Dengan semakin modern-nya peradaban, banyak kita jumpai bentuk-bentuk kerusakan akhlak yang semakin mewabah dan merajalela. Perkara jelek yang dulu mungkin tidak bisa kita bayangkan akan terjadi, karena saking buruknya perkara tersebut, sekarang dengan mudah kita jumpai di sekeliling kita.
Di antara bentuk kerusakan akhlak tersebut adalah mencela dan mencaci maki orang tua. Perkara ini, mungkin tidak terbayangkan pada benak orang-orang jaman dahulu. Bagaimana dulu kita diajarkan untuk bersikap patuh, menghormati, dan memuliakan orang tua. Akan tetapi pada jaman sekarang, akhlak luhur tersebut seakan ikut memudar, tergerus oleh perkembangan zaman.
Diriwayatkan dari sahabat ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci maki kedua orang tuanya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang bisa mencaci maki kedua orang tuanya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Benar. Seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain tersebut mencela bapaknya. Dan seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ibunya.” (HR. Muslim no. 90)
Dalam hadits di atas, para sahabat tidak bisa membayangkan bahwa ada anak yang sampai berani mencaci-maki orang tuanya sendiri. Bagaimana tidak, dulu orang Arab rela untuk berperang ketika kehormatan nenek moyang atau orang tua mereka diinjak-injak dan dilecehkan. Mereka rela mengangkat senjata ketika orang lain mencela dan mencaci-maki kehormatan bapak-bapaknya. Lalu bagaimana mungkin anaknya sendiri yang mencela dan mencaci-maki kedua orang tuanya? Sungguh ini perkara yang sangat sulit dibayangkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu, namun mudah kita jumpai pada zaman sekarang ini.
Dalam hadits di atas, tindakan seseorang yang mencela ayah atau ibu orang lain, dinilai sama dengan mencela orang tuanya sendiri. Hal ini karena orang lain tersebut akan membalas dengan mencaci-maki orang tuanya. Jadi, dia sendiri-lah yang menjadi penyebab kedua orang tuanya dicaci-maki. Sehingga meskipun dia tidak mencaci-maki kedua orang tuanya secara langsung, dia tetap dinilai atau disamakan dengan mencaci-maki kedua orang tuanya sendiri.
Hal ini sama dengan larangan untuk mencaci-maki sesembahan kaum musyrikin, karena hal itu akan menyebabkan adanya balasan dari orang-orang musyrikin, yaitu akan membalas dengan mencaci-maki Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah. Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am [6]: 108)
Tindakan yang lebih buruk dari “sekedar”mencaci-maki adalah melaknat kedua orang tua, mendoakan keduanya agar dijauhkan dari rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Tindakan ini juga termasuk dosa besar, karena terdapat ancaman khusus, yaitu dilaknat oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang menyembunyikan (melindungi) penjahat, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, dan Allah melaknat orang yang memindah (menggeser) batas (patok) tanah.” (HR. Muslim no. 1978)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjauhkan kita dari perbuatan tersebut.
[Selesai]
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47198-mencela-dan-mencaci-orang-tua.html