Menjadi Hamba Bersyukur Atas Nikmat yang Diperoleh

SUATU malam Aisyah r.a mendapati Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam shalat lail lama sekali sehingga kakinya bengkak. Melihat kenyataan ini Aisyah memberanikan diri menegur sang suami, “Ya Rasulullah, kenapa gerangan Anda melakukan shalat hingga kaki Anda bengkak-bengkak, bukankah Anda sudah dimaafkan?” Rasulullah hanya tersenyum, kemudian menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Rasulullah adalah sosok manusia yang ma’shum. Beliau terhindar dari melakukan dosa. Allah Subhanahu Wa Ta’alamemelihara dan menjaganya agar hamba-Nya yang telah menjadi pilihan-Nya tidak sampai melakukan kesalahan, apalagi dosa.

Memang pernah Rasulullah melakukan jenis kesalahan, seperti mengusir Ibnu Ummi Maktum, seorang gembel yang ikut nimbrung pembicaraan Nabi dengan pembesar-pembesar Quraisy. Beliau bermuka masam dan tidak melayani sebagaimana mestinya. Akan tetapi segera saja Allah menegurnya hingga kejadian itu segera terselesaikan. Kalau itu dianggap sebagai kesalahan, Rasulullah tidak bersengaja melakukannya, sebab menurut logika manusia normal perbuatan Nabi itu tidak salah.

Nabi juga pernah ditegur Allah gara-gara memberi janji kepada seorang kafir yang menanyakan sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Saat itu seakan-akan Nabi memastikan bahwa wahyu akan segera turun. Tapi Allah punya kehendak lain. Wahyu yang dinanti-nantikan itu tidak turun hingga Rasulullah sangat gundah. Saat itu Rasulullah mendapat teguran dari Allah, kenapa tidak memakai kata Insya Allah ketika berjanji kepada seseorang?

Masih ada beberapa lagi tindakan Rasulullah yang langsung mendapat teguran Allah. Bila hal itu dianggap sebagai kekhilafan, sungguh bukan merupakan kesengajaan. Lagi pula belum turun suatu petunjuk langsung dari Allah. Justru lewat kekhilafan Nabi itulah Allah menurunkan salah satu ajar-Nya. Kalau tindakan Nabi tersebut dianggap sebagai kesalahan, hal itu belum dikategorikan sebagai kesalahan atau dosa.

Kalau Nabi belum pernah melakukan dosa, sedangkan tiket surga sudah di tangan, kenapa mesti susah-susah beribadah hingga bengkak-bengkak kakinya?

Pertanyaan ini wajar dalam rumus otak manusia. Termasuk wajar bila hal itu ditanyakan oleh isteri beliau sendiri. Itulah sebabnya Rasulullah tersenyum mendengarnya. Jawaban yang disampaikan Nabi juga singkat, tapi menyejukkan hati. Sedikit tetapi mengandung falsafah sangat tinggi, sederhana, sarat arti. “Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Dalam kamus fikiran Nabi, tidak sedikit kenikmatan-kenikmatan yang diterimanya sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya. Tidak terlintas dalam benaknya bahwa kebaikan-kebaikan yang disandangkannya adalah hasil dari mujahadahnya. Semua itu hanya dari Allah semata. Tanpa kasih sayang-Nya apalah arti sebuah nama Muhammad.

Dipilihnya Muhammad sebagai Rasul bukan atas usulannya sendiri. Bahkan bayangan menjadi Rasul sebelumnya juga tidak terlintas. Semua itu semata-mata hanya karunia Allah. “Tidak pantaslah bila aku menjadi hamba yang bersyukur?” adalah pertanyaan yang pas disampaikan oleh Nabi.

Di antara berjuta-juta manusia, dialah yang terpilih menjadi Rasul. Di antara rasul-rasul Allah dialah yang diangkat sebagai penghulu dan pemimpinnya.

Dengan gelar Rasulullah yang disandangnya, Muhammad adalah sang juara. Gelar apalagi yang dapat menyaingi titel Nabi ini? Pangkat mana yang lebih tinggi? Adakah jawaban yang lebih mulia darinya? Tapi Muhammad bukanlah jenis manusia yang mudah lupa diri, takabur, dan membangga-banggakan diri. Justru kebalikannya Muhammad adalah manusia yang tahu diri, tawadhu’,dan rendah hati. Beliau sangat mengerti bagaimana berterima kasih.

Itulah sebabnya Muhammad tetap dan selalu prima. Beliau selalu berlatih guna meningkatkan kualitas pribadinya. Gelar juara yang disandangnya bukan sesuatu yang jadi. Juara adalah suatu tahapan atau satu titik dari proses yang panjang. Beliau adalah makhluk menjadi.

Bandingkan dengan sang juara masa kini. Mereka datang, berjaya, kemudian segera menghilang. Juara bagi mereka adalah puncak segala yang dicita. Juara adalah ketinggian yang paling tinggi. Apalagi setelah itu kalau bukan penurunan?

Juara adalah klimaks, maka setelah itu adalah antiklimas. Tambah hari kian rendah saja grafiknya. Malah tidak jarang yang langsung anjlok, bak penerjun bebas.
Beda dengan Muhammad. Ia mensyukuri karunia Allah berupa terpilihnya ia menjadi Rasul-Nya. Akan tetapi lebih bersyukur lagi, ternyata ia juga bisa bersyukur. Mensyukuri karunia Allah juga mensyukuri bahwa dirinya juga bisa bersyukur. Luar biasa.

Semakin besar nikmat yang telah diberikan-Nya, tambah besar pula syukurnya. Semakin besar syukurnya, semakin tinggi voltase ibadahnya. Begitu seterusnya, sehingga beliau menjadi ‘abdan syakuura’.*/Sudirman STAIL (dari buku Cara Baru Memandang Dunia, penulis Hamim Thohari)

HIDAYATULAH