Melupakan sekaligus memaafkan kesalahan orang lain termasuk hal yang sangat sulit. Apa lagi kesalahan yang dilakukannya teramat besar dalam melukai hati, semisal menggunjing, menggosip atau ghibah, terlebih lagi yang dighibahi adalah diri sendiri. Lantas menolak memaafkan orang ghibah, haramkah?
Pada dasarnya Islam sangat memotivasi umatnya agar senantiasa memaafkan orang yang telah mengghibah tentang diri kita. Akan tetapi, secara realistis, kita sebagai manusiawi terkadang merasa sulit menerima maaf orang lain yang telah berbuat ghibah kepada kita.
Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa memaafkan orang yang telah menggosipi kita tidak wajib. Sebagaimana beliau tegaskan dalam kitabnya Ihya Ulumiddin [3/150]
فَإِنْ قُلْتَ : فَالتَّحْلِيلُ هَلْ يَجِبُ ؟ فَأَقُولُ : لَا ؛ لِأَنَّهُ تَبَرُّعٌ ، وَالتَّبَرُّعُ فَضْلٌ ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ ، وَلَكِنَّهُ مُسْتَحْسَنٌ ،
“jika kau bertanya, apakah memberi maaf itu wajib? Maka saya katakan, memaafkan itu tidak wajib. Karena memaafkan adalah tabarru sedangkan tabarru’ Cuma kebaikan dan bukan merupakan kewajiban. Hanya saja dianggap baik (dianjurkan).”
Bahkan para salaf pernah mengatakan untuk tidak menerima pemaafan orang yang telah melakukan ghibah terhadap dirinya. Dalam kitab Ithaf Sadatil Muttaqin, Imam Azzabidi al-Murtadha menukil sebagai berikut;
وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ يَقُولُ: لَا أُحَلِّلُ مَنِ اغْتَابَنِي) أَيْ: لَا أَجْعَلُهُ فِي حِلٍّ مِنِّي
“Sebagian salaf pernah berkata, saya tidak akan memberi maaf kepada orang yang telah berbuat ghibah tentang diriku: artinya tidak akan menjadikan kehalalan dariku”
Tidak hanya itu, salah seorang sahabat Nabi Muhamad yang menjadi pakar hadis dan fikih di Madinah, yaitu Said bin Musayyab pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan memeafakan orang yang telah mencacati kehormatannya dengan cara di ghibah/gossip sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam kitabnya.
قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: : لَا أُحَلِّلُ مَنْ ظَلَمَنِي
“Said bin Musayyab pernah berkata; aku tidak akan memberi kehalalan (memaafkan) orang yang telah menzaliminya”
Hal ini bisa dimaklumi, sebagai manusiawi korban yang telah dicabik-cabik harga diri dan kehormatannya maka tidak akan langsung bisa memaafkan secara sekaligus dan seketika. Ada proses dan iringan waktu yang terus bertahap.
Oleh sebab itu, untuk pelaku (orang yang meminta maaf) hendaknya senantiasa meminta maaf dan tidak putus asa. Seiring dengan ini, Imam al-Ghazali memberikan cara bagi orang yang meminta maaf atas kesalahannya berupa ghibah agar tidak putus asa.
Bahkan seandainya korban (orang yang pernah dilukai harkat martabatnya) tersebut tetap tidak mau memaafkan maka usaha yang dilakukan tidak akan sia-sia yaitu tetap mendapatkan apresiasi dari Allah swt kelak di hari kiamat.
وَسَبِيلُ الْمُعْتَذِرِ أَنْ يُبَالِغَ فِي الثَّنَاءِ عَلَيْهِ وَالتَّوَدُّدِ إِلَيْهِ وَيُلَازِمَ ذَلِكَ حَتَّى يَطِيبَ قَلْبُهُ فَإِنْ لَمْ يَطِبْ قَلْبُهُ كَانَ اعْتِذَارُهُ وَتَوَدُّدُهُ حَسَنَةً مَحْسُوبَةً لَهُ يُقَابِلُ بِهَا سَيِّئَةَ الْغِيبَةِ فِي الْقِيَامَةِ
“Cara bagi pelaku yaitu bersungguh-sungguh memuji korban dan berbuat baik kepada korban dan konsisten melakukannya (sebagai ekspresi minta maaf). Jika si korban tetap tidak lunak hatinya maka permintaan maaf dan kebaikan yang dilakukan pelaku tetap dihitung sebagai kebaikan dan bisa membandingi dosa ghibahnya di hari kiamat”
Hal ini selaras dengan dawuh Ibnu Ruslan yang dinukil oleh al-Manawi dalam kitab Faidul Qadir sebagai berikut.
قال ابن رسلان: ويظهر أنه لو صالح أحدهما الآخر فلم يقبل غفر للمصالح
“Ibnu Ruslan berkata, Yang bisa kita simpulkan, apabila salah satunya berusaha berdamai dengan yang lain tapi perdamaian itu tidak diterima, maka orang yang berusaha berdamai tersebut diampuni.(Faidul Qadir, Maktabah Syamilah, 259).
Demikianlah penjelasan orang yang disakiti boleh menolak permintaan maaf akan tetapi alangkah baiknya memaafkan. Itulah penjelasan menolak memaafkan orang ghibah, apakah haramkah? Semoga bermanfaat.