Mengutamakan Ibu Kita

INILAH penuturan Abu Hurairah r.a. Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasul Allah, siapakah yang lebih berhak aku berbakti kepadanya dengan baik?”

Rasulullah berkata, “Ibumu.”

Dia berkata, “Lalu siapa lagi?”

“Ibumu,” kata Rasulullah.

Dia berkata, “Kemudian siapa?”

Rasulullah menjawab, “Ibumu.”

Dia berkata, “Lantas siapa lagi?”

Rasulullah Saw menjawab, “Ayahmu” (H.r. Bukhari dan Muslim).

Ada pelajaran dari hadis ini. Seorang ibu memiliki keutamaan untuk kita taati dan kita limpahi kebajikan, tiga kali lebih besar daripada seorang bapak. Tidak ada yang lebih utama untuk kita penuhi panggilannya, kita dengar nasihatnya dan kita limpahi perbuatan baik di dunia ini kecuali ibu. Bahkan andaikata ibu yang melahirkan kita belum beriman kepada Allah, maka kita tetap harus berbuat kepadanya.

Keharusan untuk berbuat baik kepada ibu yang melahirkan kita, betapapun ia belum beriman kepada Allah misalnya, bukan karena mengikuti nilai kepatutan yang ada di masyarakat. Bukan. Tetapi sebagai wujud ketaatan kita kepada Allah ‘Ázza wa Jalla, karena tidaklah kewajiban berbuat baik itu datang melainkan dari Allah Yang Maha Menciptakan. Ini bukan berarti mengharuskan kita taat kepada apa pun yang diperintahkan oleh orangtua kita, dalam hal ini ibu, melainkan berbuat baik dan menjaga diri dari perkataan yang menyakitkan hati. Apalagi jika lebih dari itu.

Sesungguhnya ketaatan kepada manusia itu hanyalah dalam perkara-perkara yang membawa ketaatan kepada Allah, atau dalam perkara yang tidak menyalahi perintah dan larangan-Nya. Begitu seorang ibu menyuruh kita berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka kita tidak boleh menaati perintahnya dalam perkara tersebut. Itu pun tetap harus dengan cara yang baik. Larangan untuk mentaati perintah yang melanggar aturan Allah tetap harus berjalan seiring dengan kewajiban berbuat baik kepada orangtua, khususnya ibu. Artinya, kita tidak berkata kasar, tidak membentak, tidak berbuat yang menyakitkan hati dan kalau sekiranya perlu menyampaikan penolakan, haruslah dengan perkataan yang mulia.

Seberapa jauh kita harus berbuat baik kepadanya? Sejauh yang kita sanggup. Sesungguhnya, betapa pun kita telah berusaha untuk membalas sedikit saja dari kebaikan ibu yang membesarkan kita tanpa meminta balasan, tak akan dapat menebus kemuliaannya sedikit pun. Setiap kali kita bernafas, maka dalam setiap hembusan nafas itu ada kasih-sayang, kemuliaan dan keutamaan ibu yang mengaliri darah dan hidup kita.

Tidaklah kita bisa berdiri dengan tegak, bernafas dengan baik dan memiliki jiwa yang kokoh, kecuali karena tulusnya cinta ibu kita. Kalaupun terkadang harus ada airmata yang jatuh saat mengasuh kita di waktu kecil, itu bukan karena ia tidak ikhlas mengasuh.

Tidak. Tetapi airmata itu kadang jatuh justru untuk mempertahankan keikhlasan, agar penatnya berjaga di waktu malam tidak membuatnya merutuki kita dengan keluh kesah panjang.

Sesungguhnya, satu malam kasih-sayang seorang ibu kepada kita, tak akan pernah sanggup kita tebus dengan hadiah yang paling indah. Sebab, tidaklah mereka berjaga, kecuali dengan murninya kasih sayang, tulusnya cinta dan pada saat yang sama sentuhan jiwa untuk membangkitkan jiwa kita. Andaikata seorang bapak menyayangi anaknya dengan turut berjaga semalaman atau bahkan lebih dari itu, niscaya tak akan sanggup menyamai satu malam saja kasih-sayang seorang ibu yang dengan tulus mendidik kita.

Saat-saat kecil, khususnya ketika bayi inilah yang membutuhkan cinta tanpa syarat. Karenanya, nilai doa kita untuk mereka terutama terkait dengan derajat kasih sayang dan pengasuhan mereka di waktu kecil.

“Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan limpahilah mereka kasih sayang sebagaimana mereka dulu mentarbiyahku di waktu kecil.”

Muhammad Fauzil Adhim, penulis buku-buku parenting

 

sumber: Hidayatullah