Menjadi Cahaya Zaman

Sebagaimana Rasulullah SAW menjadi cahaya pada zamannya, kita juga menjadi cahaya pada zaman kita.

Setiap Rabiul Awal, kita diingatkan kembali dengan momen kelahiran seorang tokoh besar dunia yang telah mengubah dan menentukan jalannya sejarah umat manusia, yakni Nabi Muhammad SAW. Michael H Hart, astrofisikawan asal Amerika bahkan menempatkannya di peringkat pertama dari seratus tokoh paling berpengaruh di dunia dalam bukunya yang sangat populer, The 100, A Ranking of The Most Influential Persons in History (1978).

Sebuah pengakuan yang tentu saja bukan tanpa alasan. Kita mengenal sosok Nabi Muhammad, selain sebagai utusan Allah yang menerima wahyu Allah dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada umat manusia, beliau SAW juga seorang manusia yang secara tabiat sangat baik dan layak diteladani.

Banyak tokoh besar dunia yang kemudian tenggelam dan dilupakan sejarah, tetapi tidak dengan Muhammad SAW. Sepanjang sejarah, Nabi SAW selalu menjadi bahan pembicaraan dan ditulis dalam berbagai buku, tak hanya di dunia Islam tetapi juga di luar Islam, dari kalangan orang biasa hingga orang-orang besar, pemikir, dan kaum cendekiawan.

Sebagai utusan Allah, Nabi SAW telah menyampaikan dakwah dengan baik dan berhasil sesuai perintah Allah selama lebih kurang 23 tahun, 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Berbagai caci-maki dan kekerasan, baik verbal maupun fisik, beliau hadapi dengan sabar.

Setelah hijrah ke Madinah, peperangan demi peperangan demi mempertahankan iman dan Islam, juga dilakoni tanpa pernah gentar atau surut sedikit pun. Menang kalah juga telah dialami; menang di Perang Badar dan kalah di Perang Uhud.

Sebagai manusia biasa, tabiat Rasulullah sangat baik, seperti murah hati, jujur, penyayang, suka membantu orang lain, terutama yang kesusahan, amanah, dan lainnya, juga menjadi nilai tinggi yang membuat banyak orang respek, tertarik, dan mencintai dengan tulus.

Allah menyebut karakter Nabi SAW dalam Alquran, “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang baik.” (QS al-Qalam [68]: 4)

Budi pekerti ini telah melekat pada diri Nabi SAW, bahkan sebelum menjadi rasul. Setelah menjadi utusan Allah, akhlak Nabi SAW adalah Alquran, seperti disampaikan oleh Ummul Mukminin Aisyah (HR Ahmad).

Karena itu, Nabi Muhammad adalah “insan kamil” (manusia sempurna), yang menurut Ibnu Arabi, manusia yang telah sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Sementara, menurut al-Jili, Rasulullah adalah contoh manusia ideal. Jati diri Nabi SAW tak semata-mata dilihat sebagai utusan Allah, tetapi juga sebagai cahaya (nur) Ilahi yang menjadi pangkal atau poros kehidupan di jagat raya.

Rabiul Awal yang dikenal juga sebagai “bulan Maulid” seyogianya tak berhenti pada aspek seremonial, peringatan, atau perayaan, tetapi berlanjut kepada kesadaran untuk mengenal lebih dekat sosok Nabi Muhammad dan meneladan akhlak luhur beliau.

Sebagaimana Rasulullah SAW menjadi cahaya pada zamannya, kita juga menjadi cahaya pada zaman kita sekarang dengan akhlak luhur, baik terhadap sesama maupun alam sekitar.

Wallahu a’lam.

OLEH FAJAR KURNIANTO

KHAZANAH REPUBLIKA