Mayoritas penduduk bangsa Indonesia adalah muslim. Para pejuang yang dahulu memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah bagi bangsa ini pun adalah para ulama Islam dan kaum muslimin. Mereka membangkitkan semangat juang rakyat ini dengan ajaran tauhid dan pekikan “Allahu Akbar!”. Namun ironis, pemikiran, tradisi, dan perilaku bangsa ini, belum benar-benar mencerminkan ajaran Islam seutuhnya. Banyak yang mengaku muslim, tapi pemikirannya kebarat-baratan, tradisi yang dianutnya mengimpor dari luar Islam dan perilakunya malah tidak Islami. Islam di satu kutub, sementara kaum muslimnya seolah di kutub yang lain.
Sebentar lagi, perhelatan besar tahunan akan digelar. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan menyambut tahun baru, yang walaupun sama sekali bukan berasal dari tradisi Islam, selalu sukses menyedot antusiasme kaum muslim di negeri ini. Kemeriahan perayaan yang biasanya digelar pada malam hari tanggal 31 Desember dengan puncak acara tepat pada pukul 00.00 ini tak ayal melibatkan banyak kaum muslim, dari kalangan muda-mudi sampai dewasa.
Konon, 1 Januari ditetapkan sebagai awal tahun oleh orang-orang Romawi pada tahun 45 SM. Hari itu didekasikan oleh mereka untuk mengagungkan Janus, dewa pintu gerbang dan permulaan, dimana bulan pertama dalam kalender masehi (Januari) terambil darinya. Hal ini menunjukkan, bahwa perayaan tahun baru sebetulnya berasal dari tradisi kaum pagan (penyembah berhala). Pada waktu berikutnya, tanggal 1 Januari ditetapkan oleh orang-orang Kristen sebagai hari khitanan Yesus, hari kedelapan setelah kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember. Hal ini masih berlaku di beberapa Gereja, seperti Gereja Angkilan dan Lutheran. Kemudian pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII juga menetapkan 1 Januari sebagai permulaan tahun, bertepatan dengan pesta kehitanan Yesus tersebut. (http://en.wikipedia.org/wiki/New_Year’s_Day).
Dari sejarahnya, jelas bahwa perayaan tahun baru masehi sangat kental dengan tradisi kaum pagan dan umat Kristiani. Namun apa lacur, setiap tahunnya kaum muslim di negeri ini seolah berlomba-lomba memeriahkan acara pergantian tahun tersebut, berpesta pora layaknya hari kemenangan bagi mereka. Hal ini seolah menggambarkan, bahwa jati diri kaum muslim sebagai umat terbaik, telah luntur dalam dada-dada mereka. Tradisi non-muslim yang seharusnya dijauhi, sebagai bagian dari sikap baro` (berlepas diri), malah dengan suka cita dan kekhusuan mereka ramaikan. Padahal Nabi Islam, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti, agar umatnya tidak melakukan imitasi terhadap tradisi dan kebiasaan kaum mana pun. Beliau menyatakan dengan keras, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR Ahmad dan Abu Dawud, dinilai shahih oleh Al Albani)
Fenomena yang terjadi pada diri kaum muslim seperti ini, telah diproyeksi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 14 abad silam, “Sungguh kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, hingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, kamu pun akan mengikutinya.” Mereka bertanya, “Apakah Yahudi dan Nashrani?” beliau bersabda, “Siapa lagi?” (HR Muslim).
Dalam hadis yang lain, “Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga umatku mengikuti kebiasaan orang-orang terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seperti orang-orang Persia dan Romawi?” beliau menjawab, “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR Bukhari).
Melalui fenomena perayaan tahun baru, kita bisa menyimpulkan, bahwa banyak kaum muslim di negeri ini sepertinya kehilangan jati diri mereka sebagai umat Islam. Untuk itu, perlu diupayakan dengan serius oleh para da’i dan tokoh Islam di negeri ini, untuk membangun kembali jati diri mereka sebagai muslim. Berikut adalah diantara cara membangun kembali jati diri muslim tersebut:
Pertama: menyadarkan kembali kaum muslim tentang arti hidup mereka di dunia ini, yaitu untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla (QS. Adz- Dzariyat: 56). Sebagai makhluk yang dicipta dan dikarunia rupa-rupa nikmat di dunia ini oleh Allah, sudah seharusnya mereka hidup di jalan-Nya, mengikuti pedoman-Nya dan berbuat semata-mata untuk mencari keridhaan-Nya.
Kedua: menjelaskan kembali arti penting keimanan dan keyakinan mereka sebagai muslim. Kaum muslim harus benar-benar faham, bahwa iman dan keyakinan itulah yang kelak akan menyelamatkan mereka di hari kemudian. Dari sini akan muncul kecintaan kepada iman itu sendiri, yang konsekwensinya adalah kebencian terhadap segala yang bertentangan dengan keimanan itu.
Ketiga: membangkitkan kembali ghairah Islam pada diri mereka. Kaum muslim harus memiliki kecemburuan (ghairah) pada hal-hal yang tidak sejalan dengan agamanya. Kaum muslim harus memiliki semacam sinyal pengingkar, terhadap segala fenomena yang bertentangan dengan ajaran agamanya yang ia saksikan dihadapannya, walau pun hanya sebatas dalam hati.
Keempat: menguatkan kembali kepercayaan mereka terhadap ajaran Islam yang paripurna. Kaum muslim harus percaya dengan sepenuhnya, bahwa agama ini telah sempurna (QS. Al Maidah: 3). Agama ini bukan sekedar ritual-ritual ibadah yang bersifat privat, namun juga mengandung nilai-nilai dan sejumlah aturan dalam aspek-aspek hidup manusia yang bersifat umum. Ajaran Islam ini cukup sempurna untuk membangun peradaban manusia yang maju dan menjamin kebaikan hidup mereka di dunia ini, sebelum di akhirat kelak.
Kelima: menjelaskan kembali kepada mereka ancaman-ancaman yang dihadapi kaum muslim di seluruh dunia saat ini. Terutama yang datang dari orang-orang kafir, khususnya orang-orang Yahudi dan Nashrani. Hal ini seperti yang telah Allah peringatkan dalam al Qur`an (QS. Al Baqarah: 120), juga Rasulullah peringatkan seperti dalam hadis diatas.
Keenam: meyakinkan kembali kaum muslim tentang janji kemenangan yang Allah janjikan, jika mereka benar-benar beriman dan berpegang teguh terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya. Hendaknya mereka tidak berputus asa dan merasa kerdil dihadapan orang-orang kafir yang saat ini memang lebih dominan dibandingkan kaum muslim. Kejayaan mereka seharusnya tidak menyilaukan kaum muslim dan merontokkan keyakinan mereka terhadap janji-janji Allah.
Ketujuh: menampilkan secara intens kepada mereka contoh dan prototype kehidupan yang seharusnya mereka teladani dalam kehidupan ini, utamanya sosok Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, Nabi pemilik akhlak yang agung dan pemimpin dunia yang tegas. Setelah itu para sahabat beliau ridhwanullah ‘alaihim, generasi istimewa yang terdidik dalam asuhan nubuwwah, tempaan jihad dan pengajaran iman secara langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu para salaf shaleh setelah mereka, kemudian para ulama rabbani yang sungguh-sungguh dalam keislaman mereka hingga saat ini.
Cara-cara diatas tentu akan tidak mudah dijalani, namun begitulah garis perjuangan, selalu membutuhkan upaya dan kerja keras, serta doa yang tak putus-putus untuk tetap dipanjatkan kepada Pemilik hidayah. Wallahu a’lam.
—
Penulis: Ust. Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24045-menemukan-jati-diri-yang-hilang-sebuah-refleksi-dari-perayaan-tahun-baru-masehi.html