Para ulama membagi perkara yang wajib menjadi beberapa tinjauan. Ada wajib muwassa’ dan wajib mudhayyaq; ada wajib ‘ain dan wajib kifayah; ada wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar; dan ada pula wajib muqaddar dan ghairu muqaddar. Dalam tulisan singkat ini, akan kami sebutkan terlebih dahulu perbedaan antara wajib muwassa’ dan wajib mudhayyaq.
Pengertian Wajib Muwassa’
Muwassa’ kurang lebih artinya “sesuatu yang longgar”. Artinya, pada waktu kewajiban tersebut sudah berlaku, seorang mukallaf masih memiliki kelonggaran apakah melaksanakan kewajiban yang sudah tertentu tersebut atau melaksanakan ibadah lainnya yang sejenis.
Contoh Wajib Muwassa’
Contoh wajib muwassa’ adalah shalat wajib lima waktu. Pada waktu shalat zhuhur, seseorang memiliki kelonggaran, apakah langsung mendirikan shalat zhuhur ataukah mendirikan shalat sunnah terlebih dahulu. Demikian pula untuk waktu shalat wajib yang lain, seseorang memiliki kelonggaran apakah langsung mendirikan shalat wajib tersebut atau mendirikan shalat sunnah rawatib atau shalat sunnah yang lain (misalnya, shalat tahiyyatul masjid) terlebih dahulu.
Namun, jika waktu shalat hampir habis, dan hanya cukup untuk shalat wajib, maka dalam kondisi ini, dia hanya boleh shalat wajib, bukan shalat sunnah.
Contoh yang lain adalah kewajiban membayar hutang puasa Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman,
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)
Seseorang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena alasan (udzur) syar’i, seperti sakit, safar, haidh, nifas, atau yang lainnya, maka dia wajib membayar hutang puasa Ramadhan tersebut (baca: qadha’) di luar bulan Ramadhan. Akan tetapi, kewajiban qadha’ ini adalah wajib muwassa’, karena dia boleh meng-qadha’ di waktu kapan pun sepanjang tahun tersebut. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ
“Dulu aku pernah memiliki hutang puasa Ramadhan, dan aku tidak mampu meng-qadha’-nya kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim 1146)
Meskipun demikian, dianjurkan untuk bersegera membayar hutang puasa Ramadhan tersebut dalam rangka bara’atu adz-dzimmah (yaitu, segera menggugurkan kewajiban).
Contoh wajib muwassa’ yang lain adalah birrul walidain, yaitu berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua.
Pengerttian Wajib Mudhayyaq
Mudhayyaq kurang lebih artinya “sesuatu yang sempit”. Sehingga maksud dari wajib dari mudhayyaq adalah seorang muslim tidak memiliki pilihan lain kecuali harus melaksanakan ibadah tersebut saja, dan tidak boleh melaksanakan ibadah lain yang sejenis.
Contoh Wajib Mudhayyaq
Contohnya adalah puasa Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, seorang mukallaf hanya boleh berpuasa Ramadhan, dia tidak boleh meniatkan puasa yang lain, baik puasa sunnah, puasa sunnah, atau yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
[Bersambung]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Referensi:
Disarikan dari kitab Ghaayatul Ma’muul fi Syarhi Al-Bidaayah fil Ushuul, hal. 71-75 (penerbit Daar Ibnu Rajab, cetakan pertama tahun 1433)
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53880-mengenal-pembagian-perkara-wajib-bag-1.html