tafsir

Mengapa Kita Memerlukan Tafsir untuk Memahami Al-Qur’an?

Allah Swt menurunkan kitab suci al-Qur’an sebagai pedoman agar umat manusia menjadi lebih berbudi dan berbudaya. Hal ini bisa kita saksikan dari banyak ayat yang menegaskan fungsi al-Qur’an bagi perubahan sosial, misalnya firman Allah yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan sebagai cahaya (Lihat Q.S. 4:174), penyembuh (Lihat Q.S. 17:82), pengarah (Lihat Q.S. 2:185) dan solusi manusia keluar dari kebodohan (Lihat Q.S. 14:1). Mengapa kita memerlukan tafsir untuk memahami Al-Qur’an?

Al-Qur’an, sebagai kitab yang berisi tuntunan manusia, untuk mencapai tujuannya yang purna, dibutuhkan penyertaan penjelasan ulama atas ayat-ayat yang ada di dalamnya. Tak bisa dipungkiri, bahwa dalam ayat al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang samar yang membutuhkan penjelasan ahli. Hal ini baik dikarenakan keterbatasan kita memahami istilah khusus yang dipakai al-Qur’an, keterbatasan kita menyingkap makna yang terkandung dalam al-Qur’an hingga kealpaan kita atas latarbelakang turunnya ayat al-Qur’an yang sangat penting dalam menghadirkan pemahaman yang utus atas satu tafsir.

Atas dasar itu, KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi yang akrab disapa dengan Gus Awis, pakar kajian keislaman di Indonesia, membuat pembahasan menarik perihal alasan-alasan mengapa kita membutuhkan tafsir untuk menjelaskan makna al-Qur’an?

Dalam kitab karangannya berjudul Ilm al-Tafsir : Ushuluhu wa Manahijuhu, kitab yang memuat kajian ilmu tafsir yang disajikan dengan bahasa mudah guna menyesuaikan pelajar Indonesia,  KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi menyebutkan bahwa ada 4 hal yang menguatkan perlunya kita mengakses kitab tafsir al-Qur’an dalam memahami ayat-ayat al-Quran.

Pertama adalah karena dalam tafsir al-Qur’an terdapat satu perangkat jitu menghadirkan pemahaman ayat yang komprehensif berupa ilmu sabab nuzul. Ilmu Sabab Nuzul adalah cabang disiplin keillmuan al-Qur’an yang membantu seseorang memahami ayat dengan utuh. Sabab Nuzul meniscayakan seseorang melacak horizon historitas turunnya ayat al-Qur’an demi melahirkan pemahaman yang komprehensif. Jika seseorang mengalami kebuntuan dalam menganalisa makna ayat, di mana seseorang hanya dimodalkan sepenggal ayat semata, maka sabab nuzul menjadi solusi menerangi makna ayat tersebut.

Sebagai contoh adalah firman berikut :

وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْاۗ حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوْٓا اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِۗ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ ࣖ

Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Q.S. 9:118)

Dengan merujuk kepada Sabab Nuzul, terurai makna siapakah ketiga orang yang dimaksud oleh ayat di atas dan apa sebabnya. Tidak ada kesamaran atasnya.

Quraish Shihab (2002:273) menjelaskan bahwa ketiga orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Ka’ab bin Malik, Hilla bin Umayyah, dan Mararah bin Rabi’. Ketiganya diperintahkan untuk diboikot oleh Rasulullah Saw lantaran mereka tidak mengikuti perang Tabuk pada tahun 8 H. Rasulullah Saw melarang warga dan isteri ketiga orang tersebut untuk berinteraksi dengan mereka. Namun, sering berjalannya waktu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah agar mengampuni mereka. Informasi seperti ini didapat hanya jika kita menelaah riwayat Sabab Nuzul ayat terkait.

Kedua adalah karena dalam al-Qur’an terdapat banyak hal yang bersifat mujmal, global. Contohnya adalah mengenai seruan penegakan shalat, penunaian zakat, puasa dan lain sebagainya. Seruan yang ada di dalam al-Qur’an bersifat sangat global. Sebagai contoh, dalam al-Qur’an hanya ada seruan kewajiban mendirikan shalat, namun perihal bagaimana cara shalat, syarat dan rukun shalat, hal-hal yang membataskan shalat, tidak disebutkan dalam al-Qur’an.

Adalah lewat tafsir al-Qur’an, dengan diperbantukan dalil-dalil berupa amaliyah Nabi yang terhimpun dalam hadis-hadis, dijelaskan rincian mengenai amaliyah ibadah shalat. Hal ini yang kemudian menjadikan argumen inkarussunnah, menurut Abdul Majid Khon, cendekiawan keislaman, tidak relevan untuk diterapkan. Ajaran al-Qur’an yang bersifat global tidak bisa dipahami secara sempurna jika meninggalkan otoritas sunnah sebagai penjelasnya. (2012:72)

Ketiga adalah karena di dalam al-Qur’an terdapat ayat mutasyabihat, ayat yang masih belum jelas maknanya, yang memunculkan kemungkinan beberapa pemahaman yang terkandung di dalamnya. Hal ini, menurut Gus Awis, hanya bisa dipahami dengan menyandingkannya kepada ayat-ayat muhkamat, ayat yang terang benderang maknanya.

Allah berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ  اِلَّا اللّٰهُ

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. (Q.S. 3:7)

Keempat adalah karena proses turunnya al-Qur’an yang berangsur-angsur. Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, salah satunya, adalah untuk menguatkan dan menghibur hati Nabi Muhammad Saw.

Allah berfirman :

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (Q.S. 16:44)

Perintah Allah agar kepada Nabi Muhammad agar menjelaskan makna ayat (litubayyina) tentu lebih dari sekadar perintah-Nya untuk membacakan ayat semata (litaqra’a). Hal ini yang menjadi embrio lahirnya tafsir.

Proses turunnya al-Qur’an yang bertahap meniscayakan keterpisahan ayat-ayat tentang satu tema di beberapa surat berbeda. Hal ini bisa kita jumpai saat mufassir menjelaskan makna ayat dengan menyandingkan beberapa ayat tematis demi melahirkan pemahaman yang komprehensif. Selain itu, proses turunnya ayat al-Qur’an yang berangsur-angsur juga meniscayakan satu topik pembahasan yang terangkum di kumpulan beberapa ayat, dalam satu himpunan, yang saling berkaitan.

Terkait otoritas tafsir ulama atas ayat-ayat al-Qur’an, Musaid bin Sulayman al-Thayyar, penulis kitab Fushulun fi Ushul al-Tafsir (hal. 12) menjelaskan bahwa mempelajari dan memahami tafsir adalah wajib bagi setiap orang. Hal ini juga sebagaimana ditegaskan oleh KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi dalam Ilm al-Tafsir : Ushuluhu wa Manahijuhu (hal. 4)

Tafsir, menurut Gus Awi, jika dilihat dari sumber refrensinya, terdiri dari dua bagian. Pertama adalah tafsir yang memperbantukan ayat sebagai penjelas ayat lainnya. Kedua adalah tafsir yang memperbantukan hadis atau sunnah sebagai penjelas makna ayat. Selain keduanya, tentu ungkapan ulama, temuan sains, nalar mumpuni juga menjadi penyokong lahirnya tafsir yang bernas.

Terakhir, mengapa merujuk kepada tafsir menjadi hal penting dalam memahami al-Qur’an? Karena dengan kita merujuk kepada orang yang berkompeten dalam bidangnya, kita akan terselamatkan dari kesalahpahaman. Keragaman bentuk tafsir juga membentuk kesadaran kita untuk berlaku moderat, bagaimanapun, ragamnya penafsiran membuktikan bahwa kebenaran tidak hanya milik suatu golongan tertentu.

BINCANG SYARIAH