Peristiwa berikut terjadi di Kuwait. Bukan di Indonesia. Salah satu negara kaya di Teluk itu beberapa waktu lalu ramai memperbincangkan tentang seseorang — media al Sharq al Awsat tidak menyebutkan namanya — yang memanfaatkan mimbar masjid untuk mengumpulkan infaq dan sedekah.
Sampai di sini tentu tidak ada persoalan. Bukankah mimbar masjid memang diperuntukkan bagi para ulama, kiai, ustad atau siapa saja, untuk menyampaikan dakwah? Menyerukan pada kebaikan dan menyampaikan larangan untuk berbuat kemungkaran? Termasuk menghimbau kepada umat untuk berinfak, berwakaf, dan bersedekah di jalan Allah SWT?
Yang jadi masalah, orang tersebut memanfaatkan mimbar masjid untuk menipu jamaah. Caranya, dengan mengatasnamakan sebuah lembaga ia lalu mengumpulkan dana dari para jamaah masjid, yang ia katakan untuk menyantuni para fakir-miskin, yatim piato atau untuk membantu pihak mana saja yang membutuhkan. Namun, dana bantuan yang telah terkumpul ternyata untuk kepentingan diri sendiri. Untung saja kedoknya terbongkar. Orang ini pun ditangkap yang berwajib.
Yang lebih gila dari orang ini, penipuan dengan memanfaatkan mimbar masjid ini bukan hanya dilakukan terhadap satu kelompok atau komunitas. Di komunitas sufi ia mengaku sebagai mursyid. Lalu mengumpulkan dana bantuan dari kolompok ini. Kali ini ia katakan untuk membantu para pengungsi Suriah dan Irak.
Setelah itu ia pindah ke komunitas Suni lainnya. Ia sempat memberikan ceramah di tiga mimbar masjid Suni ini. Tentu saja diakhiri dengan pengumpulan dana dari para jamaah yang ia katakan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kali ini untuk para fakir miskin di Afghanistan.
Terakhir ia sempat berpakaian jubah hitam dan mengaku sebagai imam Syiah. Ia pun memberikan ceramah di komonitas-komunitas Syiah di Kuwait. Ujungnya, sekali lagi, ia pun mengumpulkan dana dari para jamaah. Kali ini, ia mengaku untuk membantu para pejuang al Khouthi di Yaman.
Seandainya di Kuwait ada gereja pun, kata pengamat Timur Tengah, Abdul Rahman al Rasyid, yang menulis cerita ini, orang seperti itu pun akan berlagak laiknya pendeta. Ia akan berbicara di depan jemaat dan mengumpulkan dana yang ia katakan untuk membantu orang-orang miskin padahal untuk diri sendiri.
Ya, menipu dengan mengatasnamakan agama adalah hal yang mudah dan ‘barang dagangan’ yang sangat menguntungkan. Bukan hanya terbatas pada penipuan dana, tapi juga ‘mencuri atau mencuci’ otak umat Islam dan anak-anak mereka.
Saksikanlah berapa banyak pemuda dari seluruh dunia yang telah menyabung nyawa mereka atas nama jihad. Mereka rela meninggalkan rumah dan orang tua demi berperang di Irak, Suriah, Afghanistan, Libia, Yaman, Filipina, dan seterusnya. Mereka kemudian bergabung dengan ISIS, Alqaida, dan kelompok-kelompok teroris lainnya. Semua itu bukti nyata betapa mudahnya mereka tertipu oleh propaganda orang-orang yang mengatasnamakan jihad. Mengatasnakamakan agama. Sementara itu mereka kini tidak tahu apa yang harus diperbuat ketika terjebak dalam perang yang tidak ada ujung-pangkalnya.
Cerita paling terkenal adalah apa yang diperankan oleh seorang dai Suriah yang dikenal dengan nama alias Abu al Qaqa. Selama bertahun-tahun ia menjadi semacam agen pencari calon ‘pejuang’ dari berbagai negara untuk dikirim berperang di Irak. Ia pula yang mengatur perjalanan mereka, mengawasi keberadaan selama di Irak, dan melatih perang sebelum mereka diterjunkan dalam perang beneran. Namun, peran yang paling penting dari Abu al Qaqa adalah bagaimana mencuci otak para pemuda itu untuk dijadikan martir di Irak.
Pada 2007 Abu al Qaqa terbunuh. Di mata pengikutnya mungkin ia dianggap sebagai pahlawan. Namun, sebenarnya ia hanyalah perwira menengah interjen Suriah. Namanya Mahmoud Agassi.
Ya, agama memang menyangkut kepercayaan, keimanan, dan keyakinan hidup seseorang. Apalagi ia juga terkait dengan surga dan neraka. Karena itu agama sangat rawan untuk disalah-gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Ia sangat berpotensi untuk dimanfaatkan para penipu berkedok agama, para petualang perang, dan para politisi haus kekuasaan.
Apa yang terjadi di negara-negara Timur Tengah sana tentu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita di sini. Penyalahgunaan dan penipuan dengan kedok agama juga sangat rawan terjadi. Saksikanlah orang-orang Indonesia yang telah bergabung dengan kelompok yang mengklaim sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah sana. Juga mereka yang menjadi anggota kelompok-kelompok teroris. Mereka menghalalkan segara cara, termasuk membunuh sekali pun.
Lalu, negara Islam macam apa yang akan mereka dirikan? Apa yang dilakukan oleh kelompok teroris jelas tidak ada hubungannya dengan Islam. Saya yakin mereka yang bergabung dengan kelompok teroris sebagian besar hanya tertipu oleh propaganda orang-orang yang berkedok jihad/agama. Namun, kepentingan sebenarnya adalah kekuasaan. Tidak ada hubungannya dengan agama.
Lalu bagaimana dengan zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan amalan derma lainnya? Agama memerintahkan kita untuk berjihad fi sabilillah dengan harta dan jiwa. Bahkan banyak ayat Alquran yang menyandingkan keimanan dengan infak (termasuk sedekah dan wakaf) dan zakat.
‘‘Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bahagian.” (QS. Adz-Dzariyat: 19). ‘’Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah/nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.’’ (QS. Al-Baqarah: 267).
Kerelaan umat untuk berjuang dengan harta — dan bahkan jiwa — adalah salah satu kunci kemajuan umat Islam dari dulu hingga sekarang. Banyak masjid yang dibangun dengan swadaya masyarakat. Juga perguruan tinggi, sekolah-sekolah, pesantren, rumah sakit, dan sebagainya. Bahkan Al Azhar di Mesir yang sangat terkenal itu merupakan hasil dari wakaf. Begitu pula Pondok Modern Gontor di Jawa Timur itu.
Namun, yang perlu terus kita ingatkan — wa tawashou bil haq wa tawashou bi al sobr — adalah jangan sampai kita tidak amanat dengan dana umat yang telah berhasil kita kumpulkan. Entah itu dari infak, sedekah, zakat, wakaf ataupun CSR dan sumbangan lainnya.
Kita sudah sering menyaksikan berapa banyak aset-aset yayasan — berupa institusi sosial, pendidikan dan agama — yang didapat dari sumbangan masyarakat, kemudian jadi rebutan antar-anggota keluarga atau antar-pengurus yayasan sendiri. Juga tidak sedikit aset-aset yayasan yang mustinya berstatus wakaf yang kemudian diantasnamakan sebagai milik pribadi, keluarga, saudara, dan anak-anak.
Selain itu ada pula lembaga-lembaga sosial yang bangga dengan apa yang telah mereka kumpulkan. Namun, tidak jelas berapa orang yang telah berhasil mereka entaskan dari kemiskinan? Tak ada data berapa murid dan mahasiswa miskin yang telah sukses mereka antarkan menjadi sarjana. Berapa orang sakit yang telah mereka bantu? Berapa banyak pengusaha kecil yang telah mereka bantu agar berputar roda perekonomiannya?
Karena itu, demi menghindari su-u al dzonn atau buruk sangka, dan apalagi penipuan, sebaiknya setiap lembaga sosial yang mengumpulkan dana dari masyarakat harus dilakukan audit. Hasil audit ini lalu dilaporkan kepada masyarakat secara berkala, persis seperti yang dilakukan takmir masjid yang melaporkan keuangannya sebelum khutbah Jumat.
Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan!
Oleh : Ikhwanul Kiram Mashuri