“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist ini bagi saya pribadi merupakan hadist emas yang sangat megah penuh kekayaan nasehat yang luar biasa. Hadist sebagai pegangan, pedoman, dan tuntunan dalam menjalani interaksi sebagai manusia sosial.
Tetapi, hadist ini harus dipahami secara mendalam. Salah menafsirkan bisa mengambil pemikiran yang seolah kita selalu disuruh diam dan tidak berkata-kata untuk saling menasehati. Seolan umat Islam memilih diam dan bungkam terhadap berbagai persoalan yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan syariat secara keseluruhan.
Apa yang harus kita pahami? Hadist ini menjadi relevan dalam konteks kekinian di media sosial. Banyak orang memposting, menulis dan berbicara segala hal seolah tau segalanya. Semuanya dikomentari. Acapkali mereka keseleo lidah tanpa disadari karena saking banyaknya bicara.
Banyak dari kita ingin tampil memukau dengan kata-kata yang berbusa-busa. Seolah memberikan pencerahan padahal tidak lebih umpatan dan makian. Ingin dipuji dengan sebutan orang pintar, orang cerdas dan orang yang membela. Tetapi, tanpa ia sadari sejatinya ia sedang menunjukkan kebodohannya.
Rasulullah telah memberikan peringatan dengan hadist yang sangat indah di atas. Jika tidak bisa memberikan perkataan yang baik dan bermanfaat, lebih baik diam. Dalam hadist yang lain Nabi bersabda : “Diam adalah emas, tapi ketika berbicara, pastikan itu lebih baik dari diam.” (HR. At-Tirmidzi).
Kita bisa berbicara asalkan ketika mengeluarkan pendapat kita bisa memberikan hal yang bermanfaat dari pada sekedar diam. Tapi orang yang cerdas dan bijak menurut Hasan Al basri orang yang lebih memilih diam dari pada mengisi percakapan dengan kebodohan.
Ibnu Hazm memberikan panduan lebih jelas tentang hal itu terkait motivasi dalam berbicara. Beliau mengatakan : “Seseorang yang bijaksana hanya akan berbicara ketika ia tahu dan mengerti, bukan karena keinginan untuk menonjolkan diri.” Kata kuncinya adalah bekali dengan ilmu dalam berbicara, bukan karena ingin terlihat gagah atau dikatakan paling pintar dan kritis.
Di sinilah letak beda orang yang benar-benar cerdas yang bijak dengan orang yang bodoh yang hanya menginginkan pujian. Ia tampil banyak bicara karena ingin terlihat menjadi orang yang pintar dan cerdas.
“Orang yang bijak berbicara dengan penuh pertimbangan, bukan karena menginginkan banyaknya pengikut.”
Lebih lanjut, Imam Malik memberikan batasan yang lebih lugas terkait hal ini. Beliau mengatakan : “Orang yang bijak berbicara dengan penuh pertimbangan, bukan karena menginginkan banyaknya pengikut.”
Di sini semakin jelas ciri orang cerdas yang bijak. Orang cerdas yang bijak berbicara untuk memberikan kebaikan dan manfaat, bukan sekedar ingin banyak followernya. Orang bijak harus mempertimbangan subtansi dan kata-kata yang diucapkan, bukan diburu-buru dengan waktu karena ingin mendapatkan popularitas.
Ala kuli hal, saya ingin menutup dengan kata mutiara yang indah dari Imam Syafii yang selaras dengan pesan hadist Nabi di atas : “Sebaik-baik kata-kata adalah yang sedikit, tapi penuh makna.” Orang bukan dilarang berbicara, tetapi pembicaraan itu bukan terletak dari banyaknya kata-kata, tetapi banyaknya makna yang terkandung di dalamnya.