Beberapa waktu lalu, percakapan tentang genealogi habaib di Indonesia begitu viral. Lebih dari itu, fenomena nasab ini memicu pro dan kontra, bahkan menimbulkan ketegangan. Bahkan, ada yang sampai ada usulan tes DNA untuk memastikan nasab mereka bersambung ke Rasulullah.
Terlepas dari itu semua, tulisan ini hanya akan mengulas, apakah tes DNA tepat digunakan sebagai sarana ilhaq al nasab (penentuan nasab) dalam fikih.
Dalam khazanah fikih klasik, ilhaq al nasab dapat dilakukan dengan dengan beberapa cara.
Pertama, melalui persetubuhan melalui nikah yang sah maupun fasid (tidak sah). Kedua, dengan cara pengakuan nasab. Ketiga, pembuktian lewat persaksian, dan keempat dengan melakukan pencarian dengan perantara qa’if (dukun nasab).
Hirarki dari empat tahapan di atas dipandang cukup untuk menentukan nasab seseorang. Artinya, beberapa metode di atas telah cukup untuk membuktikan nasab seseorang tanpa harus melakukan tes DNA.
Penjelasan ini sebagaimana termaktub dalam kitab Tamlikah al Majmu’ (7/410), Mughni al Muhtaj ila Ma’rifati alfadz al Minhaj (Maktabah Dar al Fikr; 3/304).
Sebagian pendapat mengatakan, jika tiga tahapan pertama sampai ketiga tidak tercapai, ilhaq nasab bisa dilakukan dengan tes DNA. Dengan catatan, tes DNA dilakukan oleh para ahli tanpa manipulasi (Mughni al Muhtaj ila Ma’rifati alfadz al Minhaj (7/32).
Dengan demikian, tes DNA bisa dijadikan media untuk menentukan nasab seseorang, seperti menentukan ayah kandung maupun anak kandung. Bahkan, menurut saya tes DNA lebih tingkat validitas lebih bisa dipertanggungjawabkan mengingat perkembangan dunia media modern begitu canggih.
Penentuan nasab dengan tes DNA lebih akurat dari pada hanya bermodal klaim tanpa bukti medis. Klaim nasab potensi kesalahannya lebih besar dari pada tes DNA. Oleh karena itu, jika saat ini ada sengketa seseorang anak siapa, atau mengaku sebagai keturunan seseorang, tes DNA menjadi alternatif paling efektif.