galau

Mengobati Kegalauan (Bag. 2)

Upaya meneladani Rasul dan orang saleh, menjadikan mereka sebagai teladan

Para Rasul adalah orang-orang yang paling berat ujiannya di dunia. Beratnya ujian seorang hamba sesuai dengan kadar agamanya. Apabila Allah Ta’ala mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberinya ujian. Sa’ad Radhiyallaahu‘anhu bertanya kepada Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasallam,

فقال: يا رسولَ اللهِ أيُّ النَّاسِ أشدُّ بلاءً قالَ الأَنبياءُ ثمَّ الأَمثلُ فالأَمثلُ ؛ يُبتلَى الرَّجلُ علَى حسَبِ دينِهِ ، فإن كانَ في دينِهِ صلبًا اشتدَّ بلاؤُهُ ، وإن كانَ في دينِهِ رقَّةٌ ابتليَ علَى قدرِ دينِهِ ، فما يبرحُ البلاءُ بالعبدِ حتَّى يترُكَهُ يمشي علَى الأرضِ وما علَيهِ خطيئةٌ.

“Dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?’ Rasulullah menjawab, ‘Para nabi, kemudian orang-orang yang di bawahnya, kemudian orang-orang yang di bawahnya. Seseorang akan diuji menurut kadar agamanya (keimanannya). Jika agamanya kuat, maka musibahnya semakin keras. Jika agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya itu. Musibah terus menerus menimpa seorang hamba hingga dia berjalan di muka bumi tanpa ada kesalahan’” (HR. Tirmidzi no.2398, beliau mengatakan: ini adalah hadis hasan sahih).

Saat hati sedih dengan kejadian yang menimpa, hendaknya senantiasa mengingat kisah para Rasul dan orang-orang saleh. Para Rasul mengalami kesedihan yang jauh lebih besar dibandingkan kita. Bagaimana dahulu Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wasallam dilempari batu, Nabi Ibrahim Alaihissalaam akan dibakar di atas kayu, Nabi Nuh Alaihissalaam yang dianggap orang dungu dan seterusnya. Begitu juga dengan penderitaan yang dialami oleh orang-orang saleh, seperti para sahabat. Betapa beratnya penderitaan dan perjuangan yang dialami Bilal bin Rabbah, Humamah, Sumayyah binti Khayyath, Ammar bin Yasir, Khabbab bin Al Arrat,  Mush’ab bin Umair dan seterusnya. Dimanakah kita di antara mereka Radhiyallaahu‘anhum?!

Menjadikan akhirat sebagai orientasi

Disebutkan dalam sebuah hadis dari Anas Radhiyallaahu‘anhu,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  مَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ

“Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai orientasi hidupnya, Allah akan letakkan kekayaan di hatinya, Allah mudahkan urusannya dan dunia mendatanginya dalam keadaan hina. Sebaliknya, siapa saja yang dunia menjadi orientasi hidupnya Allah akan meletakkan kefakiran di antara kedua matanya. Allah akan cerai beraikan urusannya dan dia tidaklah mendapatkan dunia kecuali sebesar yang Allah takdirkan untuknya’” (HR. Tirmidzi no. 2389, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ no. 6510).

Ibnu Qoyyim Rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang menjumpai waktu pagi dan petang dalam keadaan tidak ada yang dipikirkannya kecuali Allah semata, maka Allah menanggung dan memikul semua hajatnya, dan Allah bersihkan dari dirinya segala sesuatu yang menyusahkannya, Allah kosongkan hatinya sehingga hanya mencintai Allah, Allah kosongkan lisannya sehingga hanya untuk berzikir kepada Allah, Allah kosongkan badannya sehingga hanya untuk beribadah kepada Allah. Namun jika seseorang berada di waktu pagi dan petang dalam keadaan dunialah yang dia pikirkan, maka Allah bebankan kepadanya kegalauan, kecemasan, dan kesusahan dunia, serta Allah pasrahkan dia pada dirinya sendiri. Allah sibukkan hatinya dari mencintai Allah kepada mencintai makhluk, Allah sibukkan lidahnya dari mengingat Allah kepada mengingat makhluk, Allah sibukkan badannya dari ketaatan terhadap Allah kepada kekhidmatan dan kesibukan terhadap makhluk” (Al Fawaid, hal.159).

Orang yang orientasinya akhirat akan fokus dengan bekal untuk kehidupan abadinya. Dia akan merasa cukup dengan yang Allah Ta’ala berikan kepadanya tanpa iri dengki kepada orang lain. Dia tidak akan galau dengan sedikitnya harta yang dimilikinya dibandingkan harta kawannya. Dia pun tidak cemas saat orang lain memberikan penilaian buruk terhadapnya karena penilaian manusia tersebut tidak akan mempengaruhi penilaian Allah Ta’ala terhadapnya.

[Bersambung]

Disarikan dari kitab ’Ilaajul Humum, karya Syekh Muhammad Shalih Al Munajid  Hafidzahullahu Ta’ala.

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67270-mengobati-kegalauan-bag-2.html