِنۡ تَكُوۡنُوۡا تَاۡلَمُوۡنَ فَاِنَّهُمۡ يَاۡلَمُوۡنَ كَمَا تَاۡلَمُوۡنَ ۚ وَتَرۡجُوۡنَ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا يَرۡجُوۡنَ ؕ وَ كَانَ اللّٰهُ عَلِيۡمًا حَكِيۡمًا
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS: An-Nisa’ 104).
Harapan inilah yang menjadi faktor peringan dari beban insan beriman. Harapan untuk mendapatkan ganti yang lebih baik di dunia, pahala yang lebih besar lagi di sisi Allah, dan juga harapan terhapusnya dosa dan kesalahan. Karena sekecil apapun musibah menimpa insan beriman, bisa menghapus dosa-dosanya. Nabi ﷺ bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا سَيِّئَاتِهِ ، كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
”Tiada seorang muslim pun yang ditimpa suatu gangguan, baik karena duri maupun yang lebih berat, kecuali Allah menghapus kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari).
Berbeda dengan mereka. Tak ada alasan yang meringankan, tak ada pula kompensasi di akhirat atas musibah yang dideritanya.
Derita dunia bagi mereka hanyalah ’pendahuluan’ dari siksa yang akan menimpa mereka di akhirat. Maka layakkah kita meniru kaum yang memiliki masa depan begitu suram seperti mereka?
Alangkah indah motto Khalifah Umar bin Khathab, Innaa qaumun a’azzanallahu bil Islam, falan nabtaghil ’izzah bighairihi (Kami adalah suatu kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam, maka kami tidak mengharapkan lagi kemuliaan selain dengannya). Wallahu a’lam.*/Abu Umar Abdillah, Ar-Risalah