Beribadah kepada Allah Ta’ala merupakan hikmah penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Sehingga, seorang mukmin hendaklah mengetahui bagaimanakah prinsip-prinsip menegakkan ubudiyyah (penghambaan) kepada Allah Ta’ala dengan benar. Dalam tulisan singkat ini, akan dibahas prinsip-prinsip dasar penegakan ubudiyyah yang perlu diketahui oleh seorang muslim.
Jenis-jenis ubudiyyah
Pertama, ubudiyyah ‘ammah (ubudiyyah yang bersifat umum). Ubudiyyah ini bermakna “ketundukan”, dan meliputi semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, baik berakal ataupun tidak, baik yang ada di daratan maupun di lautan, baik yang mukmin ataupun yang kafir. Semuanya adalah makhluk yang tunduk dengan takdir dan pengaturan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (QS. Maryam: 93)
Kedua, ubudiyyah khashshah (ubudiyyah yang bersifat khusus). Yang dimaksud ubudiyyah khusus adalah aktivitas peribadatan yang dilakukan oleh hamba yang beriman (mukmin) saja dengan terpenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang akan dijelaskan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلاَّ مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr: 42)
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya?” (QS. Az-Zumar: 36)
Pengertian ibadah
Secara bahasa, ibadah berarti “merendahkan diri” atau “tunduk”. Adapun definisi secara syar’i, yang paling bagus adalah definisi yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, yaitu “suatu istilah yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang lahir maupun yang batin.” (Majmu’ Al-Fataawa, 10: 149)
Contoh perkataan lahiriyah adalah berbagai macam ibadah lisan, seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, mengucapkan tasbih, tahlil, atau membalas ucapan salam.
Contoh perkataan batin adalah berbagai ucapan hati, seperti yakin dan membenarkan (tashdiq).
Contoh perbuatan (amal) lahiriyah adalah salat, puasa, zakat, dan menunaikan nazar.
Contoh perbuatan (amal) batin adalah berbagai macam amalan hati, seperti rasa takut (al-khauf), rasa harap (ar-raja’), dan rasa cinta (al-mahabbah).
Rukun ibadah
Setiap ibadah yang kita lakukan kepada Allah Ta’ala, harus memenuhi tiga rukun ini, yaitu:
Pertama, adanya rasa cinta (al-mahabbah)
Maksudnya, kita beribadah karena didorong oleh rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Rasa cinta ini adalah ruh ibadah. Setiap kali rasa cinta kepada Allah Ta’ala menggerakkan seorang hamba untuk beribadah kepada-Nya, maka akan semakin dekat dengan keikhlasan. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Kedua, adanya rasa harap (ar-raja’)
Maksudnya, kita beribadah kepada Allah Ta’ala dengan mengharap pahala dan balasan dari Allah Ta’ala, juga berharap rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala. Rasa harap ini juga menuntun seorang hamba untuk meraih keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra’: 57)
Ketiga, adanya rasa takut (al-khauf)
Maksudnya takut kepada Allah Ta’ala, sehingga seorang hamba bisa menghindarkan diri dari perbuatan maksiat. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Isra’ ayat 57 yang telah disebutkan di atas.
Tiga rukun ibadah ini harus menyertai aktivitas ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba. Seorang hamba tidak boleh beribadah kepada Allah Ta’ala hanya karena rasa cinta saja, atau karena rasa takut saja, atau hanya karena rasa harap saja. Akan tetapi, ketiga rukun ibadah ini harus hadir dalam diri seseorang ketika beribadah kepada-Nya.
Ulama salaf mengatakan, “Siapa saja yang beribadah kepada Allah hanya karena rasa cinta saja, itulah orang-orang zindiq. Siapa saja yang beribadah kepada Allah hanya karena rasa harap saja, itulah orang-orang murji’. Siapa saja yang beribadah kepada Allah hanya karena rasa takut saja, itulah orang-orang haruri. Dan siapa saja yang beribadah kepada Allah karena rasa cinta, takut, dan berharap, itulah seorang mukmin yang mentauhidkan Allah Ta’ala.” (Al-‘Ubudiyyah, hal. 112)
Dua syarat diterimanya ibadah
Setelah memahami rukun-rukun ibadah, maka perlu diketahui ada dua syarat agar ibadah itu diterima di sisi Allah Ta’ala.
Pertama, ikhlas.
Yaitu, menujukan ibadah tersebut hanya kepada Allah Ta’ala saja, tidak ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amal, kecuali amal yang ikhlas ditujukan hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 3)
Allah Ta’ala juga berfirman,
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي
“Katakanlah, “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar: 14)
Kedua, mutaba’ah.
Yaitu, mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menjalankan tata cara ibadah kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) ini yang bukan dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Oleh karena itu, suatu amal tidak akan teranggap kecuali jika dilaksanakan dengan ikhlas dan mengikuti sunah (tuntunan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Amal yang dilakukan dengan ikhlas dan benar (sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) inilah yang merupakan amal terbaik sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Tentang ayat di atas, Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah berkata,
أخلصُه وأصوبُه . وقال : إنَّ العملَ إذا كان خالصاً ، ولم يكن صواباً ، لم يقبل ، وإذا كان صواباً ، ولم يكن خالصاً ، لم يقبل حتّى يكونَ خالصاً صواباً ، قال : والخالصُ إذا كان لله – عز وجل – ، والصَّوابُ إذا كان على السُّنَّة
”(Yaitu amal) yang paling ikhlas dan paling benar”. Beliau rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya apabila suatu amalan sudah dilakukan dengan ikhlas, namun tidak benar, maka amalan tersebut tidak diterima. Dan apabila amalan tersebut sudah benar, namun tidak ikhlas, maka amalan tersebut juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Ikhlas jika ditujukan kepada Allah Ta’ala, dan benar jika sesuai dengan sunnah (tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 72)
Dua syarat diterimanya ibadah ini terkumpul dalam firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
“Amal saleh” dalam ayat di atas adalah dengan mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” adalah ikhlas. Wallahu Ta’ala a’alam.
***
@Rumah Kasongan, 30 Rajab 1443/ 3 Maret 2022
Penulis: M. Saifudin Hakim
Sumber: https://muslim.or.id/72922-mengenal-prinsip-prinsip-ubudiyyah.html