Sebelum memperbanyak kuantitas amal, maka seorang muslim perlu memperbaiki dahulu amalannya dari berbagai kebocoran. Hal ini bukan berarti tidak ingin memperbanyak pahala dengan banyak mengerjakan ibadah. Namun maksudnya adalah memperbaiki ibadah dahulu yaitu disertai kesungguhan dalam menghadirkan akal dan interaksi hati saat ibadah. Kemudian setelah itu kita perbanyak sesuai kehendak kita. Maka dengan itu kita mengumpulkan dua perkara dan mendapatkan dua kebaikan.
Justru pahala amal itu terkait kuat dengan kehadiran hati saat mengerjakan ibadah tersebut..
Ibnu Qayyim berkata :
“Setiap perkataan diberikan pahala oleh Allah jika memang layak diberi pahala. Kaidah ini telah benar, seperti perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : “siapa yang suatu hari membaca : subhanallah wa bihamdihi seratus kali dihapuskan baginya kesalahannya dan diampuni dosa-dosanya walaupun seperti buih lautan.” Pahala ini bukan karena perkataan lisan saja.. benar, siapa yang mengucapkannya dengan lisannya dalam keadaan lalai dari maknanya dan berpaling dari merenunginya, hatinya tidak mengikuti lisannya, tidak memahami nilai dan hakikatnya, namun berhadap pahala dengan itu, dihapus baginya kesalahan sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. Sesungguhnya amal tidak ditimbang dengan bentuk dan jumlahnya. Namun ditimbang dengan apa yang ada hati. Maka dua amalan yang sama namun bisa jadi takarannya antara langit dan bumi. Dua orang berada dalam satu saf namun nilai sholatnya antara langit dan bumi.” (Madarijus Salikin, 1/339)
Memahami tujuan ibadah bahwa ibadah adalah sarana yang dibutuhkan untuk menghidupkan hati dengan iman, ia adalah langkah awal mendapatkan hakikat ibadah itu. Dengan memahami hal tersebut, maka akan menghasilkan pribadi yang senantiasa memperbaiki kualitas ibadah.
Maka, ketika sholat tujuan terbesarnya adalah menghadirkan hati dalam sholat. Konskuensinya ia akan bersegera datang ke masjid, tafakkur dengan ayat-ayat yang dibaca, tenang dalam ruku’ dan sujud, banyak berdoa dan khusyu’.
Saat berzikir, dia menghiasi zikir dengan tafakkur, beristighfar dengan terbayang dosa-dosanya dan menganggapnya sebagai aib di sisi Allah, menyesali hari-harinya yang lalu, terbayang keagungan Dzat yang dia langgar perintahnya, tasbihnya diiringi tafakkur akan kehadiran Allah yang Maha Agung Maha Perkasa Maha Pencipta. Sebagaimana Hasan al-Bashri berkata :
إن أهل العقل لم يزالوا يعودون بالذكر على الفكر وبالفكر على الذكر حتى استنطقوا القلوب فنطقت بالحكمة
“Sesungguhnya yang berakal senantiasa dzikirnya membawa fikiran dan fikirannya membawa dzikir sehingga bertanya pada hati, kemudian berbicara dengan hikmah.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/425)
Majdi al-Hilali, Hatta la Nakhsar Ramadhon,hlm 6
Alih Bahasa: Zamroni
Editor: Arju